Pancasila Sebagai ‘Titik Temu’

Oleh Rizal Abdurrahman

SAYA pernah membaca buku yang perjalanan Sir Alex Ferguson selama mengabdi pada Manchester United (MU). Kita tahu, fans MU merebak seantero dunia. Meski saya tidak termasuk, karena saya fans Arsenal.

Saya tertarik untuk mendiskusikan bersama mengenai penggalan tulisan Ferguson, dalam bukunya, “keseimbangan adalah kunci setiap tim. Mustahil memenangkan pertandingan sepakbola dengan 11 kiper atau dengan sekelompok orang dengan bakat identic. Saya bayangkan itu juga berlaku di organisasi lain”.

Idealnya memang, kita harus memastikan semuanya sesuai dengan porsinya masing-masing, tidak lebih dan tidak kurang. Tak heran, ketika Sir Ferguson membawa MU meraih tiga gelar juara sekaligus dalam semusim, yang belum bisa dicapai termasuk oleh Arsenal.

Memastikan semuanya sesuai porsi masing-masing, bisa dilakukan dalam banyak aspek. Porsi kita sholat wajib lima waktu, ya pastikan itu terpenuhi, jangan sampai kurang, atau bahkan berlebih. Dalam sehari, kita dianjurkan supaya tidur selama delapan jam, maka maksimalkan sisa enam belas jam lainnya untuk belajar, bekerja dan mencari nafkah.

Dalam ruanglingkup yang lebih luas, kita mengetahui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alamnya. Selain juga, konon Indonesia merupakan negara yang menjunjung nilai ketimuran, nilai yang mengutamakan etika, menjunjung norma.

Tetapi sayang sekali sering saya jumpai di kota saya, yang masih bagian dari negara kaya sember daya alam ini, ada orang-orang yang kekurangan, orang-orang kelaparan. Lantas, bagaimana ini bisa terjadi, mereka hidup di negara kaya tetapi kelaparan.

Kita juga mendengar fakta bahwa, Sembilan puluh persen sumber daya alam di Indonesia, hanya dikuasai oleh sepuluh persen orang Indonesia. Kalau demikian, ya, wajar, jika masih ada orang kelaparan di negara yang kalau kita menanam tongkat saja bisa jadi makanan. Jelas ini ada yang keliru, ada yang belum seimbang.

Simak juga catatan Wahid Institut mengenai adanya sepuluh kelompok yang sering menjadi sasaran kebencian, antara lain; Syiah, Wahabi, China, Konghucu. Ya, ternyata kebencian masih kita jumpai di negara yang mengutamakan etika dan menjunjung norma.

Sebaliknya, jika tidak mampu seimbang, ya, sudah, kita hanya terus berjalan mundur sejak Soekarno memproklamirkan Indonesia, yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin. Masyarakat tidak akan maju karena habis waktunya untuk membenci satu sama lain, mencari kesalahan, dan mencari pembenaran sendiri.

Seringkali kita merasa bahwa dalam hidup merasa bosan, sia-sia. Ingat, ini bukan karena semata soal materi. Ingat personil band kelas dunia, Linkin Park, yang menhyudahi hidupnya dengan bunuh diri? Dari situ dapat kita mengerti, atau bahkan sudah lama kita mengerti, bahwa persoalan hidup tidak hanya sebatas soal materiil.

Kita sadar betul, bahwa yang membedakan manusia dengan mahluk lainya ialah akal. Setidaknya dengan akal kita memahami mana perilaku baik, mana yang menguntungkan. Namun demikian, sering pula kita mengabaikan sisi lain manusia yang tidak kalah penting, sebut saja nurani.

Sejauh ini, banyak sekali hal hal sederhana yang tidak dapat divisualisasikan oleh akal, namun sebenarnya dapat kita mengerti melalui nurani. Moment sederhana yang kadangkala justru memberikan dampak positif jika kemudian kita praktikan dalam kehidupan bersama. Seumpama teman kita barangkali memiliki segudang masalah dalam hidupnya.

Tentu saja tidak semua masalah hidup teman kita dapat kita bantu untuk menyelesaikan, tapi barngkali dengan nurani kita, sikap kita dengan terus membersamainya akan tetap menjaga motivasi dalam menyelesaikan persoalan hidup. Anda bisa menambah contoh ‘pemakaian nurani’ yang lebih beragam.

Dalam hidup, terkadang kita perlu menyinari lebih kepada orang-orang disekitar kita. Sinar-sinar itu bisa kita berikan melalui nurani kita sendiri. Kebaikan dalam segala kegiatan manusia ialah pancaran suara hati yang terang, yang nurani. Sebaliknya, kejahatan adalah suara hati yang gelap, yang zulmani.

Sebagai sebuah falsafah, kita dapat menghayati Pancasila dalam hati untuk menerangi orang-orang dissekitar kita. Menerangi orang-orang dengan cara penghambaan diri kita secara utuh kepada Tuhan yang Esa. Menjadi pribadi adil bagi sesama dalam semesta, hingga menjaga persaudaraan.

Mengakui bahwa perbedaan itu ialah fitrahNya, taat kepada kebenaran, dan menjaga sikap social atas kebermanfaatan diri kita. Jika bersama kita bisa menghayati Pancasila dalam hati, maka saya yakin apa yang disampaikan Bung Hatta tempo dulu adalah keliru, yakni bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar yang hanya menemukan orang-orang kerdil.

PANCASILA: JANTUNG DAN BINGKAI KEBAIKAN

Betul memang. Segala tingkah laku kita dalam hidup amat rentan dengan kesalahan maupun kurang baik dari pandangan pribadi (baca: agama), maupun dari pandangan masyarakat luas. Kesalahan maupun kekurangan itu yang seringkali pula menjadi awal adanya pertikaian horizontal antar masyarakat. Tentu saja, pertikaian tersebut kemudian diperkeruh dengan kepentingan kepentingan pribadi mapun golongan dalam rangka memenuhi nafsu duniawi yang tiada habisnya.

Sebagai bangsa yang heterogen, Indonesia tentu membutuhkan sesuatu yang dapat meminimalisir terjadinya pertikaian tersebut. Sesuatu yang dapat membawa pesan dan nilai kebaikan dan mampu mewartakan pencegahan masalah yang buruk maupun negative dengan bingkai kebaikan. Sesuatu yang mampu menjembatani hak dan kewajiban banyak agama, budaya, suku dan Bahasa tanpa harus menghilangkan nilai nilai utama atas agama apa yang dianutnya.

Tentu tidak mudah merangkai keberagaman supaya mau berjalan bersama mencapai kebahagiaan. Disitulah hendaknya kita bersyukur memiliki ayah kita semua, yakni: Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Subardjo, AA. Marimis, Abdul Kahar Muzakir, Abdul Wahid Hasyim, Agus Salim, dan Abiskusno Tjokro Sujoso, yang tergabung dalam Panitia Sembilan yang pada masanya berusaha memfikirkan dan menyusun “jantung” bangsa Indonesia agar mampu berjalan melintasi waktu.

Sebagai hasil pemikiran manusia, tentulah “jantung” tersebut tidak sempurna. Tidak harus menunggu hari ini, bahkan diawal lahirnya “jantung” tersebut sudah mendapat masukan dan kritik, sehingga pada bagian pertama “jantung” yang berbunyi “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluknya” dirubah menjadi “ketuhanan yang maha esa”.

Sayangnya, sampai hari ini masih ada pihak pihak yang menganggap “jantung” bangsa Indonesia ini sebagi sesuatu yang keliru. Dalam perspektif diskusi dan berpendapat mungkin sah-sah saja. Namun, yang saya sesalkan ialah argumentasi yang dibangun dalam memunculkan alasan tersebut.

Mulai dari “jantung” (Pancasila) yang sesat, kafir, tidak sesuai dengan ajaran agama, dan banyak argument lucu lainnya. Padahal sejak dulu, sudah disepakati, bahwa (1) “jantung” tersebut adalah sebagai dasar dan falsafaah NKRI bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

(2) pada bagian pertama “jantung” tersebut, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar NKRI menurut Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila sila yang lain, itu mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Nah, jika bagian pertama sudah menjiwai sila siila yang lain dalam “jantung” tersebut, apalagi yang kita khawatirkan?

Penulis :
Rizal Abdurrahman; Kader PMII Provinsi Jawa Tengah,
Ketua PC PMII Purwokerto 2019/2021. 

 

Tulisan sebelumnyaPentingnya Sertifikasi Tanah wakaf, Fakultas Syariah FGD Bareng NU Purwokerto Barat
Tulisan berikutnyaTok! Konfercab NU Banyumas, Digelar Desember di Ponpes Mamba’ul Ushulil Hikmah Bakung

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini