Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU): Buah Pikir Gus Yahya Tentang NU Untuk Dunia

Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Pada Selasa, 7 Februari 2023 kemarin, usia Nahdlatul Ulama menginjak seabad menurut penanggalan hijriah. Ormas Islam yang didirikan pada 16 Rajab 1444 H ini telah melalui pelbagai lika-liku peradaban, apalagi ormas ini lahir di era di mana masyarakat global sedang berusaha untuk membangun tata dunia baru setelah serangkaian perang dan gejolak internasional berkecamuk dan mengubah wajah peradaban.

Memasuki abad keduanya, NU dipimpin oleh K.H. Miftachul Akhyar sebagai rais ‘am dan K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai ketua umum. Pada 2020, Nama kedua menerbitkan buku bertajuk Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang berisi inti dari jati diri dan jati dharma NU.

Buku setebal 148 halaman ini berisi lima bab utama beserta manifesto, abstraksi, dan biografi singkat penulis. Pada abstraksi, Gus Yahya menekankan cita-cita peradaban yang diusung NU, yakni “mewujudkan tata dunia yang adil dan harmonis, berdasarkan akhlak yang mulia, dan penghormatan terhadap kesetaraan martabat di antara sesama manusia.”

Untuk mewujudkannya dibutuhkan kokohnya basis organisasi dan harmoni pergerakan komponen NU mulai dari tingkat daerah hingga internasional. Selain itu dibutuhkan kontekstualisasi pada konstruksi organisasi NU yang menurut Gus Yahya ‘begitu-begitu saja’ sejak 1952.

Gus Yahya memandang bahwa format yang tepat bagi NU adalah format pemerintahan dengan fungsi sebagai pelayan bagi warga, regulator terhadap pelayanan tersebut, penggerak sumber daya, dan redistribusi sumberdaya tersebut kepada masyarakat.

Islam di tengah dunia yang berubah

Gus Yahya menyinggung “trilogi persaudaraan” yang pertama kali dirumuskan oleh K.H. Achmad Siddiq pada Muktamar NU di Situbondo: “persaudaraan seagama, persaudaraan senegara, dan persaudaraan sesama umat manusia.”

Menurut Ketua Umum PBNU 2021-2026 ini, penyebutan poin terakhir dari trilogi tersebut merupakan alarm dini dari K.H. Achmad Shiddiq akan adanya tantangan bagi NU untuk menghadirkan manfaat bagi umat manusia, menembus batas negara, agama, apalagi hanya ormas.

Namun, yang dihadapi NU adalah dunia yang begitu cepat berubah. Setidaknya ada empat perubahan utama yang dialami dunia: perubahan tata politik dunia di mana kekhilafahan Islam telah tumbang dan belum ada tanda kebangkitannya lagi; negara tidak lagi didirikan berdasarkan agama, serta munculnya batas wilayah antarnegara yang definitif; perubahan demografi di mana banyak kawasan di dunia ditinggali oleh penduduk yang majemuk; perubahan standar norma seperti hilangnya legalitas perbudakan, tuntutan religius terhadap permusuhan terhadap non-muslim yang harus dikontekstualisasikan; serta globalisasi di mana manusia berada pada proses penyatuan menjadi satu komunitas, namun rentan disusupi isu yang memecah belah.

Merintis peradaban baru

Gus Yahya berusaha memaknai kelahiran NU sebagai ikhtiar yang merupakan hasil istikharah ulama-ulama NU dalam menyongsong tatanan dunia baru selepas tumbangnya kekhalifahan umat Islam yang terakhir, Imperium Ottoman. Dalam istikharahnya, Syaikhona Kholil Bangkalan mendapat isyarat berupa Q.S. Al Taubah, ayat 32 yang berisi janji Allah untu menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang ingkar berusaha memadamkannya.

Cahaya Allah di sini pastilah sesuatu yang sangat agung, tidak bisa direduksi pengertiannya sebagai hanya syariat, kekuasaan, ilmu pengetahuan, atau hal-hal material lain. Pastilah cahaya-Nya melampaui apa yang disebutkan tadi serta bersifat spiritual dan universal.

Kejayaan peradaban Islam mulai dari era Rasulullah hingga era Ottoman merupakan kejayaan material, baik luas wilayah kekuasaan maupun kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu Tasawuf, meski eksis, namun tidak pernah masuk dalam konstruksi peradaban. Keadaan berbeda terjadi kala Islam tersebar di Nusantara.

Tasawuf tertanam pada jatidiri masyarakat Nusantara dan kemudian muncul pada mukadimah UUD 1945, “Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…” Hal ini sejalan dengan semangat cita-cita peradaban NU. Selain itu, NKRI merupakan wasilah bagi cita-cita universal NU mengingat saat ini dinamika sosial dan politik ditentukan oleh hubungan antarnegara.

Wasilah ini harus dijaga oleh NU agar keadaannya tetap sejalan dengan cita-cita peradaban NU. Keluarnya NU dari Masyumi (1952) mengandung hikmah berupa terbebasnya NKRI dari negara beridentitas agama. Suara NU yang menentukan bisa saja mendukung Masyumi mewujudkan Indonesia menjadi negara Islam, dan hal tersebut membahayakan NKRI. Begitupun kala NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal (1983) dan Reformasi (1998).

Berbicara mengenai misi persaudaraan sesama manusia, muslim di dunia terganjal anggapan finalnya ijtihad mengenai hubungan muslim dan non-muslim yang tidak setara. Kasus ISIS adalah contoh termutakhir. ISIS bangkit melawan AS yang telah lama mengacak-acak negara mereka. Namun, cara mereka yang sebenarnya halal sesuai hasil ijtihad klasik, menggemparkan dunia dan membuat kekacauan di mana-mana.
Mengenal jati diri dan kehendak organisasi.

Berdasarkan luasnya pengaruh dan cita-cita peradabannya, NU harus menebar maslahatnya melampaui sekat agama, bangsa, bahkan negara. Lebih dari itu, maslahat NU juga harus hadir pada dua dimensi, yakni keagamaan dan kemasyarakatan. Pada faktanya, khidmah NU masih berkutat pada dimensi keagamaan. Faktor yang menimbulkan keterkungkungan ini adalah definisi anggota NU yang tidak jelas. Satu-satunya yang berkemungkinan menjadi kriteria warga NU adalah identitas keagamaan, itu pun bersifat simbolis.

Untuk memperluas wawasan khidmah, dibutuhkan transformasi mindset dan mental pada NU. mindset yang perlu diubah mencakup mindset lingkup bidang khidmah serta sasarannya, makna program, dan hubungan antar tingkatan kepengurusan dan pelaksanaan program. Transformasi mental mencakup memunculkan kesadaran bahwa kebesaran NU hadir dari pahala atas jasa para ulama penyangganya, serta menjadikan kebesaran ini sebagai aset yang harus dikelola sebagai maslahat bagi masyarakat luas.
Menuju Pemerintahan Nahdlatul Ulama.

Karena ketidakmenentuan global, rencana jangka pendek adalah sebuah jawaban bagi NU. Meski demikian, NU akan tetap sampai ke abad ketiga asal mau bergerak maju. Untuk terus maju, perlu dipahami agenda absolut keberadaan NU, diikuti evaluasi apa yang telah dicapai oleh NU, menandai momentum yang terjadi di lingkungan beredarnya, serta peka terhadap proyeksi realitas yang akan dihadapi.

Agenda absolut NU adalah membangun peradaban dengan tidak disertai aneksasi dan klaim atas eksklusivitas gerakan dalam mewujudkannya. Beberapa capaian NU adalah kehadirannya yang disertai konstruksi sosial-politik tanpa kuasa negara; sosok-sosok luar biasa macam Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, Gus Dur, dll; ketahanannya menghadapi gejolak zaman; gagasan-gagasan tentang “humanitarian Islam.”; dan lembaga-lembaga di bawah naungannya yang terus berkembang seperti pondok -pesantren, madrasah, rumah sakit, dan perguruan tinggi.

Untuk mengenali momentum perubahan dan memperhitungkan proyeksinya, perhatian terhadap faktor-faktor berbasis teknologi, politik, dan ekonomi adalah suatu keharusan. Kecerdasan buatan dan revolusi teknologi informasi yang meluas menjadi momentum perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mendorong berlipatnya kapasitas para pengampu kepentingan politik dan ekonomi dalam menggalang dan memproyeksikan kekuatan.

Konflik dewasa ini yang didasari oleh politik identitas dan didukung teknologi bisa menjadi peluang khidmah NU. NU yang memiliki kekokohan dalam legitimasi keagamaan dan kemasyarakatan beserta instrumen dan kemampuan jaringan organisasionalnya dalam menjangkau akar rumput, sanggup menjadi juru damai dalam kemelut peradaban ini asal NU bisa mengkonsolidasikan semua ke dalam strategi yang jitu dan komprehensif.

Konstruksi awal organisasi NU sejatinya adalah formalisasi dari realitas yang sudah terbentuk dalam konteks budaya pesantren tradisional. Oleh karenanya, struktur formal organisasi & pondok pesantren berjalin kelindan yang tak terpisahkan secara fungsional. Karena kesibukan para kiai dalam mengasuh santri-santrinya, dibuatlah NU dalam dua kamar, kepengurusan syuriah (legislatif) dan tanfidziyah (eksekutif). Para kiai terkumpul dalam syuriyah. Merekalah yang memilih anggota-anggota tanfidziyah.

Perubahan berarti terjadi kala K.H. Mahfudh Shiddiq memimpin tanfidziyah. Ia maju setelah terpilih oleh muktamirin, bukan kiai-kiai syuriah. Ia pula yang mendirikan majalah “Berita Nahdlatoel Oelama” yang menjadi sarana komunikasi anggota dan merekrut banyak anggota dari kalangan non-kiai untuk ditempatkan sebagai operator lapangan.

Revolusi lebih besar dilakukan oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah ketika NU keluar dari Masyumi dan maju sebagai partai tersendiri pada Pemilu 1955. NU beroperasi layaknya partai dan melakukan perubahan, khususnya dalam masalah keanggotaan: siapapun yang memilih NU dalam pemilu dianggap sebagai anggota.

Model organisasi khas partai bertahan kendati NU kembali menjadi ormas pada masa unifikasinya dengan PPP (1979), bahkan hingga NU memutuskan untuk kembali ke khittah (1984). Hal ini yang kemudian menimbulkan kerancuan fungsi antara NU dan PKB. NU yang tidak lagi memiliki fungsi langsung dalam agresi politik, tidak punya nilai peran yang memiliki landasan ukur pasti. Yang ada hanya klaim terhadap saham politik, kendali atas pemilik, serta jasa masa lalu. Hal ini menggambarkan kesenjangan antara pola pikir dan kenyataan serta model kontruksi dan konteks realitas. Konstruksi lama ini harus secepatnya ditransformasikan agar NU tetap relevan dengan keadaan.

Rekonstruksi NU membutuhkan proses pergulatan bersama yang berkelanjutan, berpola ajeg, punya orientasi dan moda. Karena mempunyai orientasi berupa cita-cita peradaban yang mana membangun peradaban membutuhkan perjalanan yang jauh dan lama, maka yang pertama kali harus dijaga dan dirawat NU adalah tunggangan berupa negara. Sementara moda berorganisasi yang dibutuhkan adalah kontinuitas dalam pergulatan bersama dan jaminan adanya maslahat yang nyata.

NU dengan kiai-kiainya bersifat defensif dalam menghadapi serangan dari luar. Dalam konteks ini, pada abad pertamanya, NU bersifat tokoh sentris: ia ditopang oleh sosok-sosok yang punya kapasitas besar dan pengaruh luas. Pada abad kedua, warisan etos kerja berkelas peradaban para pendahulu harus dilembagakan menjadi konstruksi organisasi sehingga NU menjadi mesin yang konsisten dalam memproduksi maslahat berkelas peradaban. Desain konstruksi meliputi: agenda, struktur, mekanisme, dan kualifikasi personalia.

NU harus menetapkan agenda-agenda jangka panjang dan berjenjang berupa target capaian yang dapat dinilai secara objektif, efektif, distributif, serta spesifik. Karena target yang luas, maka eksekusi program menuntut konsolidasi instrumen-instrumen organisasi secara keseluruhan dalam format manajemen terpadu. Semua elemen dan tingkatan pengurus harus dioperasikan dalam satu kerangka strategi yang utuh.

Dalam praktik, cara kerja pengurus NU akan menyerupai cara kerja satuan wilayah pemerintahan negara. PBNU memegang kendali; PWNU mengkoordinasikan kewilayahan; dan PCNU adalah ujung tombak pelaksanaan program.

Eksekusi program harus memperhatikan kekurangan dan kelebihan masing-masing daerah dan berujung pada pembentukan lembaga dan banom yang proporsional di setiap wilayah. Personalia sebagai pelaksana program yang telah berwujud tugas-tugas spesifik harus memiliki keterampilan yang mumpuni sesuai cakupan wilayahnya. Personalia yang mumpuni bisa diwujudkan dengan tiga kebangkitan: kebangkitan intelektualisme, teknokratisme, dan kewirausahaan.

Makrifat organisasi dan takdir peradaban

Gus Yahya menyatakan bahwa pemaparannya di bab pertama hingga keempat merupakan inti dari makrifat jati (mengenal hakikat diri) dan makrifat dharma (mengenal tugas yang diamanahkan pada makhluk-Nya) milik NU. Kemudian, Gus Yahya bercerita tentang sepak terjangnya, mulai dari hadir dalam rapat akbar NU di Rembang pada 1971 hingga petualangannya ke penjuru dunia bersama Gus Mus.

Pada petualangannya tersebut, ia mendapati dunia ini buruk rupa dengan tragedi yang telah dan akan terjadi. Namun, ia mendapati ketenangan saat sowan kepada Habib Zain bin Ibrahim bin Smith Ba’alawi di Madinah. Ia mendapat nasehat bahwa semua yang telah dan akan terjadi adalah kehendak Allah. Manusia hanya bisa berusaha. Nasehat ini membuatnya tenang untuk terus bekerja demi cita-cita peradaban.

Tulisan sebelumnyaYuk! Daftar Kuliah di UNU Purwokerto. Tersedia 17 Prodi Pilihan
Tulisan berikutnyaAwal Syawal, NU Banyumas Menunggu Ikhbar dari PBNU

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini