Salah Paham Tentang Ibadah

Ibadah

Ada sebuah kata penting dalam kehidupan umat beragama, namun tidak begitu dipahami maknanya, yakni ibadah. Kata ini sangat penting bagi umat beragama, sehingga wajib memahami arti dan peran-perannya.

Ibadah menjadi tujuan diciptakannya manusia serta menjadi tujuan hidup manusia, sebagaimana firman Allah yang berada di dalam kitab suci. Allah berfirman di dalam Q.S Az-Zariyat yang artinya, Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah dan mengabdi kepada Ku.

Secara tegas ayat ini menjelaskan kepada jin dan manusia, bahwa tujuan diciptakannya adalah mengabdi dan menyembah kepada Allah. Kemudian, secara tidak langsung, ayat ini menjelaskan terhadap manusia dan jin agar sadar akan makna ibadah. Tanpa ada kesadaran makna ibadah, manusia tidak akan memahami penciptaan dirinya. Apabila manusia tidak mencapai tujuan penciptaanya, maka manusia tersebut akan dianggap gagal. Oleh sebab itu, manusia harus memahami dengan sungguh-sungguh makna ibadah.

Secara harfiah, “ibadah” berarti pengabdian (seakar dengan kata Arab ‘abd yang berarti hamba atau budak), yakni pelayan atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pengertian luas, ibadah mencakup segala kegiatan manusia di dunia ini, termasuk kegiatan keduniawian sehari-hari. Jika kegiatan yang bersifat keduniawian dilakukan dengan niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah, maka kegiatannya bernilai ibadah.

Hal ini sesuai dengan firman Allah bahwa manusia dan jin tidaklah diciptakan melainkan untuk mengabdi kepadaNya. Seseorang dikatakan hamba bagi orang lain jika, keseluruhan hidupnya tercurahkan untuk melayani dan mengabdi kepada tuannya. Orang yang dianggap pelayan sebagai pelayan dan diupah karena kerjanya, namun tidak memberikan pelayanan layaknya seorang hamba pada umumnya adalah salah, karena tidak loyal dan melawan tuannya.

Sikap yang baik seorang hamba terhadap tuannya, agar loyal dan tidak melawan antara lain, Pertama, Seorang hamba harus menjadikan tuannya satu-satunya majikan. Dia harus benar-benar merawat, melayani serta mengabdi hanya kepada tuannya. Kedua, melaksanakan segala perintah tuannya kepada dirinya, serta segala perintah yang bukan berasal dari tuannya harus ditinggalkan. Ketiga, seorang hamba wajb menghormati dan memuja tuannya. Dia harus mengikuti tata cara bagaimana menghormati dan memuja tuannya sesuai perintah.

Inilah kualitas-kualitas bagi ibadah yakni, setiap terhadap tuannya, patuh kepadanya, dan menghormati serta memujanya. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berisi tentang penciptaan manusia dan jin melainkan untuk beribadah. Dalam Al-Qur’an ibadah mencakup sikap setia, patuh dan memuja tuannya. Ibadah menjadi ajaran substansial dari Nabi Muhammad SAW.

Pengertian ibadah yang lebih khusus, banyak dipahami dalam masyarakat menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara khas bersifat keagamaan. Pandangan seperti ini dikenal dengan istilah ubudiyah, yang pengertiannya sama dengan kata-kata ritus atau ritual dalam ilmu-ilmu sosial.

Dalam menjalankan ibadah ubudiyah, seseorang harus mengikuti petunjuk-petunjuk agama dengan referensi kepada sumber-sumber suci (kitab suci), serta tidak boleh bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara, dan pola mengerjakan ibadah. Justru kreasi atau penambahan dalam menjalankan ibadah ubudiyah akan dicap sebuah penyimpangan (bid’ah) yang terlarang keras.

Baca Juga: Menjelajah Perjalanan Sejarah Isra Miraj

Kaedah Ushul Fiqh menjelaskan bahwa ibadah itu terlarang, kecuali yang telah ditetapkan oleh agama. Jadi, telah disinggung yang dimaksud dengan terlarang dalam kaedah itu yakni, tidak dibenarkannya seseorang menciptakan ibadah sendiri mulai dari bentuk dan cara ibadah. Persoalan ibadah Ubudiyah merupakan hak prerogatif Allah yang disampaikan kepada rasulNya.

Ibadah yang benar tentunya tidak akan memberi dampak kepada pengekangan serta pembelengguan individu. Itu berarti bahwa ubudiyah harus ditujukan kepada Allah dengan setulus-tulusnya, Karena Dia adalah Khalik, sedangkan manusia adalah makhlukNya.

Selanjutnya, tindakan ubudiyah yang hanya ditujukan kepadaNya, akan menghadirkan ketulusan untuk melakukan amal shaleh. Dari perspektif ini maka, ibadah merupakan simbolik pengagungan hamba kepada Khaliknya serta pernyataan akan penerimaan hamba akan tuntutan moralNya. Melalui ibadah, seorang hamba berharap penuh kepada Khaliknya agar dibimbing dan diberi petunjuk jalan yang benar. Dihadapan Sang Khalik, seorang hamba menyadari akan kelemahan dirinya, sehingga seorang hamba sangat mengharapkan rahmat dari Allah. Seorang hamba tidak akan mampu mencari dan menemukan jalan yang lurus tanpa ada campur tangan dari Allah.

Ada semacam problematika hubungan ibadah dan iman, suatu pertanyaan yang tidak terlalu hipotetis sering diajukan seseorang. Pertanyaan itu berupa, “Apakah manusia tidak cukup dengan iman saja serta berbuat baik, tanpa perlu beribadah?”. Albert Einstein pernah berucap bahwa ia percaya kepada Tuhan dan keharusan berbuat baik, tanpa merasa perlu beribadah. Einstein menganggap tidak ada gunanya memasuki agama formal, karena dirinya sudah beriman kepada Tuhan dan berbuat baik.

Pertanyaan diatas memunculkan pertanyaan balik terhadap Kitab Suci. Kitab Suci selalu berbicara tentang iman dan amal shaleh, sebagai dua nilai yang harus dimiliki manusia. Tetapi, penelaahan lebih lanjut mengenai pertanyaan itu, bisa menimbulkan berbagai problema. Pertama, dalam perjalanan histori tidak pernah ada sistem kepercayaan yang tumbuh tanpa sedikit banyak mengintrodusir ritus-ritus. Problema kedua, iman merupakan sesuatu yang berdimensi suprarasional atau spiritual yang mengekspresikan kepada kebaktian.

Baca Juga : Kata Gus Yusuf, Cemburu Itu Bagian Dari Iman

Problema ketiga, memang benar dalam diri manusia yang terpenting adalah iman dan amal saleh. Iman mendasari perbuatan amal saleh dalam kehidupan manusia, tetapi ada juga iman yang abstrak. Iman abstrak, mampu mendorong munculnya perbuatan baik, haruslah berkombinasi dengan jiwa seorang beriman. Hal ini terjadi melalui ibadah ubudiyah , wujud nyata keagamaan sering kita jumpai dalam bentuk-bentuk kegiatan ubudiyah.

Dari problema-problema diatas, jelaslah bahwa sistem ibadah merupakan salah satu kelanjutan logis sistem iman. Jika kegiatan-kegiatan ubudiyah tidak dikehendaki oleh iman, maka iman akan menjadi sekedar rumusan-rumusan abstrak tanpa memberi dorongan batin terhadap individu untuk berbuat baik. Keimanan yang ada pada individu harus di lembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan seseorang kepada Tuhan.

Dari tinjuan ini, ibadah dapat kita sebut sebagai bingkai dan pelembagaan iman, yang membuatnya mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk tingkah laku dan tindak-tanduk yang nyata. Disamping itu, ibadah juga sebagai upaya untuk memelihara dan menumbuhkan keimanan. Seperti yang kita tahu, bahwa iman itu tidaklah statis.

Sebaliknya, iman bersifat dinamis yang mengenal irama naik dan turun. Iman harus dipelihara secara terus menerus agar selalu ada di dalam jiwa dan meresap dalam segala aktifitas sehari-hari.

Perkataan iman berasal dari kata yang sama dengan perkataan aman (Arab: aman, yakni kesejahteraan dan kesentausaan) dan amanat (Arab: amanat, yakni keadaan bisa dipercaya atau diandalkan). Karena itu iman yang membawa rasa aman dan orang membuat amanat itu lebih daripada hanya percaya, dalam arti sekedar percaya terhadap tuhan. Pengertian iman bukan hanya terbatas kepada percaya terhadap Tuhan, melainkan mempercayai Tuhan dan menaruh kepercayaan terhadapNya. Wujud rasa iman ialah sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai menyandarkan diri dan menggantungkan harapan. Oleh sebab itu, konsistensi iman seorang hamba kepada Tuhannya ialah husnudzan (baik sangka) sehingga memunculkan sikap optimis.

Sungguh ada perbedaan dalam ibadah, yakni ibadah karena Tuhan telah menciptakan kita dan Tuhan memerintahkan kita. Adalah sebagai berikut, kita harus mengikuti dalam segenap hidup kita, kita menggunakan hukum sesuai dari Allah, dan menolak hukum lain yang bukan berasal dari Allah. Segalanya harus dilakukan sesuai dengan ajaranNya, dengan demikian segala hidup kita akan bernilai ibadah.

Dengan kehidupan seperti ini, maka segalanya bernilai ibadah. Apakah kita tidur atau terjaga, apakah kita makan atau minum, apakah kita kerja atau istirahat, apakah kita bicara atau diam, adalah ibadah. Betapa mudahnya kita untuk beribadah, seandainya kita mendatangi istri pun dinilai sebagai ibadah. Semua tindakan yang selama ini kita anggap sekular atau bersifat duniawi, memiliki potensi ibadah yang besar. Sebagai contoh lagi, mencari uang atau pekerjaan yang halal, begitu susah dan memerlukan usaha yang lebih. Namun, untuk mencari uang atau pekerjaan yang bernilai haram sangatlah mudah. Seandainya seorang beriman mencari nafkah dan menggunakannya untuk menghidupi anak istrinya, hal ini termasuk ibadah. Demikian dengan mengekang untuk mendapat uang haram, termasuk dari bagian ibadah.

Menyembah Tuhan yang sebenarnya, bukanlah pada saat-saat waktu beribadah yang selama ini kita kenal. Melainkan, seluruh waktu yang kita gunakan sesuai dengan ajaran-ajaranNya serta menjauhi laranganNya. Oleh sebab itu, ibadah kita kepada Allah berjalan sepanjang kita hidup.

Mungkin ada pertanyaan, Dimanakah posisi ibadah ritual seperti shalat, zakat, puasa, dan lain sebagainya?. Amalan-amalan ibadah seperti ini, secara eksplisit menyiapkan kepada ibadah-ibadah yang lebih luas lagi. Shalat lima waktu mengingatkan kepada kita untuk menjadi hambanya. Puasa menyiapkan kita menahan lapar dan haus, untuk pengabdian itu. Zakat mengingatkan kita, atas rizki yang diperoleh agar di berikan kepada orang lain. Hal ini memberikan rangsangan untuk meningkatkan kesadaran sosial. Uang yang kita peroleh, tidak hanya di hamburkan untuk hura-hura. Haji melukiskan cinta terhadap sang nabi, dan menumbuhkan cinta terhadap Allah SWT. Sehingga, sekali mengakar amalan-amalan itu, akan memberikan perubahan dalam kehidupan kita.

Jika melaksanakan ibadah ini, maka kehidupan kita akan ditransformasi menjadi ibadah semua dalam sehari-hari. Sungguh, shalat kita adalah shalat yang sebenarnya, puasa yang kita kerjakan adalah puasa yang sebenarnya, zakat yang kita lakukan adalah zakat yang sebenarnya. Ritual-ritual ibadah yang kita kerjakan tanpa mengetahui akan maknanya, akan sia-sia saja. Kita harus menemukan betapa ibadah-ibadah ini, bertujuan untuk menyiapkan kepada kita terhadap ibadah yang lebih luas lagi. (*)

Tulisan sebelumnyaBeberapa Alasan Haji Metaverse Tidak Sah
Tulisan berikutnyaSaat Mbah Yusuf Menyembuhkan Orang Sakit Lumpuh

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini