Slamet Effendy Yusuf dan Khittah NU

Slamet Effendy Yusuf

Nahdlatul Ulama pada akhir tahun 70an merupakan struktur yang kopong, ada tapi tidak berjalan. Ibarat sebuah mobil tua yang sudah ditinggalkan supirnya. Kondisi kantor PBNU di Kramat Raya 164 sangat memprihatinkan. Pengurus PBNU memimpin dari senayan, akibatnya kantor kosong.

Kondisi demikian menimbulkan kegelisahan anak-anak muda NU di luar struktur yang tinggal di Jakarta. Sebut saja misalnya, dr. Fahmi Dja’far Saifuddin dan Said Budairy. Karena kegelisahan yang sama, anak-anak muda ini lantas bertemu, berjejaring, dan membentuk Kelompok Diskusi.

Gus Mus dalam buku Konseptor di Pusaran Perubahan menceritakan, salah satu tokoh muda yang cukup menonjol dalam kelompok diskusi tersebut adalah Slamet Effendy Yusuf. Tokoh muda NU asal desa Lesmana kecamatan Ajibarang Banyumas yang waktu itu baru merantau ke Jakarta.

Awalnya kelompok diskusi itu bernama “Kelompok Pecinta NU”, kemudian berganti menjadi ‘Kelompok G’ diambil dari Jalan G, alamat rumah Said Budairy yang menjadi tempat diskusi. Kelompok inilah yang nantinya akan menjadi pendorong perubahan di NU.

Beberapa nama yang intens dalam Kelompok G adalah Abdurrahman Wahid, Said Budairy, Fahmi Dja’far Saifuddin, Umar Basalim, M. Ichwan Sam, Salahudin Wahid, Masdar Farid Mas’udi, Mustofa Zuhad, Slamet Effendy Yusuf, dan nama lain yang datang secara insidentil.

Kelompok G inilah yang kemudian berkembang menjadi semacam ‘dapur swasta’ yang menggodog banyak konsep terutama tentang NU dan peranannya di negeri ini. Di antara produknya yang menonjol adalah keberhasilannya menyusun draft Khittah NU, melalui Majelis 24 dan Tim 7 bentukannya.

Baca Juga : PWNU Jateng Berharap Muktamar Lampung Fokus Agenda Khittah 1926

Kelompok G ini merumuskan bentuk-bentuk pokok pikiran dan gagasan mengembalikan NU ke Khittah 1926. Apa inti dari gagasan kembali ke Khittah 1926? Intinya adalah bagaimana mengembalikan NU pada spirit dan misi dasarnya kenapa NU didirikan, yaitu memberikan pelayanan dalam bidang pendidikan, dakwah Islamiyah, dan pembangunan akhlak.

Setelah serangkaian diskusi di rumah Said Budairy, diadakanlah pertemuan yang dihadiri oleh 24 kiai. Bertempat di sebuah hotel di depan Plaza Senayan. Dengan biaya dari Kiai Saifuddin Zuhri. Hasil pertemuan ini kelak disebut ‘Majlis 24’.

Hasil kesepakatan Majlis 24 adalah membentuk Tim 7 untuk membentuk draft naskah kembali ke Khittah 1926. Gus Dur ditunjuk menjadi ketua Tim 7, dengan H. Zamroni sebagai wakil dan Said Budairy sebagai sekretaris dengan anggota-anggota Mahbub Djunaidi, Fahmi D Saifuddin, Danial Tanjung dan Ahmad Bagdja.

Tim ini diberi tugas untuk menyusun rumusan Khitthah NU 1926. Sedangkan acuan pokok tentang Khitthah NU adalah buku Khitthah Nahdliyah dan Fikrah Nahdliyah karya KH Ahmad Siddiq.

Awalnya Gus Dur yang ditugasi menyusun draft Kembali ke Khittah 1926, tapi tidak selesai sesuai deadline. Maka atas inisiatif Fahmi Saifuddin, Slamet Effendy Yusuf diminta untuk men’take over’ tugas Gus Dur dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Hanya dalam waktu semalam, Slamet menyelesaikan tugasnya membuat draft naskah Kembali ke Khittah 1926.

Naskah yang telah disusun Slamet menjadi bahan kajian utama peserta diskusi Majlis 24. Yang kemudian disosialisasikan ke pengurus NU, sampai akhirnya menjadi ketetapan di Muktamar ke 27 NU di Situbondo, tahun 1984.

Yang patut dicatat, dalam Kelompok G tersebut terdapat paling tidak 4 orang Banyumas yang berperan penting. Yaitu Slamet Effendy Yusuf, Masdar Farid Mas’udi, Fahmi Dja’far Saifuddin, dan Saifuddin Zuhri selaku penyokong dana utama. (*)

Tulisan sebelumnyaTafsir Al Ibriz, KH Bisri Musthofa, Gus Yahya, dan Kita
Tulisan berikutnyaKapan Harlah NU Tahun 2022?

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini