Etika Berhari Jum’at Menurut Imam Al Ghazali

Hari Jum’at merupakan hari besar bagi kaum muslimin, terutama bagi umat nabi Muhammad Saw. Allah Swt telah memberikan saat yang mustajab yang dirahasiakan pada hari itu. Bila kaum muslimin mengajukan permohonan doa pada saat itu akan dikabulkan Allah. Waktu tersebut khusus diturunkan Allah pada hari Jum’at.

Lalu etika kita bagaimana ketika memasuki hari Jum’at?

Dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa etika kita ketika memasuki Jum’at. Pertama, Bersiap siaga, berkemas mulai hari hari Kamis untuk menyambut datangnya hari Jum’at dengan mencuci pakaian, memakai wangi-wangian dan menyediakannya apabila kebetulan sudah habis.

Pada malam Jum’at disunnahkan memperbanyak membaca tasbih dan istighfar. Sebab di malam itu terdapat waktu utama sebagaimana waktu yang utama yang terdapat pada hari Jum’at. Selain itu, berniatlah melakukan puasa sunnah di hari Jum’at, tetapi harus disertai puasa di hari Kamis atau hari Sabtu. Sebab kalau puasa hari Jum’at saja hukumnya haram.

Kedua, Jika fajar setelah menyingsing, mandilah. Berniatlah mandi sunnah untuk menyambut shalat Jum’at. Sebab mandi Jum’at caranya seperti mandi wajib, merupakan sunnah muakkad hukumnya bagi setiap orang yang telah baligh.

Ketiga, berhias dengan mengenakan pakaian yang serba putih, sebab warna putih sangat dicintai oleh Allah Swt. Bila memungkinkan, gunakan wewangian atau minyak wangi yang berkualitas tinggi. Usahakanlah membersihkan badan, seperti mencukur rambut, merapikan kumis, memotong kuku, menyikat gigi, dan lain sebagainya yang termasuk kategori membersihkan badan.

Keempat, saat pergi ke masjid pada permulaan awal waktu dengan pelan-pelan, jangan tergesa-gesa. Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa mendatangi (shalat) Jum’at di awal permulaan waktu, maka seakan berkorban unta. Barangsiapa mendatangi (shalat) pada waktu yang kedua, maka seakan berkorban sapi. Barangsiapa mendatangi (shalat) Jum’at pada waktu ketiga, maka seakan berkorban (bersedekah) seekor kambing. Barangsiapa mendatangi (shalat) Jum’at yang keempat, maka seakan berkorban seekor ayam jantan. Barangsiapa mendatangi  (shalat) Jum’at yang kelima, maka seakan berkorban sebutir telur. Bila imam telah naik ke mimbar untuk berkhutbah, maka tidak ada bagian (keutamaan pahala) lagi buatnya. Buku catatan amal telah ditutup dan para malaikat (yang bertugas mencatat amal) berkumpul di sebelah mimbar untuk mendengarkan khutbah.

Diterangkan pula, bahwa kelak di hari kiamat seseorang akan dapat melihat langsung kepada Allah Swt. Jarak antara orang itu dengan Allah tergantung jarak ia mendatangi shalat Jum’at sewaktu di dunia. Kalau ia datang shalat Jum’at pada waktu yang masih pagi-pagi, maka akan melihat Allah Swt dari jarak yang dekat.

Kelima, apabila seseorang telah memasuki masjid, maka carilah shaf (barisan) yang paling awal atau paling depan.

Keenam, apabila para jamaah telah banyak yang datang, dan telah mengambil masing-masing, jangan melangkahkan kaki guna mendapatkan shaf awal dengan cara melewati barisan mereka.

Ketujuh, jangan berjalan di muka orang yang sedang shalat. Carilah tempat aman dari gangguan orang lewat dikala sedang shalat, yakni memilih tempat dekat tiang atau tembok. Dengan demikian shalat yang dilakukan akan lebih khusyu’.

Etika Masuk Masjid

Imam Ghazali mengatakan, jangan duduk di masjid sebelum melakukan sunnah tahiyyatul masjid, yakni dengan empat rakaat satu kali salam, yang setiap rakaatnya setelah membaca surat Al-Fatihah dilanjut dengan membaca surat Al-Ikhlas limapuluh kali. Jadi dalam empat rekaa membaca dua ratus kali surat Al-Ikhlas.

Dalam suatu hadits, telah diterangkan, “Siapa yang melaksanakan shalat sunnah tahiyyatul masjid seperti yang telah diterangkan di atas, maka dia tidak akan dicabut nyawanya oleh Allah Swt sebelum melihat tempat persemayamannya di Surga”.

Selain itu, jangan sekali-kali meninggalkan shalat tahiyyatul masjid sekalipun khatib telah naik ke mimbar melakukan khutbah —hanya saja saat-saat itu shalat tahiyyatul masjid hendaknya dibuat ringkas. Tatkala imam naik mimbar, seseorang dianjurkan berhenti berbicara, termasuk membaca shalawat dan doa, untuk kemudian sibuk menjawab adzan, serta fokus mendengarkan dan memperhatikan khutbah. Jika pun kita terpaksa menegur orang lain yang berisik, misalnya, maka cukup dengan bahasa isyarat, bukan kata-kata. Berkata-kata saat khutbah berlangsung dapat melenyapkan pahala shalat Jumat.

Dzikir Setelah Shalat Ju’mat

Selepas mengikuti gerakan imam mulai dari takbiratul ihram hingga salam, jamaah tak dianjurkan langsung pergi begitu saja, kecuali bila ada urusan mendesak. Menurut Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah, selepas shalat, sebelum lisannya melontarkan apa pun, seseorang hendaknya melafalkan bacaan-bacaan berikut: Pertama, Surat al-Fatihah sebanyak tujuh kali. Kedua, Surat Al-Ikhlas sebanyak tujuh kali. Ketiga, Surat Al-Falaq sebanyak tujuh kali. Keempat, Surat An-Nas sebanyak sebanyak tujuh kali.

Bacaan-bacaan tersebut, kata Imam al-Ghazali, akan menjadi benteng dan memelihara seseorang dari gangguan setan, mulai dari satu Jum’at ke Ju’mat berikutnya.

Selanjutnya baca doa berikut:

اَللَّهُمَّ يَا غَنِيُّ يَا حَمِيْدُ يَا مُبْدِئُ يَا مُعِيْدُ يَا رَحِيْمُ يَا وَدُوْدُ أَغْنِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Allâhumma yâ ghaniyyu yâ hamîd, yâ mubdi’u wa yu‘îd, yâ rahîmu yâ wadûd. Aghninî bi halâlika ‘an harâmik, wa thâ‘atika ‘an ma‘shiyatik, wa bi fadhlika ‘an man siwâka.

Artinya: “Ya Allah, Yang Maha Kaya, Maha Terpuji, Maha Pencipta, Maha Kuasa Mengembalikan, Maha Penyayang, dan Maha Kasih. Cukupi aku dengan harta halal-Mu, bukan dengan yang haram. Isilah hari-hariku dengan taat kepada-Mu, bukan mendurhakai-Mu. Cukupi diriku dengan karunia-Mu, bukan selain-Mu.”

Sesudah itu, sang Hujjatul Islam menyarankan kita untuk melaksanakan shalat dua rakaat atau enam rakaat (tiap dua rakaat salam), sebab Rasulullah pernah meriwayatkan tentang hal itu dalam berbagai kesempatan.

Selain itu, ia menganjurkan juga, seusai shalat Jumat seseorang agar tetap berada di masjid hingga Maghrib, atau setidak-tidaknya waktu Ashar. Sebab sepanjang hari Jum’at ada saat-saat mustajab yang dirahasiakan. Barangkali dengan tetap berada di masjid kita mendapati mo men spesial itu pas ketika kita sedang khusyuk-khusyuknya, merendahkan diri kepada Allah Swt.

Tentu saja selama di masjid tak disarankan kita bergabung di kelompok yang sedang ngobrol atau majelis yang mubadzir, kecuali forum keilmuan yang kian mendekatkan diri kita kepada Allah dan semakin menjauhkan ikatan hati kita kepada dunia. Kata Imam al-Ghazali:

فَكُلُّ عِلْمٍ لاَ يَدْعُوْكَ مِنَ الدُّنْيَا إِلىَ اْلآخِرَةِ فَالْجَهْلُ أَعْوَدُ عَلَيْكَ مِنْهُ

Artinya: “Tiap ilmu yang tak mendorongmu menjauh dari (cinta) dunia, mendekatkan kepada (cinta) akhirat, bodoh atas ilmu itu lebih bagus daripada menguasainya.”

Waba’du, tampak sekali dalam sebagai anjuran, Imam al-Ghazali mengandaikan bahwa seseorang mengkhususkan hari Jum’at untuk lebih intensif beribadah. Hal ini dikarenakan sejumlah keistimewaan di dalamnya dibanding hari-hari pada umumnya.

Bila dalam satu tahun, kita dianjurkan makin giat taqarrub selama sebulan penuh Ramadlan, maka dalam konteks hitungan pekan, momen itu terletak pada selama sehari penuh Jumat. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

M. Sa’dullah,
Pengasuh Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah 2 Karangklesem, Purwokerto Selatan

Tulisan sebelumnyaPra Konferancab, Fatayat Ajibarang Gelar Workshop Public Speaking dan Digital Marketing.
Tulisan berikutnyaHaji, Perenungan Dan Perjuangan Melawan Nasib Yang Malang

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini