Senyuman Kecil di Haul Kiai Besar

Senyuman

Malam sudah hampir paripurna, namun hujan masih terlihat enggan untuk reda. Beberapa santri pesantren Al Azhary terlihat masih sibuk membereskan bekas lokasi acara pengajian haul memperingati 14 tahun wafatnya pendiri pesantren, KH Yusuf Azhary Jumat,(21/1/2022) itu.

Pesantren Al Azhary terletak di Dukuh Karang Cengis Desa Lesmana Kecamatan Ajibarang, sekitar 6 KM dari Desa tempat tinggalku dan tak sampai 5 menit perjalanan dari pusat kota Kecamatan Ajibarang. Lokasinya yang cukup strategis itu membuat perkembangan pesantren yang berdiri sejak 24 November 1986 itu terbilang pesat.

KH Yusuf Azhary memiliki seorang anak yang sukses berdakwah hingga panggung nasional, kecerdasan, pengalaman dan keberaniannya menjadikan dirinya sebagai salah satu tokoh Indonesia yang cukup berpengaruh besar pada zamanya. Ia adalah Slamet Effendy Yusuf.

Slamet merupakan tipe orang yang semangat dan pekerja keras, pantang menyerah dan memilki keyakinan kuat tentang suatu konsep hidup ‘Man Jadda Wa Jadda’ apabila bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasilnya.

“Pak Slamet itu semasa hidupnya tidak pernah punya usaha, punya PT, CV atau yang lainya. Jadi memang hidup untuk masyarakat. Yang diurusi Slamet bukan uang tapi orang,” jelas Siti Aniroh, istri almarhum yang telah mendampinginya selama 40 tahun.

Slamet selalu menekankan kepada seluruh anak-anaknya untuk memiliki sifat jujur dalam setiap setiap ucapan dan tindakan yang dilakukannya. Siti Aniroh bercerita, saat masih menjabat sebagai anggota MPR RI, salah satu anaknya mau mendaftar kerja di MK karena sedang ada lowongan pekerjaan, tapi Slamet tak mau membantu sedikitpun, ia menyuruh anaknya untuk daftar sendiri, usaha sendiri.

“Padahal, jika ia membantunya pasti bisa. Tapi ia lebih memilih untuk tidak ikut campur urusan anaknya itu. Kalau Zaky mau, ya usaha sendiri,” lanjut Siti Aniron menirukan ucapan mendiang suaminya itu.

Baca Juga : KH Yusuf Azhary, Kiai Al-Quran dari Ajibarang

Slamet juga selalu mewanti-wanti kepada istri dan anak-anaknya untuk tidak berharap balasan kebaikan dari orang lain, karena itu bukanlah suatu sifat yang baik. Siti Aniroh mengaku selalu ingat betul saat suaminya mengucapkan itu.

“Jika engkau berbuat baik kepada orang lain, jangan sekali-kali berharap orang tersebut akan membalas kebaikan mu, ikhlaskan saja, nanti Allah yang akan memberikan balasan kepada mu,” tegas Bu Aniroh.

Usai mengucapkan kalimat itu, sorot mata Siti Aniron seketika berubah, ia seolah sedang meneropong jauh ke masa lalu, masa dimana ia dan suaminya menginjakan kaki pertama kali di tanah Batavia, menjadi ‘kontraktor’ yang hidupnya selelu berpindah-pindah, menemaninya sebagai aktivis organisasi, hingga akhirnya sampai pada puncak kesuksesan karirnya.

Pejuangan hidup yang tak mudah itu menjadikan Siti Aniroh sebagai pribadi yang kuat, ia juga bertekad untuk terus mengikuti jejak kehidupan suaminya dalam berjuang untuk masyarakat lewat organisasi PP Muslimat yang saat ini diikutinya.

Di luar, hujan terdengar masih belum reda, tapi malam sudah mendekati paripurna, tak enak rasanya melanjutkan obrolan lagi, meskipun sebenarnya masih banyak pertanyaan yang belum aku sampaikan, aku kemudian pamit untuk pulang.

Sebelum pulang, Bu Aniroh memberikanku sebuah buku yang bersampul dominan warga hijau, berjudul Islam, Negara, NU. Buku itu bersisi kumpulan tulisan-tulisan KH Slamet Effendy Yusuf. Pada bagian depan sampul buku terdapat foto Slamet Effendy Yusuf dengen background bendera merah putih sedang tersenyum.

Aku kemudian melangkahkan kakiku menuju pintu gerbang pesantren, sambil mengecek rekaman hasil obrolan dengan Bu Aniroh, tanpa aku duga suara klakson dari sebuah sepeda motor membuyarkan fokus perhatianku, pengendaranya lalu melempar senyuman kepadaku, aku membalas senyuman darinya.

Suara klakson dari alat transportasi roda dua itu terasa masih terdengar sampai sekarang. Sesosok wajah dengan garis-garis pipi terangkat kemudian melintas cepat bak angin malam itu juga masih ku ingat dengan jelas, meski samar-samar, tapi aku meyakini itu adalah senyuman kecil yang sengaja dihadirkan pada acara haul kiai besar.(*)

Tulisan sebelumnyaSambut Harlah NU ke 96, MWCNU Baturraden Instruksikan Pemasangan Bendera NU
Tulisan berikutnya3 Cara Berkhidmat Untuk NU Menurut KH Ahmad Shobri

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini