Ini Asal Mula dan Tujuan Mandi Jumat

ILUSTRASI Mandi Jumat (nubanyumas/pixabay)

Oleh. Roni Dwiyanto*

SEORANG Muslim setiap hari jumat diwajibkan melaksanakan salat Jumat. Karena hari Jumat adalah hari raya umat Islam yang datang setiap seminggu sekali. Maka, kedatanganya patut disambut dengan suka cita dan dimuliakan. Salah satu cara penyambutan itu adalah dengan adanya perintah mandi sebelum seseorang pergi menghadiri salat Jumat. Namun sebenarnya bagaimana sih awal mula disyariatkannya mandi Jumat? Dan apa tujuannya?

Bermula dari Bau Badan Jamaah

Di dalam Islam, terdapat sebuah keyakinan bahwa syariat Islam dibagun atas dasar kemaslahatan. Ini sebagaimana dinyatakan oleh imam al-Syathibi (w. 790 H) dalam kitab al-Muwafaqat (hlm. 126) bahwa pemberlakukan syariat Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik pada masa yang dekat maupun masa yang jauh. Merujuk pada tesis ini, diperintahkannya mandi Jumat berarti bukanlah hal yang tidak berfaidah, tetapi merupakan hal yang memiliki faidah.

Diceritakan bahwa awal mula diperintahkannya mandi Jumat adalah sebab bau badan Jamaah yang tercium oleh Rasulullah sebagaimana hadis yang diceritakan oleh Ibu ‘Aisyah r.a.

 

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: كَانَ النَّاسُ يَنْتَابُونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَالْعَوَالِيِّ فَيَأْتُونَ فِي الْغُبَارِيُصِيبُهُمْ الْغُبَارُ وَالْعَرَقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُمْ الْعَرَقُ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْسَانٌ مِنْهُمْ وَهُوَ عِنْدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا

Dari Aisyah, isteri Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia berkata, “Orang-orang datang berbondong-bondong pada hari Jumat dari tempat tinggal mereka dan pinggiran kota yang jauh, mereka datang melewati padang pasir yang berdebu sehingga mereka pun berdebu dan berkeringat. Lalu seorang dari mereka mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang saat itu beliau sedang bersamaku, beliau lantas bersabda, ‘Hendaknya kalian mandi dahulu untuk hari Jumat ini’.” [H.R. Bukhari (no. 902) dan Muslim (no. 847)]

Dalam kisah yang hampir sama, Ibnu ‘Abas juga menerangkan sejarah mandi Jumat dengan perintah yang lebih tegas lagi. Jika dalam hadis sebelumnya, Rasulullah Saw. hanya menghimbau, dalam hadis ini Rasulullah memerintahkan mandi dan menggunakan minyak wangi.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ الْغُسْلِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَاجِبٌ هُوَ؟ قَالَ: لَا وَمَنْ شَاءَ اغْتَسَلَ وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ بَدْءالْغُسْلِ كَانَ النَّاسُ مُحْتَاجِينَ وَكَانُوا يَلْبَسُونَ الصُّوفَ وَكَانُوا يَسْقُونَ النَّخْلَ عَلَى ظُهُورِهِمْ وَكَانَ مَسْجِدُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَيِّقًا مُتَقَارِبَ السَّقْفِ فَرَاحَ النَّاسُ فِي الصُّوفِ فَعَرِقُوا وَكَانَ مِنْبَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَصِيرًا إِنَّمَا هُوَثَلَاثُ دَرَجَاتٍ فَعَرِقَ النَّاسُ فِي الصُّوفِ فَثَارَتْ أَرْوَاحُهُمْ أَرْوَاحُ الصُّوفِ فَتَأَذَّى بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ حَتَّى بَلَغَتْ أَرْوَاحُهُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِذَا جِئْتُمْ الْجُمُعَةَ فَاغْتَسِلُوا وَلْيَمَسَّ أَحَدُكُمْ مِنْ أَطْيَبِ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan ia ditanya oleh seorang lelaki mengengai mandi di hari Jumat apakah itu hukumnya wajib? Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, barangsiapa yang mau silahkan mandi, aku akan menyampaikan kepada kalian tentang permulaan disyariatkanya mandi (jumat). Dahulu orang-orang membutuhkan, dan mereka biasa mengenakan (baju) wol. Mereka bekerja menyirami kebun kurma (dengan memanggul beban) di punggung mereka, sementara masjid Nabi Saw. sempit dan atapnya rendah, lalu orang orang datang ke masjid dengan memakai pakaian terbuat dari wol sehingga mereka berkeringat, sementara itu mimbar Nabi Saw. pendek hanya tiga anak tangga, maka orang orang pun berkeringat di dalam wol, sehingga merebaklah bau mereka yaitu bau wol, akibatnya, hal ini saling mengganggu satu sama lain sehingga bau mereka pun sampai kepada Rasululloh SAW yang berada di atas mimbar, lalu beliau bersabda, ‘Wahai manusia, apabila kalian (hendak) mendatangi (sholat) jumat, maka mandilah kalian dan hendaklah seseorang dari kalian mengenakan pewangi terbaik bila ia memilikinya’.[H.R. Ahmad (no. 2419), sanadnya baik sebagaimana dinyatakan oleh Syuaib al-Arnuth dalam tahqiq Musnad Ahmad(4/242)].

Tujuan dan Hukum Mandi Jumat

Berdasarkan dua hadis di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan mandi Jumat adalah untuk memberikan kenyamanan pada semua jamaah. Hal ini dapat dipahami dari alasan Rasulullah memerintahkannya yaitu bahwa Rasulullah memerintahkan mandi Jumat sebab adanya sahabat yang memiliki bau badan tak sedap. Agar para jamaah salat Jumat, Rasulullah Saw. memerintahkan mandi sebelum datang salat Jumat. Agar lebih nyaman lagi, Rasulullah Saw. bahkan dalam riwayat kedua memerintahkan agar jamaah menggunakan minyak wangi.

Melihat keadaan ini, tidak mengherankan ketika ulama memberikan perhatian khusus mengenai hukum mandi Jumat. Syaikh Abi Syuja’ dalam kitab al-Gayah wa al-Taqrib menjelaskan bahwa mandi Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha, Istisqa (Salat meminta hujan), Khusuf (Salat gerhana bulan), dan Kusuf (Salat gerhana matahari) merupakan beberapa mandi yang disunahkan dalam Islam.

Dalam salah satu syarah kitab al-Gayah wa al-Taqrib yakni kitab al-Tadzhib fi Adillah Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Syaikh Musthofa Dib al-Baga menjelaskan bahwa dalil mengenai mandi untuk salat Khusuf, Kusuf, dan Istisqa tidak ditemukan. Ia berpendapat bahwa tiga mandi ini disunahkan oleh ulama barang kali sebab memiliki kesamaan dengan salat Jumat dalam hal diperintahkannya berjamaah dan berkumpulnya manusia. Hal ini semakin menguatkan kesimpulan saya mengenai tujuan memberikan kenyamanan.

Kesimpulan

Jadi berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, substansi atau tujuan dari mandi Jumat adalah untuk memberikan kenyamanan bagi semua jamaah atau semua orang yang ditemui. Substansi ini tampak ulama gunakan untuk menyunahkan mandi-mandi lain dengan melihat pada sisi diperintahkannya berjamaah dan berkumpulnya manusia. Oleh sebab itu, substansi memberikan kenyamanan bisa diambil sebagai pegangan kita dari bagaimana kita memperlakukan, berinteraksi, dan berkumpul dengan orang lain dalam berbagai forum atau pertemuan. Kuncinya, kita harus memberikan kenyamaan bagi orang lain agar orang lain tidak merasa terganggu.

*Roni Dwiyanto
Mahasiswa PAI UNU Purwokerto

Tulisan sebelumnyaBerikut ini 18 Lembaga PCNU Banyumas yang Segera Dilantik
Tulisan berikutnyaMakna dari Isti’adzah Menurut Musthafa Umar

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini