‘Tradisi Murak Tompo’ : Kebersamaan dan Ajakan Sedekah

CINGEBUL MURAK TOMPO

LUMBIR, nubanyumas.com – Bulan Ramadan bukan hanya tentang semangat menjalankan kewajiban puasa dan keutamaan ibadah di dalamnya. Bagi jamaah Masjid Baiturrahim Wanasri, Desa Cingebul, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, bulan Ramadan juga menjadi momentum melestarikan tradisi bermakna ajakan sodaqoh dan kebersamaan, namanya Murak Tompo.

Menu makanan disajikan dalam baki atau nampan dengan alas dan penutup daun pisang. Daun pisang yang menjadi alas dan penutup itu kemudian direkatkan dengan bithing. Yakni semacam peniti berbahan potongan lidi kering yang ujungnya lancip. Masyarakat Grumbul Wanasri mengenal menu dalam kemasan itu bernama tompo.

Tompo dibuat oleh setiap keluarga atau KK yang menjadi jamaah Masjid Baiturrahim Wanasri. Jamaah masjid itu jumlahnya tak kurang dari 60 KK.

Menu yang disajikan berupa nasi, lauk-pauk, sayur hingga makanan ringan. Satu tompo umum disajikan untuk 6-8 jamaah. Pada bulan Puasa ini, tradisi Murak Tompo dilaksanakan pada malam 17, 21 dan 25 Ramadan. Satu lagi, tradisi murah tompo pada masjid berkapasitas ratusan jamaah itu juga akan dilaksanakan pada malam Idul Fitri.

”Tradisi ini mengajak jamaah masjid untuk rajin bersodaqoh, terutama dalam bulan Ramadan yang menjadi bulan penuh berkah,” kata Imam Masjid Kyai Sungeb Asy’ari.

Tradisi itu juga erat kaitannya dengan ibadah. Pelaksanaan tradisi murak tompo pada malam 17 Ramadan bertepatan dengan malam Nuzulul Qur’an. Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Baiturrahim Wanasri lebih dulu mengajak jamaah tadarus Alqur’an. Kyai Sungeb Asy’ari bertindak memimpin. Tadarus satu juz dibacakan oleh dua hingga tiga jamaah, sehingga dalam kesempatan itu langsung khatam Alqur’an.

Pun dengan tradisi Murak Tompo pada malam 21 Ramadan. Mereka mengawali tradisi itu dengan tadarus Alquran hingga khatam. Selanjutnya, imam masjid memimpin doa dilanjutkan dengan tradisi murak tompo.

Kyai Sungeb Asy’ari yang juga Rois Syuriah MWC NU Lumbir ini mengatakan, pemilihan malam ganjil menjadi pengharapan bisa mendapatkan malam lailatulqadar. ”Karena malam lailatulqadar itu dalam riwayatnya ada di malam ganjil pada sepertiga terakhir bulan Ramadan,” tuturnya.

Lebih dari itu, tradisi Murak Tompo juga menjadi wujud kebersamaan. Saat menyantap makanan, tidak ada sekat antara yang tua dan yang muda atau anak-anak, pejabat atau warganya, maupun guru dan muridnya. Yang dibedakan, adalah tempat antara jamaah laki-laki dan perempuan.

“Dalam hal ini, tentu saja menjadi wujud betapa indahnya kebersamaan, tolerasi dan tanpa membeda-bedakan satu sama lain,” kata Ketua BKM Baiturrahim Wanasri, Slamet Hidayat.

Karena itu, dia menyampaikan pentingnya untuk terus menjaga tradisi Murak Tompo. Sebab dalam tradisi itu di dalamnya mengamanatkan beragam kebaikan dan nilai ibadah.

Perangkat Desa Cingebul, Mustofa mengapresiasi kesadaran masyarakat Grumbul Wanasri yang terus melestarikan tradisi Murak Tompo. Itu menjadi tradisi leluhur yang mengajarkan kebaikan, terutama dalam hal sodaqoh.

“Tradisi ini mengajarkan kebaikan dan tentunya jangan sampai punah. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada masyarakat yang tetap menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19 ini,” kata Mustofa yang juga Pembina GP Ansor Lumbir.

Mustofa mencatat, tradisi Murak Tompo juga dilaksanakan di sejumlah mushola dan masjid wilayah Dusun III Desa Cingebul.

Kontributor: Hidayat Akbar

Tulisan sebelumnyaAda 71 Baksos Sembako di Harlah Fatayat NU ke-71 di Gumelar
Tulisan berikutnyaBANGGA! Siswa Ma’arif Raih Prestasi Terbanyak Banyumas Mengaji

1 KOMENTAR

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini