Kritik Pembangunan Dalam Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari

orang-orang proyek
orang-orang proyek

Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari bercerita tentang sepak terjang seorang insinyur idealis bernama Kabul yang bekerja di proyek pembangunan jembatan.

Mengambil latar waktu di masa Orde Baru, Ahmad Tohari menggambarkan proyek yang ditangani Kabul penuh dengan praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Idealisme Kabul tak henti-hentinya diuji oleh ulah kader-kader Golongan Lestari Menang (GLM) yang merupakan partai penguasa saat itu.

Anggaran proyek menjadi bancakan kader-kader GLM, termasuk atasan Kabul sendiri, Dalkijo.

Kabul sering berbagi kegelisahannya dengan teman sekampus bernama Basar yang kebetulan menjadi kepala desa di tempat ia memimpin proyek.

Kendati menjadi kades di era ORBA, sebagaimana Kabul, Basar juga mati-matian mempertahankan idealismenya.

Selain Basar, Kabul juga sering berbagi keresahan dengan Pak Tarya.

Seorang pensiunan wartawan sebuah surat kabar dari Jakarta yang hobi menghabiskan masa pensiunnya untuk memancing.

Pak Tarya adalah sosok yang bijaksana, berpengalaman, dan rendah hati.

Proyek pembangunan jembatan bukan hanya memberi kegelisahan pada Kabul saja, melainkan juga kisah asmara.

Ia terjebak cinta lokasi dengan sekretarisnya, Wati.

Wati yang  berasal dari keluarga yang berkecukupan dan berpendidikan tinggi berhasil mendapatkan cinta Kabul dengan bantuan Mak Sumeh.

Seorang pemilik warung tegal yang memenuhi kebutuhan konsumsi orang-orang proyek.

Kritik yang selalu relevan

Novel ini secara gamblang mengkritik pembangunan di Orde Baru yang penuh praktik KKN.

Novel karya sastrawan asal Banyumas ini seakan ingin menelanjangi gelar “Bapak Pembangunan” yang disandangkan pada pendiri ORBA.

Secara sekilas memang terlihat bahwa rezim tersebut sangat giat dalam membangun infrastruktur umum.

Namun jika ditilik lebih detail, di dalamnya terdapat banyak benalu dan parasit yang menumpang hidup.

Parasit ini adalah para pejabat dari tingkat desa hingga pusat yang berwatak oportunis dan melihat proyek pemerintah sebagai lahan basah bagi pundi-pundi mereka.

Pembangunan masa ORBA tidak lebih daripada dalih untuk masuknya hutang luar negeri.

Hutang ini kemudian menjadi kue yang dibagi-bagikan kepada pejabat yang selalu lapar akan harta dan kekuasaan.

Pihak yang paling dirugikan tentu saja adalah rakyat.

Baca juga: Karena Saya NU, Saya Menulis Ronggeng Dukuh Paruk

Mereka diberi infrastruktur asal jadi beserta hutang luar negeri yang membiayai infrastruktur.

Ditambah dengan pemenuhan nafsu pemegang mandat yang menggerogoti budget infrastruktur tersebut.

Kabul yang tidak rupawan

Ahmad Tohari berani menjadikan tokoh utamanya, Kabul, menjadi sosok yang tidak rupawan.

Hal ini terbilang berani karena sosok utama dalam banyak karya fiksi di Indonesia seringkali digambarkan begitu rupawan.

Kendati tak rupawan, Kabul digambarkan sebagai sosok bujangan berusia 30-an yang sudah mapan, baik secara pikiran maupun materi.

Ia digambarkan sebagai sosok yang idealis, lurus, sederhana, pema’af, pengayom bawahan, serta bijaksana dalam mengambil keputusan.

Terinspirasi dari serial “Si Doel”?

Siapapun yang pernah nonton serial “Si Doel” akan mendapatkan gambaran bahwa jika Novel Orang-Orang Proyek difilmkan, maka kurang lebih karakter Kabul akan mirip dengan  karakter Si Doel.

Yang bisa jadi berbeda adalah latar belakang budaya.

Kabul diceritakan sebagai anak petani miskin di daerah Gombong (Kabupaten Kebumen).

Sementara Si Doel adalah seorang pemuda Betawi yang tinggal di pinggiran Ibu Kota Jakarta.

Sangkaan  ini logis mengingat Orang-Orang Proyek ditulis pada sekitar tahun 2001, sementara Serial Si Doel tayang pada medio 1994-2003.

Menurut penuturan penulis sendiri, novel ini adalah nasehat tersirat untuk salah satu anaknya yang berprofesi sebaga insinyur.

Klimaks yang kurang ‘nampol’

Pengulas sedikit kecewa ketika berada di bagian di mana proyek jembatan yang akhirnya ditinggal oleh Kabul menjadi alat kampanye oleh GLM.

Mengapa jembatan tersebut rusak setahun setelah acara peresmian itu? Mengapa tidak saat para kader dan simpatisan GLM yang pongah itu lewat saja?

Jika jembatan itu rusak saat hingar-bingar peresmiannya yang bernuansa politis, pasti akan menimbulkan situasi yang begitu memuaskan bagi pembaca.

Bisa jadi karena alasan logika. Tak logis rasanya bangunan jembatan yang baru dibangun langsung rusak.

Tapi bukannya jika suatu bangunan dibangun secara sembrono hal itu bisa saja terjadi?

Tanpa catatan kaki

Ahmad Tohari banyak menyisipkan istilah dalam bahasa Jawa dialek Ngapak Banyumasan yang akan sama sekali asing bagi pembaca yang tak punya latar belakang budaya Banyumasan.

Anehnya, tidak dijumpai satu catatan kakipun.

Hal ini akan menyulitkan pembaca dari kalangan umum. Apalagi kamus bahasa Jawa Ngapak-Indonesia masih susah untuk diakses, baik yang versi cetak maupun daring.

Di depan cinta, idealisme layu?

Orang-orang bijak bestari sering berkata bahwa cobaan seorang lelaki yang ingin menjadi mulia adalah harta, tahta, atau wanita.

Nampaknya ini yang menjerat Kabul. Ia lolos dari jerat harta dan tahta, tapi tidak dengan wanita.

Kabul jatuh cinta dengan Wati setelah beberapa bulan ngantor bersama.

Kendati Kabul adalah sosok yang idealis dalam menjaga diri dari memakan apa yang bukan haknya, di sisi lain, ia menikahi Wati yang merupakan anak anggota dewan.

Padahal di banyak bagian novel ini, Kabul sering mengkritik anggota dewan yang hanya menjadi alat penguasa dalam melegitimasi segala kepentingannya di depan hukum.

Kabul juga dicitrakan sebagai orang yang begitu menjaga apa yang ia gunakan.

Pantang baginya mengonsumsi apa yang tidak halal, bahkan sekadar syubhat.

Bahkan Kabul pernah menolak ditraktir Wati karena ia ragu akan kehalalan uang Wati yang bersumber dari bapaknya yang seorang anggota dewan.

Bisa jadi Kabul melupakan ini karena kepalang tanggung sudah mencintai Wati.

Yang menjadi aneh adalah baik dari sudut pandang Kabul maupun penulis, tidak sama sekali terdapat kritik maupun keraguan saat menceritakan hubungan Kabul dan Wati yang pada akhirnya berakhir di depan penghulu.

Ada dua kemungkinan dalam hal ini.

Bisa jadi penulis kurang teliti sehingga mencitrakan Kabul dengan tidak konsisten: Kabul digambarkan sebagai insinyur yang idealis dan antiuang haram.

Namun di sisi lain ia menikahi Wati yang merupakan anak anggota dewan yang Kabul sendiri ragu akan kehalalan hartanya.

Kemungkinan kedua adalah Kabul telah buta dengan cinta sehingga tidak lagi memerdulikan idealismenya dan menikahi Wati yang berlatarbelakang anak anggota dewan.

Kemungkinan pertama lebih logis mengingat penulis tidak menggambarkan keraguan Kabul akan latar belakang Wati saat ia memutuskan menyuntingnya.

Tulisan sebelumnyaHaji Reguler Tanpa Antri, Ini Penjelasan Kepala Kemenag Banyumas
Tulisan berikutnyaRoadshow Putaran Keenam LTMNU Cabang Banyumas: Sosialisasi Manajemen Masjid di MWC Purwokerto Selatan

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini