Boikot Produk Pro Israel? Begini Rincian Hukum Menurut LBM NU Banyumas

AGRESI militer Israel terhadap Palestina yang tidak hanya menyerang tentara, tetapi juga para warga sipil memunculkan berbagai respon kecaman terhadap agresi tersebut dan pembelaan terhadap Palestina. Selain demonstrasi, apa yang dilakukan untuk menentang Israel adalah seruan boikot produk-produk pendukung Israel.

MUI juga mengeluarkan himbauan agar Muslim sebisa mungkin menghindari transaksi dan menggunakan produk yang terafilisasi dengan Israel dan yang mendukung zionisme. Di sisi lain, seruan boikot ini tidak muncul dari pemerintah.

Menanggapi permasalahan ini, Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Banyumas (LBM PCNU Banyumas) menjadikanya sebagai salah satu isu yang dibahas dalam forum bahtsul. Forum ini diselenggarakan pada Sabtu, 25 September 2023 di PPTQ Anwarul Falah Tinggarjaya Jatilawang, asuhan KH Nur Hadi, al-Hafidz.

Forum ini dihadiri oleh para pengurus LBM PCNU Banyumas yang dipimpin oleh KH Ahmad Hadidul Fahmi, Lc., M.H., KH Mughni Labib, M.Ag, selaku Rois Syuriah PCNU Banyumas, KH Nurul Huda, KH Ahmad Shobri, KH Achmad Hasan, M.Pd., dan Kiai Syaikhul Ubaid, Wakil Ketua PCNU Banyumas.

Argumentasi Hukum

Forum bahstul masail ini berangkat dari pertanyaan “Apa hukum memboikot produk yang mendukung agresi Israel?” Untuk menjawab pertanyaan ini, forum mengumpulkan dan mendiskusikan pendapat-pendapat ulama yang relevan dengan isu ini.

Secara umum, penjelasan para ulama yang terkumpul mengarah pada isu perhitungan dampak yang terjadi dari pekerjaan jual beli (i’tibar ma’al), yakni apakah pekerjaan jual beli mengarah pada kemadaratan atau tidak, dan sejauh apa kemungkinan kemadaratan tersebut, apakah sampai pada level ‘mengetahui akan terjadi madarat’, ‘menyangka kuat’, atau ‘masih ragu-ragu’.

Penjelasan Bugyah al-Mustarsyidin (260) mampu memetakan tiga tingkatan ini, yakni bahwa 1) jika kemadaratan yang ditimbulkan dari jual beli diketahui atau disangka kuat, maka hukum jual beli tersebut haram, 2) jika kemadaratan yang ditimbulkan dari jual beli masih dalam level keraguan tanpa adanya petunjuk, maka hukumnya makruh.

بغية المسترشدين صـ 260

)مسألة: ي): كل معاملة كبيع وهبة ونذر وصدقة لشيء يستعمل في مباح وغيره، فإن علم أو ظنّ أن آخذه يستعمله في مباح كأخذ الحرير لمن يحل له، والعنب للأكل، والعبد للخدمة، والسلاح للجهاد والذب عن النفس، والأفيون والحشيشة للدواء والرفق حلت هذه المعاملة بلا كراهة

وإن ظن أنه يستعمله في حرام كالحرير للبالغ، ونحو العنب للسكر، والرقيق للفاحشة، والسلاح لقطع الطريق والظلم، والأفيون والحشيشة وجوزة الطيب لاستعمال المخذِّر حرمت هذه المعاملة

وإن شكّ ولا قرينة كرهت، وتصحّ المعاملة في الثلاث، لكن المأخوذ في مسألة الحرمة شبهته قوية، وفي مسألة الكراهة أخف

(Masalah) Setiap muamalah seperti jual beli, hibah, nazar, dan sedekah barang yang bisa dipergunakan dalam sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maka jika seseorang tau atau menyangka kuat bahwa pengambil barang mempergunakannnya dalam hal yang diperbolehkan seperti mengambil sutera bagi orang yang halal menggunakannya, anggur untuk dimakan, budak untuk dijadikan pelayan, pedang untuk berjihad dan menjaga diri, opium dan ganja untuk obat dan kelembutan, maka muamalah-muamalah ini halal tanpa adanya hukum makruh.

Dan jika seseorang menyangka kuat bahwa penerima akan menggunakannya dalam hal yang haram seperti sutera digunakan oleh laki-laki dewasa, seumpama anggur untuk dijadikan minuman yang memabukan, budak untuk hal yang kejih, pedang untuk membegal jalan dan kezaliman, opium, ganja, dan pala untuk pembius diri (narkoba), maka muamalah ini haram.

Dan jika seseorang ragu dan tidak memiliki petunjuk (mengenai hal-hal tersebut), maka hukumnya makruh. Muamalah dalam tiga keadaan ini sah, tetapi yang diambil dalam masalah haram adalah kesyubhatannya yang kuat dan dalam masalah makruh, kesyubhatannya yang ringan.

Penjelasan dari kitab al-Wala wa al-Bara’ wa al-‘Ada’ fi al-Islam (74) memberi penjelasan hampir sama namun lebih spesifik pada kasus boikot. Kitab ini juga mengaitkan dengan isu perintah imam (pemerintah), yakni jika imam mewajibkan boikot, maka boikot menjadi wajib. Jika imam tidak mewajibkan, maka hukum ditentukan berdasarkan kemadaratan/kemaslahatan dan pada tingkat apa kemungkinan kemadaratan/kemaslahatan tersebut. 

«الولاء والبراء والعداء في الإسلام» (ص74):

«والذي يظهر ‌أن ‌حكم ‌المقاطعة يختلف باختلاف الأحوال، وإليك التفصيل:

الأول: إذا أمر بها الإمام.

إذا أمر الإمام بمقاطعة سلعة معينة أو بضائع دولة من دول الكفر فإنه يجب على رعيته امتثال أمره، وليس للإمام أن يأمر بذلك إلا أن يرى في ذلك مصلحة عامّة لا تُقابلها مفسدة أو ضرر أرجح منه؛ …..

الثاني: إذا لم يأمر بها الإمام.

إذا لم يأمر الإمام بالمقاطعة فلا يخلو الحال من أمرين:

1 – أن يعلم المسلم أنَّ قيمة ما يشتريه يُعين الكفار على قتل المسلمين أو إقامة الكفر ، فهنا يحرم عليه أن يشتري منهم؛ وذلك لأن الشراء منهم والحال ما ذكر مشمول بالنهي عن التعاون على الإثم والعدوان، ومشمول بقاعدة سد الذرائع المفضية إلى الحرام ….

2 – أن لا يتيقن أن عين ما يشتري به منهم يستعان به على حرام من قتال المسلمين أو إقامة الكفر؛ فهذا باق على الأصل العام وهو جواز البيع والشراء وسائر المعاملات.

Sesuatu yang jelas adalah bahwa hukum pemboikotan berbeda sebab perbedaan keadaan-keadaan. Berikut ini merupakan perinciannya:

Pertama, apabila imam memerintahkannya

Apabila imam memerintahkan pemboikotan komoditas-komoditas tertentu atau produk-produk salah satu negara kafir, maka boikot ini wajib atas dasar patuh pada imam sedangkan imam tidak akan memerintahkannya kecuali ia melihat bahwa di dalamnya ada kemaslahatan universal yang mana kerusakan atau kemadaratan yang lebih unggul tidak membandinginya.

Kedua, apabila imam tidak memerintahkan.

Jika imam tidak memerintahkan pemboikotan, maka keadaan ini memiliki dua kemungkinan.

  • Muslim tahu bahwa uang dari apa yang ia bayarkan untuk membeli dipergunakan untuk membantu orang-orang kafir memeringi orang-orang Muslim atau menegakan kekufuran. Maka dalam konteks ini, Muslim haram membeli dari mereka. Ini sebab membeli dari mereka, dengan keadaan adalah apa yang telah dituturkan, masuk dalam larangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan kezaliman dan masuk dalam kaidah sadd al-dzari’ah yang mendatang pada hal yang haram.
  • Muslim tidak yakin bahwa uang yang ia bayarkan untuk membeli digunakan untuk membantu orang-orang kafir memeringi orang-orang Muslim atau menegakan kekufuran. Maka, transaksi ini tetap dalam hukum asal umum yaitu kebolehan jual beli, dan muamalah-mualamah lainya.

Isu-isu pemboikotan yang dijelaskan dalam kitab di atas tampak hanya memperhatikan dampak yang terjadi pada negara-negara Muslim yang diperangi, tidak memperhitungkan dampak ekonomi yang terjadi di Indonesia, misalnya soal ancaman PHK yang terjadi akibat pemboikotan. Namun jika antara dampak memboikot dan tidak memboikot ditimbang, maka pekerjaan memboikot produk-produk pro Israel adalah bentuk penghalangan terhadap kemadaratan yang lebih besar.

Jika dibandingkan, pekerjaan membeli produk-produk pro Israel merupakan wasilah yang mendatangkan pada bergugurannya nyawa warga sipil (nafs) dan rusaknya fasilitas umum (mal) sementara pekerjaan memboikot merupakan wasilah dari terjadinya PHK  (mal) para karyawan tanah air yang bekerja di perusahaan-perusahaan pro-Israel.

Namun, jika isu PHK ini dipikirkan lebih jauh lagi, isu PHK hanyalah kemadaratan sementara. Jika perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel mengalami kemunduran sehingga menuntut adanya PHK masal, maka sebenarnya ini berimplikasi pada bertambah besarnya perusahaan-perusahaan lain sehingga membuka lapangan kerja baru.

Berdasarkan analisis ini, maka penyelesaiannya adalah dengan menghindari kemadaratan yang lebih besar sebagaimana kaidah dalam Asybah wa Nadzair,

إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

“Ketika dua kerusakan saling bertentangan, maka kerusakan yang lebih besar harus dilindungi dengan melakukan kerusakan yang lebih ringan di antara keduanya”

Dengan demikian, penjelasan-penjelasan ulama di atas masih relevan untuk dipergunakan dalam kasus boikot terhadap produk-produk yang mendukung agresi militer Israel.

Penutup

Forum bahtsul masail menyimpulkan bahwa kewajiban boikot produk-produk pro Israel idealnya merupakan perintah dari imam (pemerintah) berdasarkan kemaslahatan yang imam perhitung. Dalam keadaan seperti ini, Muslim wajib mengikuti perintah boikot dari Imam.

Dalam hal imam tidak memerintahkan, apabila Muslim tau atau setidaknya menyangka kuat (berdasarkan indikasi-indikasi yang menunjukan, bukan semata-mata prasangka buruk) bahwa uang pembeliannya terhadap produk-produk tertentu digunakan untuk biaya menyerang negara Muslim (Palestina), maka Muslim wajib memboikot produk-produk tersebut.

Namun, apabila Muslim masih ragu-ragu bahwa uang pembeliannya terhadap produk-produk tertentu digunakan untuk biaya menyerang negara Muslim (Palestina), maka Muslim masih diperbolehkan membeli produk-produk tersebut.

Dr. A. Sulaiman, Wakil Sekretaris LBM PCNU Banyumas

Tulisan sebelumnyaUIN Saizu Purwokerto Mantapkan Wawasan Moderasi Beragama Penyuluh Agama
Tulisan berikutnyaKhutbah Jum’at: “Beruntunglah Al Ghuroba”

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini