Lantunan Takbir Mengiringi Kenaikan Isa Al Masih

ALFIAN IHSAN

Refleksi Toleransi Idul Fitri 1442 H

Kamis, 13 Mei 2021, merupakan salah satu peristiwa langka bagi Umat beragama di Dunia. Dua peristiwa keagamaan bertemu dalam satu hari yang sama. Idul Fitri bagi umat muslim dan Kenaikan Isa Al Masih bagi umat Kristen dan Katolik.

Sebagaimana kita ketahui, Idul Fitri merupakan momentum perayaan setelah 30 hari lamanya umat muslim melakukan proses karantinat terhadap hawa nafsu. Menahan rasa lapar dan haus di siang hari untuk menekan beragam keinginan buruk (nafsu lawwamah) dalam diri manusia semisal ghibah, hasud, iri, marah, dan dengki.

Sedangkan Kenaikan Isa Al Masih, merupakan peristiwa naiknya Isa Al Masih atau Yesus ke Surga setelah bangkit di hari ke-3 pasca penyaliban. Kebangkitan Isa Al Masih merupakan sebuah peristiwa dimana beliau berpesan kepada murid – muridnya untuk mengabarkan kepada umat manusia mengenai jalan hidup Yesus yang penuh kesederhanaan, menjaga jarak dari dunia, dan cinta kasih.

Apakah Anda menemukan kemiripan dalam dua paragraf diatas? Ada korelasi antara menahan lapar dan haus dengan kesederhanaan. Kemudian antara menekan segala keinginan buruk dengan cinta kasih.

Seperti itulah nilai – nilai keagamaan diajarkan oleh para pewarta, the messenger, Rasul. Jika kita mau menyelami lebih dalam kepada nilai – nilai spiritual yang terkandung dalam sebuah agama dan kemudian menyandingkannya dengan nilai spiritual agama lainnya, maka kita akan menemukan banyak kemiripan.

Seperti apa yang disampaikan oleh K.H. Abdurrahman Wahid bahwa semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi pula rasa toleransinya. Petuah Gus Dur ini selayaknya menjadi pemantik bagi kita semua untuk mau meluangkan sedikit waktu belajar mengenai sesuatu yang berbeda dari kita.

Seringkali kita terlalu egois dengan selubung agama dalam diri kita, sehingga tidak mau membuka diri terhadap perbedaan agama lain. Seandainya kita mau sedikit rendah hati menggeser sudut pandang dari aspek teologis menjadi spiritualis, maka akan kita temukan kemiripan nilai ajaran dari agama yang berbeda – beda.

Baru – baru ini kita tentu menyaksikan betapa ramainya pergunjingan di dunia maya mengenai Gus Miftah yang memberikan sambutan saat peresmian Gereja Bethel Indonesia di Penjaringan, Jakarta.

Betapa masif upaya sebagian kelompok umat Islam untuk menjatuhkan nama beliau dengan stigma Sesat, Liberal, dan Kafir. Serangan dan hujatan yang cenderung personal ini tampak aneh mengingat bukan hanya Gus Miftah yang memberikan sambutan, namun juga ada Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang tentu juga beragama Islam.

Kemudian muncul narasi bahwa boleh saja Anies Baswedan berada di Gereja dan memberikan sambutan sebagai kepala daerah yang mengayomi seluruh masyarakat. Namun dianggap ketidakwajaran bagi seorang Penceramah Islam untuk memberikan sambutan pada acara peresmian Gereja.

Diskursus ini sempat menjadi trending topic di dunia maya, mengenai batasan interaksi umat muslim kepada umat beragama lainnya berdasarkan pendapat dari banyak ulama. PBNU tentu turut memberikan statement dalam hiruk pikuk perdebatan ini, bahwa kehadiran umat Muslim dalam ruang – ruang aktifitas agama lain sebagai wujud dari nilai Rahmatan Lil Alamin.

Rahmatan Lil Alamin mempunyai arti bahwa Islam sebagai agama yang merupakan rahmat bagi seluruh alam, mengayomi dan memberikan kenyamanan bagi manusia dan alam semesta. Tentu hal ini lebih kompleks daripada fungsi seorang pimpinan daerah yang mengayomi masyarakat.

Berkaca dari masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai sikap toleransi dan pluralitas, terlepas dari adanya unsur politis yang menimbulkan sikap intoleransi, maka ruang – ruang diskusi dan kerja-kerja kemanusiaan mengenai dua sikap ini perlu untuk selalu dinyalakan dalam ruang publik.

Seperti apa yang dicontohkan oleh Alissa Wahid dengan komunitas Gusdurian yang menyebar di hampir setiap kabupaten, Maarif Institute yang digawangi oleh anak – anak muda Muhammadiyah dibawah bimbingan Buya Syafii Maarif, atau Srikandi Lintas Iman yang terdiri dari tokoh perempuan lintas agama di Yogyakarta.

Lembaga – lembaga seperti inilah yang diharapkan mampu mewarnai kehidupan keberagamaan di Indonesia. Karena tanpa kerja nyata dari masyarakat terdidik, maka siapa lagi yang bisa diharapkan untuk menyalakan api toleransi dan pluralitas yang diwariskan oleh Gus Dur.

Begitu pula dalam konteks masyarakat Banyumas, meski belum pernah ada peristiwa intoleransi yang besar hingga skala nasional, ruang dialog dan aktifitas kemanusiaan antar umat beragama penting untuk selalu diupayakan.

Sebagai anak muda NU yang aktif dalam Forum Persaudaraan Lintas Iman (Forsa) Banyumas, saya merasa bahwa kondusifitas keberagamaan di Kabupaten Banyumas penting untuk terus dirawat. Tentu tidak hanya melalui dialog antar tokoh agama, namun juga turun ke akar rumput untuk memetakan kondisi sosial keagamaan masyarakat.

Aktifitas ini tentu membutuhkan dukungan dari banyak pihak, seluruh stakeholder masyarakat tidak terkecuali warga NU. Dengan pemahaman keislaman yang moderat khas NU, diharapkan mampu menjadi pelopor bagi kehidupan beragama di masyarakat yang kondusif, toleran, saling menghormati, dan cinta kasih.

Dengan semangat Idul Fitri dan Kenaikan Isa Al Masih ini, diharapkan mampu melahirkan manusia – manusia baru yang bersih jiwanya, berjarak dari keinginan duniawi yang berlebihan, dan kemauan untuk melayani kepentingan sesama. Kehidupan yang lebih baik tentu bukanlah sebuah impian asalkan kita mau melepas primordialisme agama dan meletakkan kemanusiaan diatas segalanya.

“Saling memberi ucapan hari raya adalah bentuk toleransi kemanusiaan, bukan sebuah penyerahan iman”

Alfian Ihsan, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Unsoed Purwokerto, Pegiat Forum Persaudaraan Lintas Iman Banyumas, ikut ‘rewang’ di Ikatan Sarjana NU (ISNU) Banyumas.

Tulisan sebelumnyaTentang Abah dan Pertanyaannya (2)
Tulisan berikutnyaBenarkah Bilal shalat Jumat Bid’ah?

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini