Ketika Rukun Haji Diwakili oleh Orang Lain, Bagaimana Hukumnya?

HAJI merupakan salah satu rukun Islam yang pelaksanaannya tidak sederhana. Selain mahalnya biaya, orang yang sudah mendaftar haji bisa menunggu sampai 30 tahun atau bahkan lebih, padahal seseorang mungkin baru bisa mendaftar haji setelah hidupnya mapan di usia dewasa.

Di sisi lain, ketika seseorang ingin mendaftar haji kembali, dia baru boleh mendaftar 10 tahun setelah pelaksanaan haji pertama dan tentu saja dengan masa tunggu yang bisa jadi lebih lama dari 30 tahun. Dari keadaan ini, Muslim Indonesia bisa diperkirakan hanya bisa melaksanakan satu kali haji selama hidupnya.

Permasalahan akan semakin rumit jika ternyata, misalnya, seseorang di tengah pelaksanaan haji mengalami sakit parah yang bahkan tidak bisa dibawa menggunakan tandu untuk melaksanakan rukun-rukun haji seperti tawaf ifadhah dan sa’i yang mana rukun-rukun ini tidak bisa digantikan dengan dam (menyembelih kambing).

Pada Minggu 2 Oktober 2022, permasalahan ini diangkat dalam forum bahstul masail LBM PCNU Banyumas, selain juga mengangkat permasalahan ganja sebagai obat, wasiat mengenai pemisahan organisasi, idah wanita hamil sebab berzina, dan pendirian masjid beda ormas dalam satu desa.

Forum Bahstul Masail yang diselenggarakan di PP al-Ittihad Pasir Kidul Purwokerto Barat ini dihadiri oleh Rois Suriyah KH. Mughni Labib, M.Ag, Katib Suriyah Dr. KH. Anshori, M.Ag., Ketua LBM KH. Hadidul Fahmi, Lc beserta para anggotanya, KH Nurul Huda dari PP al-Falah Sumpiuh, Prof. Dr. Ridwan, M.Ag dari UIN Purwokerto, dan delegasi-delegasi dari pesantren dan MWC NU di Kabupaten Banyumas. Ini merupakan forum bahstul masail triwulan-an terakhir dari kepengurusan PCNU Banyumas periode 2017-2022.

Penjelasan Ulama 

Berkaitan dengan persoalan haji ini, forum bahstul masail menemukan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa pelaksanaan sebagian rukun-rukun haji oleh orang lain adalah tidak boleh sebagaimana disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin (hlm. 249) karya Sayyid Abdurahman ibn Muhammad al-Masyhur,

لا تجوز الاستنابة لإتمام أركان الحج ولو بعذر كموت ومرض ، بل لا يجوز البناء على فعل نفس الشخص فيما لو أحصر فتحلل ثم زال العذر فلا يبنى على فعله

“Meminta orang lain untuk menyempurnakan rukun-rukun haji adalah tidak boleh walaupun sebab uzur seperti mati atau sakit. Bahkan melaksanakan ibadah haji untuk diri sendiri juga tidak boleh dalam kasus semisal seseorang telah ihshar (terhalang menyempurnakan amaliah haji) lalu dia melakukan tahallul (menghalalkan diri dari larangan-larangan dalam ihram), kemudian uzurnya hilang, maka dia tidak bisa lagi mendirikan pekerjaan hajinya.”

Jika menggunakan pendapat ini, solusi bagi orang yang sakit parah ini, sebagaimana digambarkan di atas, adalah dia harus menunggu sembuh dari sakitnya dan malaksanakan sendiri rukun-rukun yang belum dia kerjakan. Kepulangannya ke tanah air bisa ditunda dan dia ikut dalam kloter haji urutan belakang jika pihak penyelenggara menyetujuinya.

Akan tetapi, fikih Jumhur ini bisa menjadi masalah jika sakit dari orang tersebut ternyata tak kunjung sembuh. Nasib yang harus dia hadapi adalah bahwa hajinya tidak sah dan dia harus mengulang hajinya. Padahal, mengulang haji (i’adah ) juga mungkin mustahil mengingat saat itu dia juga sedang sakit parah dan pelaksanaan i’adah-nya bisa 40 tahun lagi atau bahkan lebih.

Berdasarkan pertimbangan ini, forum Bahstul Masail tidak menolak pendapat personal imam al-Ramli yang memperbolehkan pelaksanaan sebagian rukun-rukun haji oleh orang lain sebab lumpuh (ma’dhub) sebagaimana disebutkan dalam kitab Fatawi al-Ramli (2/93).

(سُئِلَ) عَنْ حَاجٍّ تَرَكَ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ وَجَاءَ إلَى مِصْرَ مَثَلًا ثُمَّ صَارَ مَعْضُوبًا بِشَرْطِهِ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَنِيبَ فِي هَذَا الطَّوَافِ أَوْ فِي غَيْرِهِ مِنْ رُكْنٍ أَوْ وَاجِبٍ؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْإِنَابَةَ إذَا أَجْزَأَتْ فِي جَمِيعِ النُّسُكِ فَفِي بَعْضِهِ أَوْلَى

“Imam Ramli ditanyai tentang seorang jamaah haji yang meninggalkan tawaf ifadhah dan telah pulang ke Mesir, misalnya, kemudian dia lumpuh dengan batasannya, maka apakah boleh baginya meminta orang lain untuk menggantikan tawaf ini, rukun atau kewajiban haji yang lain? Imam Ramli menjawab bahwa hal itu diperbolehkan baginya, dan bahkan wajib baginya sebab penggantian pelaksanaan haji (oleh orang lain) jika mencukupi dalam semua pekerjaan haji, maka (penggantian pelaksanaan) dalam sebagian lebih utama lagi (kecukupannya).”

Maksud lumpuh sendiri dalam kacamata fikih meliputi sakit parah sebagaimana digambarkan oleh al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (3/2098-2099).

وأما الثانية: فهي أن يعجز عن الحج بنفسه بموت أو كبر، أو زمانة أو مرض لايرجى زواله أو هرم بحيث لا يستطيع الثبوت على الراحلة إلا بمشقة شديدة. وهذا العاجز الحي يسمى معضوبا.

“Adapun yang kedua (kemampuan melaksanakan haji namun oleh orang lain) adalah seseorang tidak mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri sebab mati, tua renta, lumpuh, sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau sangat tua, dengan gambaran sekiranya orang tersebut tidak mampu mengendarai kendaraan kecuali dengan kesulitan yang sangat. Orang-orang hidup yang lemah ini dinamai lumpuh (ma’dhub).”

Kiai Nurul Huda yang pada forum ini berperan sebagai mushahhih (pengoreksi akhir hasil bahstul masail) bersama KH Mughni Labib, M.Ag mengingatkan bahwa dalam perumusan hukum Islam atau fatwa, perumus harus berpikir realistis dengan melihat keadaan nyata di lapangan. Sebab, keadaan di lapangan dari fenomena haji Muslim Indonesia adalah keadaan yang sulit. Oleh sebab itu, pendapat Imam Ramli harus diperhitungkan dalam keadaan yang memang tidak memungkinkan.

Penutup

Fatwa yang dihasilkan oleh forum bahstul masail ini telah menunjukan keluwesannya sebagaimana watak dari organisasi Nahdlatul Ulama. Para peserta bahstul masail telah berupaya menghasilkan fatwa yang dalam istilah Khaled Abou El Fadl tidak bersifat otoriter. Maksudnya, fatwa yang dihasilkan tidak memaksakan satu pendapat yang bisa berpotensi menyulitkan penerima fatwa. Dengan mengakomodir dua pendapat ulama, fatwa ini bisa menjadi pegangan bagi jamaah haji yang mungkin akan menghadapi kasus yang sama di kemudian hari.

Dr. Akhmad Sulaiman, anggota LBM PCNU Banyumas dan dosen ilmu-ilmu keislaman di UNU Purwokerto

Tulisan sebelumnyaUNU Purwokerto Ajari UMKM di Purworejo Bikin Sosis Udang
Tulisan berikutnyaGanja Dipakai untuk Obat. Bagaimana Hukumnya?

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini