Murka dan Rahmat Allah Melalui Hujan

ANDA mungkin pernah membaca buku The True Power of Water karya Massaru Emoto tentang kristal-kristal air. Dalam bukunya tersebut Massaru mencoba menjelaskan tentang penelitiannya mengenai air sebagai benda hidup yang mampu merespons rasa dan bahasa yang di sampaikan manusia.

Respons yang di terima oleh air tergantung positif dan negatif yang di sampaikan manusia walaupun manusia itu tidak merasa menyampaikannya pada air. Adanya bencana banjir, tsunami dan semua bencana yang melibatkan air salah satunya adalah berita negatif yang di sampaikan manusia, lalu direspons cepat oleh air itu sendiri. Begitulah sedikitnya gambaran mengenai buku best seller karya massaru emoto.

Anda mungkin bertanya-tanya, dulu musim dapat di prediksi, kapan musim hujan dan kapan pula musim kemarau. Lalu pertanyaannya sekarang adalah kenapa kemarau yang seharusnya menemani kita sekarang ini di ganti dengan hujan? Ataukah musim di kampung kita sudah tak ada musim kemarau?

Bagi saya seorang Muslim, tentu memandang hujan atau kemarau adalah Rahmat dari yang Mahakuasa. Terlepas kadang ngresula kalau hujan atau lagi kepanasan. Tapi batin saya tetap bertanya-tanya, ada apa gerangan yang menjadikan hujan tak henti-henti? Mungkinkah ini pertanda kalau akhir zaman sudah amat dekat, dan konon kata seorang kyai ngaji saya nanti pada akhir zaman bumi ini di tenggelamkan, dan yang menjadi sampannya adalah Masjid-masjid.

Terlepas dari itu semua, yang jelas adalah bagaimana kita menafsiri hujan sebagai agenda (schedule) Tuhan yang tak dapat kita elakkan keberadaannya saat ini, atau kita sangkal atau bahkan kita pawangi biar hujannya pindah. Hujan ya hujan pemberian dari Gusti Allah yang wajib kita syukuri, lalu kenapa kita harus gelisah saat gelap mendung, kemudian hujan dan petir bersatu?! Begitulah memang sifat manusia yang gampang protes sama kehendak Tuhan, banyak mintanya dan sering ngenyang alias nawar pada pemberian Tuhan, wong semua sudah menjadi agenda Tuhan koh masih di tawar juga.

Memang akhir-akhir ini banyak kita lihat di beberapa daerah, karena hujan yang terus menerus akhirnya banjirlah, longsorlah, kesamber petirlah, kepleset kemudian modarlah dan masih banyak lagi cerita menyedihkan, yang ujung-ujungnya hujan lah yang di salahkan.

Padahal sejatinya hujan tak tau menau tentang banjir, longsor dan lain sebagainya, wong dia turun ke bumi juga karena di suruh yang Mahakuasa, adapun musibah yang terjadi di muka bumi itu ya karena takdir yang kuasa pula kan. Wajar kalau hujan yang selalu di kambing hitamkan kemudian ngambek nggak mau lagi turun, kan repot kalau musim kemarau sampai bertahun-tahun.

Intinya adalah kita disuruh belajar bersikap proporsional sajalah terhadap apa pemberian Tuhan. Serahkan saja semua pada-Nya dan berprasangka baik pada semua yang Dia berikan pada kita. Toh adanya musibah itu kan merupakan ujian dan cobaan bagi kita, dan yang terpenting tak perlu kita menyalahkan apapun itu dan siapapun itu ketika derita ada di pihak kita.

Sudah saatnya kita kembali pada diri kita sendiri (fithrah), sejauh mana kita menghargai alam ini sebagai instansi yang bersandingan hidup dengan kita. Sudahkah kita menghargai alam ini sebagai bagian hidup dari kehidupan kita. Mampukah kita adil dalam merawat dan menjaga alam ini selayaknya seperti kita merawat diri kita saat berhias. Lagi-lagi introspeksi diri terhadap perilaku kita sebagai manusia yang bejat dan ngawur ngalor ngidul.

Coba kita renungi

Adanya bencana dan rahmat adalah salah satu bahasa Tuhan kepada Manusia bahwa Gusti Allah itu adalah Tuhan yang menguasai alam semesta ini, yang memiliki hak prerogratif untuk mengatur alam semesta ini. Tidak ada yang bisa melawan kuasanya. Tapi, Dia bukan Dzat yang sewenang-wenang. Dia Maha penyayang.

Karena semua yang Dia lakukan adalah dalam rangka mengingatkan manusia bahwa hidup ini bukanlah dari lahir, dewasa, punya anak, tua kemudian mati begitu saja. Ada koridor kehidupan yang mesti di jalani, ada aturan mainnya. Untuk akhirnya kembali kepada sang pencipta untuk di mintai laporan pertanggungjawabannya (LPJ). Kalau LPJnya baik, tentu nilainya baik pula, hadiahnya pun Surga bagi yang menginginkannya. Kalau LPJnya buruk, buruk pula nilainya, tentu hadiahnya Neraka. Begitulah mekanisme sunnatullah meminjam istilahnya Agus Mustafa.

Sunnatullah adalah hukum sebab-akibat (kausalitas), karena kita melakukan kesalahan ya pada akhirnya kita mendapat bencana, kan begitu seperti di jelaskan dalam QS. Al Israa’ (17): 15. Seharusnya dan semestinya, setelah kita melakukan kesalahan langsung mendapat hukuman dari Tuhan, tapi sangking sifat penyayang-Nya hukuman itu di tangguhkan sampai kita menyadari dan bertaubat. Lah karena kebodohan (jahil murakkab) kita, dan kebiasan jatuh pada lubang yang sama, ya sudahlah!!!

Begitulah hakikatnya sunnatullah. Tetapi, jangan kemudian kita menganggap semua yang mati karena bencana itu karena adzab atau Murka Tuhan. Toh, setelah manusia mati yang di timbang kan amal perbuatannya, jadi ya walaupun banyak yang mati karena bencana belum tentu mereka orang-orang yang mendapat murka Tuhan, siapa tau mereka adalah orang yang mendapat tempat yang paling tinggi karena keunggulan iman dan taqwanya, sehingga sampai dia matipun masih dalam ujian Allah.

Allah kan Maha Penyayang, adapun Dia memberikan adzab, bencana atau musibah pun bukan semata-mata karena murka, di samping karena perbuatan jorok kita sendiri, sehingga di siram oleh Gusti Allah sebagai Rahmat untuk kita yang hidup dari-Nya. Supaya kita sadar dan menyadari tentang segala perbuatan kita, supaya kita bisa lebih mendekatkan diri lagi kepada-Nya dan supaya kita introspeksi pada diri kita. Dan yang mati, yang terluka dalam musibah adalah sebagai alat untuk mengingatkan kita, itulah yang disebut dengan ‘ibadullah mukhlashin (hamba-hamba Allah yang terpilih).

Jadi, kesimpulannya adalah berperasangka baiklah terhadap semua pemberian Tuhan yang sama sekali kita tak tau menau apa maksud-Nya, hanya karena hujan dan cucian nggak kering lalu menggerutu terus, hanya karena hujan terus telat masuk kerja ngomel aja sendiri, padahal telat waktu salat saja santai saja.

Sudahlah Syukuri saja semua itu sebagai bagian dari keindahan-Nya, lagian juga bersyukur itu nikmat. Tak perlu kita marah-marah karena sawah kita kebanjiran, pasti ada Hikmah di balik semua itu. Yang terpenting dan paling utama adalah bertaubat kalau kita merasa diri kita telah kotor dari dosa-dosa, itu sih kalau merasa. Wa Allahu a’lam bis showab.

Tulisan sebelumnyaMenengok Jejak Al ‘Alawiyin dari Perbatasan
Tulisan berikutnyaSantri Milenial

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini