Membaca Khittah 1926 NU “like a smartphone battery”

Khittah 1926

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan bagian penting dalam perjalanan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sejak pra-Kemerdekaan hingga saat ini, NU selalu ada dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. NU tidak hanya terlihat sebagai organisasi diniyah(keagamaan) saja, tapi juga terlihat dalam beberapa pergerakan lainnya seperti pendidikan, kebudayaan serta politik.

Fleksibilitas NU yang selalu bisa berada di mana saja sesuai perkembangan dinamika bangsa Indonesia, menyebabkan NU menjadi lebih leluasa dalam mengembangkan potensinya. Meski banyak organisasi-organisasi pergerakan yang tumbuh di Indonesia, namun NU-lah yang terlihat potensial untuk bertahan karena strukturnya yang lengkap dan mengakar.

Jika kembali melihat pada dasar-dasar pendirian serta sejarah berdirinya NU, maka dapat dilihat bahwa NU sangat dipenuhi dimensi politik dalam setiap langkah organisasinya. Organisasi ini memerlukan peran politik, selain juga mendengarkan aspirasi warganya yang menginginkan NU turut aktif dalam kancah politik praktis di negara ini.

Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten pada Juni 1938 merupakan awal dimulainya pembahasan keinginan NU untuk berperan dalam politik praktis. Keinginan NU untuk berpolitik praktis akhirnya menemui jalan terang pada tahun 1945, dimana beberapa organisasi keagamaan berniat mendirikan sebuah partai politik bersama-sama. Gayung bersambut, berdirilah sebuah partai bernama MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Eksistensi Partai MASYUMI tidak bertahan lama. Tahun 1947, Sarekat Islam (SI) menyatakan keluar dan mendirikan partai sendiri. Dengan demikian MASYUMI bukan lagi satu-satunya Partai Politik Islam yang ada di Indonesia. Demikian halnya dengan NU yang menyatakan keluar dari MASYUMI pada tahun 1952 dan mendirikan partai sendiri untuk menghadapi pemilu 1955.

Babak demi babak fragmen politik di Indonesia semakin membawa NU ke ranah politik praktis terlalu jauh. Setelah sempat menjalani ber-Partai sendiri hingga bersama-sama ber-Partai dengan PARMUSI, PSII dan PERTI dalam Partai Persatuan Pembangunan juga dijalani NU. Meski hasilnya tetap sama, yakni selalu merasakan ketimpangan dalam pembagian kursi.

Baca Juga : Nahdlatul Ulama Adalah Penjaga Bhineka NUsantara

Rasa-rasanya NU sudah semakin jauh dalam politik praktis, sehingga hampir-hampir terlihat dengan nyata sebagai organisasi politik. Hingga akhirnya, kader-kader muda NU berinisitif mengembalikan fungsi NU pada jalur awal. Dimulai pada tahun 1962 saat Muktamar NU ke-23 di Solo. Meski tidak mendapatkan respon positif dan melegakan, mereka tidak patah arang untuk mengusulkannya kembali pada Muktamar ke-25 tahun 1971 di Surabaya.

Lagi-lagi konsep Khittah NU 1926 belum juga dapat disetujui. Konsep Khittah tersebut baru mulai memperoleh angin segar pada Muktamar NU ke-26 tahun 1979 di Semarang, yang kemudian dibahas pada MUNAS Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo. Khittah NU 1926 sebagai konsep berpolitik NU akhirnya benar-benar dikukuhkan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984.

Babak selanjutnya adalah babak baru yang tidak benar-benar baru bagi NU dalam ber-organisasi. NU bisa menjalankan kembali roda organisasinya tanpa harus terlibat langsung dalam urusan politik praktis. Meskipun NU sejatinya masih tetap berada dalam lingkaran kehidupan politik negara.

Sejatinya, konsep Khittah NU 1926 adalah sebuah bentuk politik yang tidak terlihat. Seperti halnya “icon” battery pada HP/Smartphone. NU tetap ada dalam kekuatan politik dan berperan sangat besar, namun tetap tidak terlihat dengan jelas.

Battery Smartphone adalah “nyawa” bagi sebuah smartphone. Tidak akan menjadi canggih dan berfungsi sebuah smartphone jika battery-nya tidak terisi penuh atau terisi namun hanya sedikit. Untuk dapat mengisinya, si pemilik smartphone bisa menggunakan charger miliknya sendiri atau menggunakan milik orang lain. Begitu pula dengan daya listrik yang dibutuhkan charger untuk mengalirkan/mengisi battery, tidak tentu harus menggunakan aliran listrik dari rumah sendiri karena bisa diambil dari daya listrik di kantor atau fasilitas umum bahkan mungkin juga dari aliran daya listrik “curian”.

Khittah NU 1926 sejatinya digambarkan sebagai “icon” battery pada smartphone. Dia tetap terlihat berada di posisi kecil di pojok atas sebuah smartphone. Dia tak harus menunjukkan jatidiri-nya sebagai battery ber-merk apa dan diproduksi oleh perusahaan apa. Cukup hanya menunjukkan bahwa dia ada dengan tanda bergambar battery yang ada isinya. Dia ada untuk memberikan daya pada smartphone agar berfungsi dengan baik, apapun brand smartphone-nya dan apapun provider penyedia jaringannya. Dia sebagai “nyawa” yang memberi dukungan daya pada kecanggihan sebuah smartphone.

Tulisan Dahlan Iskan berjudul “Air Sirup” di portal www.disway.id tanggal 5 Februari 2022 merupakan pengingat sekaligus “cambuk” bagi NU. Terlebih lagi, NU dengan kepengurusan barunya dari hasil Muktamar ke-34 tahun 2022 ini mengagendakan revitalisasi Khittah NU 1926 sebagai salah satu agenda besarnya.

Dahlan Iskan dalam tulisan tersebut sejatinya sedang memberikan pertanyaan besar yang harus dipikirkan bersama oleh kepengurusan NU yang hingga sekarang belum benar-benar mengimplementasikan konsep Khittah NU 1926 sejak dikukuhkannya konsep tersebut tahun 1984 silam.

NU dalam implementasi konsep Khittah NU 1926 sebaiknya menjadi “icon” battery pada smartphone. Men-suplay daya pada apapun jenis smartphone dan provider jaringannya.

NU adalah Jam’iyyah-nya para Ulama, dan Ulama adalah “pelayan umat” yang berasal dari berbagai macam latar belakang serta kepentingan.
_________________________________________
Menyambung artikel Dahlan Iskan berjudul “Air Sirup” di https://www.disway.id/r/5132/air-sirup#.Yf2WHJ1SGmk

Tulisan sebelumnyaGubernur Akan Buka Muskerwil NU Jateng dan Wagub Akan Menutupnya
Tulisan berikutnyaNing Lulu : Berorganisasi Harus Penuhi Empat Rukun

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini