Jadikan Keragaman Fikih Sebagai Etika Sosial

Jadikan Keragaman Fikih Sebagai Etika Sosial
Jadikan Keragaman Fikih Sebagai Etika Sosial

Fikih secara bahasa adalah al-fahmu (pemahaman).

Oleh karena fikih adalah al-fahmu (pemahaman), maka wajar sekali kalau banyak terdapat keragaman pendapat dalam fikih.

Teks (nash) bisa sama, tetapi seseorang yang memahaminya -karena memiliki latar belakang keilmuan, sudut pandang, dan sejarah sosial berbeda- bisa memiliki pemahaman yang berbeda dengan seseorang yang lain.

Keragaman pemahaman ini, tidak kemudian dijadikan alasan penghakiman satu pemahaman atas pemahaman yang lain, melainkan seyogyanya dijadikan alternatif dalam berfikih.

Karena masing-masing pemahaman (fikih) adalah hasil ijtihad dari para mujtahid, dan satu ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad yang lain.

Dalam konteks ini, Imam Syafi’i berkata: ‘Pendapatku benar tetapi berkemungkinan salah, sedang pendapat Anda salah tetapi berkemungkinan benar’.

Nah, dari ini semua, menjadi tidak kaget jika di dalam literatur-literatur fikih, biasa kita dapati satu masalah fikih memiliki beragam hukum, dan atau satu kasus fikih memiliki respon yang beragam dari para ulama (ada ‘qala’ dan ‘qila’).

Keragaman pendapat dalam masalah fikih ini, kalau disederhanakan akan tergolongkan ke dalam tiga golongan; mutasyaddid (ketat), mutawassith (sedang), dan mutasahhil (longgar).

Misalnya masalah aurat perempuan, bagi golongan mutasyaddid (ketat) aurat perempuan adalah seluru tubuh kecuali satu mata saja.

Dengan ini perempuan muslimah harus menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajahnya, kecuali hanya satu mata saja yang boleh dibuka.

Bagi golongan mutawassith (sedang) aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Dengan ini perempuan muslimah harus menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangannya.

Bagi golongan mutasahhil (longgar) aurat perempuan adalah bagian-bagian tubuh tertentu yang sekira kebuka menimbulkan rasa malu dan kurang terhormat.

Dengan ini perempuan muslimah sudah dikatakan menutup aurat jika sudah menggunakan pakaian sopan dan terhormat, sekalipun ia tidak menutupi kepalanya (berjilbab).

Praktik Sosial Berdasarkan Keragaman Fikih

Keragaman penafsiran fikih terhadap aurat perempuan menimbulkan praktik dan etika sosial yang berbeda.

Dipersilakan bagi perempuan yang dengan kesadarannya sendiri dan pertimbangan-pertimbangan tertentu atas dirinya dan pemahaman keislamannya, untuk memilih menutupi seluruh tubuh kecuali satu matanya saja.

Baca juga: Bukan Saya Yang Membela Islam, Tapi Islam Yang Membela Saya

Demikian pula dipersilakan bagi perempuan yang atas dasar kesadaran sendiri dan pertimbangan-pertimbangan tertentu atas dirinya dan pemahaman keislaman, untuk kemudian memilih menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.

Begitu pula dipersilakan bagi perempuan yang dengan kesadaran sendiri dan juga pertimbangan-pertimbangan tertentu atas dirinya dan pemahaman keislaman, untuk memilih memakai pakaian terhormat sebagai upaya menutupi auratnya.

Dengan ini semua, masyarakat dalam beragama menjadi luwes dan tidak kaku.

Masyarakat dalam dalam menjalankan ajaran Islam tidak atas dasar paksaan dari faktor (pihak) luar, tetapi benar-benar dari kesadaran dirinya.

Karena ber-Islam itu berproses, dan setiap orang prosesnya berbeda-beda.

So, menjadikan keragaman fikih sebagai etika sosial berarti pula memberi kesempatan dan menghargai setiap muslim untuk berproses menjalani penafsiran Islam yang dia yakini.

Sekalipun proses yang ia lakukan berbeda (tidak sama) dengan proses yang sudah kita tempuh.

Wallahu A’lam Bish Shawwab!

Penulis: Dr. Munawir, S.Th.I, M.Si., dosen Ilmu Tafsir Hadits UIN Saifuddin Zuhri dan pengurus LBM PCNU Banyumas 2023-2028

Tulisan sebelumnyaKetua PCNU Banyumas KH Imam Hidayat MSi Mendorong Literasi Digital dan Adaptasi Terhadap Perubahan Era
Tulisan berikutnyaNgaji Ramadhan Penuh Happy, PAC Muslimat NU Patikraja

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini