Ganja Dipakai untuk Obat. Bagaimana Hukumnya?

Fidelis Arie Sudewarto ditangkap oleh BNN sebab dia menanam ganja. Padahal, ganja ini digunakan untuk pengobatan istrinya yang mengidap syringomyelia di mana pengobatan menggunakan ganja ini diyakini banyak memberikan perkembangan kesehatan bagi istrinya.

Di banyak negara-negara Barat, ganja, dengan kadar yang ditentukan, telah digunakan sebagai obat. Namun di Indonesia, ganja masih menjadi barang terlarang. Dalam UU No. 35 tahun 2009, ganja masuk kategori narkotika golongan I yang hanya bisa digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, tidak boleh digunakan untuk terapi, dan memiliki potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan.

Berangkat dari latar belakang ini, LBM PCNU Banyumas pada Minggu 2 Oktober 2022 menyelenggarakan forum bahstul masail yang berusaha menjawab pertanyaan bagaimana fikih menghukumi pengobatan dengan media ganja?

Syarat Ketat Menjadikan Ganja sebagai Obat

Forum bahstul masail berusaha menyikapi permasalahan ganja sebagai obat dengan penuh kehati-hatian, mengingat jika ganja dilegalkan begitu saja dalam kacamata fikih, itu bisa menimbulkan kesewenang-wenangan dalam penggunaannya. Padahal, ganja secara nyata merupakan bahan yang berbahaya dan menimbulkan kecanduan.

Penjelasan-penjelasan relevan dari kitab-kitab otoritatif dikumpulkan untuk menemukan jawaban yang mashlahat. Forum bahstul masail akhirnya menemukan bahwa hukum asal mengkonsumsi ganja adalah tidak boleh sebab menimbulkan bahaya. Ganja hanya boleh dikonsumsi (sebagai obat) bila keadaan seseorang memenuhi tiga syarat, yaitu 1) seseorang berada pada keadaan hajat, 2) dilakukan oleh tenaga medis, dan 3) telah ada regulasi yang memperbolehkan.

  1. Berada pada tingkatan hajat

Berada dalam tingkatan hajat maksudnya adalah bahwa seseorang sedang dalam keadaan di mana jika seseorang tidak melaksanakan suatu hal, maka dia akan mengalami kesulitan dan kepayahan. Kesimpulan dari beberapa referensi, berobat menempati posisi kedudukan hajat sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in (580-581) ketika Syaikh Zainuddin al-Malibari menerangkan tentang had (sanksi pidana) dari meminum zat cair yang memabukan.

وخرج بالشراب ما حرم من الجامدات فلا حد فيها وإن حرمت وأسكرت بل التعزير: ككثير البنج والحشيشة والأفيون. ويكره أكل يسير منها من غير قصد المداومة ويباح لحاجة التداوي.

“Benda-benda padat yang haram dikecualikan dari minuman-minuman (dalam persoalan had). Maka, tidak ada had dalam benda-benda padat, kendati benda-benda tersebut haram dan memabukan. Yang ada hanya takzir seperti banyaknya (konsumsi) anastetik, ganja, dan opium. Memakan sedikit dari benda-benda padat tersebut hukumnya makruh dengan catatan tanpa adanya tujuan menkonsumsi secara rutin. Adapun jika untuk kebutuhan pengobatan, hukum mengkonsumsinya adalah boleh”

Penjelasan al-Malibari tersebut agaknya terlalu terbuka dalam persoalan ganja. Syaikh Wahbah al-Zuhaili lebih berhati-hati mengenai persoalan ganja. Dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (7/5505), beliau mengatakan bahwa mengkonsumsi ganja hukumnya haram. Adapun jika untuk kebutuhan pengobatan maka mengkonsumsinya hukumnya boleh dengan catatan kadarnya sedikit dan memang memberi manfaat.

الحشيش والأفيون والبنج

يحرم كل ما يزيل العقل من غير الأشربة المائعة كالبنج والحشيشة والأفيون، لما فيها من ضرر محقق، ولا ضرر ولا ضرار في الإسلام، ولكن لا حد فيها؛ …ويحل القليل النافع من البنج وسائر المخدرات للتداوي ونحوه؛ لأن حرمته ليست لعينه، وإنما لضرره

“Ganja, Opium, dan Bahan Anastetik”

“Segala sesuatu yang menghilangkan akal dari selain minuman hukumnya haram seperti anastetik, ganja, dan opium, sebab di dalamnya ada bahaya yang nyata. Tidak boleh berbuat bahaya dan saling berbuat bahaya dalam Islam, namun tidak ada had dalam benda-benda padat ini… Kadar sedikit dan bermanfaat dari bahan anastetik dan hal-hal lain yang menghilangkan akal untuk kepentingan pengobatan adalah halal. Sebab, keharaman itu semua bukan sebab wujudnya, melainkan sebab bahayanya.”

  1. Dilakukan oleh Tenaga Medis

Dalam syarat sebelumnya telah dijelaskan bahwa kadar penggunaan ganja sebagai obat harus sedikit dan bermanfaat. Maka pertanyaan yang timbul adalah “siapa yang menentukan kadar sedikit dan bermanfaat dari ganja tersebut?” Jawabnya tentu saja adalah orang yang memiliki otoritas keilmuan di bidang kesehatan. Dalam hal ini adalah tim medis. Dalam kacamata fikih, mereka disebut sebagai ahli al-khubrah.

Penentuan kadar sedikit dan bermanfaat ini sejalan dengan kaidah-kaidah fikih dalam Aysbah wa Nadzair (1/84)  karya al-Suyuthi yakni

مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا

“Sesuatu yang diperbolehkan sebab keadaan darurat (sesuatu yang jika ditinggalkan akan mengantarkan pada kerusakan), maka kebolehannya disesuaikan dengan kadarnya”

Sebagai catatan, kebutuhan (sesuatu yang jika ditinggalkan bisa menimbulkan kepayahan dan kesulitan) dalam kaidah fikih menempati kedudukan darurat.

الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَة

“Hajat menempati kedudukan darurat”

  1. Harus ada regulasi yang memperbolehkan

Salah satu kewajiban seorang Muslim adalah mematuhi pemimpinannya. Dalam konteks negara modern, kepatuhan seorang Muslim terhadap pemimpinnya adalah dengan mengikuti regulasi atau peraturan perundang-undangan yang ada di suatu negara. Dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Sayyid Abdurahman ibn Muhammad al-Masyhur mengatakan,

 تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات

“Mematuhi pemimpin hukumnya wajib dalam segala yang dia perintahkan baik secara lahir maupun batin jika perkara yang diperintahkan bukan perkara yang haram atau makruh. Perkara yang wajib  akan menjadi kukuh dan perkara yang sunah akan menjadi wajib (jika diperintahkan oleh pemimpin). Perkara yang mubah dalam agama (jika diperintahkan oleh pemimpin) juga (menjadi wajib) jika di dalamnya terdapat kemaslahatan seperti meninggalkan merokok, jika memang kita menghukuminya makruh. Sebab, di dalam tindakan merokok terdapat kehinaan bagi orang-orang memiliki kedudukan.”

Penutup

Jadi, hukum asal dari mengkonsumsi ganja adalah haram, sebab bahaya yang ditimbulkannya. Ganja hanya bisa digunakan (untuk berobat)
1. Ketika keadaan seseorang mencapai tingkat kebutuhan yakni sesuatu yang jika ditinggalkan, seseorang akan mendapatkan kepayahan dan kesulitan.
2. Pengobatan dilakukan oleh orang yang memiliki otoritas keilmuan, dalam hal ini adalah tim medis sehingga pemberian ganja sebagai obat dilakukan sesuai dengan kadarnya dan tidak membahayakan.
3. Adanya regulasi yang memperbolehkan sehingga seseorang tidak meninggalkan kewajiban agama yang lain dan tidak mendapat sanksi dari pelanggaran hukum negara.

Forum Bahstul Masail yang diselenggarakan di PP al-Ittihad Pasir Kidul Purwokerto Barat ini dihadiri oleh Rois Suriyah KH. Mughni Labib, M.Ag, Katib Suriyah Dr. KH. Anshori, M.Ag., Ketua LBM KH. Hadidul Fahmi, Lc beserta para anggotanya, KH Nurul Huda dari PP al-Falah Sumpiuh, Prof. Dr. Ridwan, M.Ag dari UIN Purwokerto, dan delegasi-delegasi dari pesantren dan MWC NU di Kabupaten Banyumas. Ini merupakan forum bahstul masail triwulan-an terakhir dari kepengurusan PCNU Banyumas periode 2017-2022.

Dr. Akhmad Sulaiman, anggota LBM PCNU Banyumas dan dosen ilmu-ilmu keislaman di UNU Purwokerto

 

Tulisan sebelumnyaKetika Rukun Haji Diwakili oleh Orang Lain, Bagaimana Hukumnya?
Tulisan berikutnyaBangun Militansi, MWC NU Cilongok Gelar Konferensi

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini