Bersedekahpun Harus Tepat Sasaran!

sedekah harus tepat sasaran kata kyai syamsul ma'arif
Gambar ilustrasi diambil dari sumber jakartarakyat.web.id

“MAS MULYADI, kalau mau bersedekah atau sodakoh itu harus tepat sasaran,” kata Kiai Syamsul suatu hari di rumahnya yang sederhana waktu itu. Sang santri ‘kalong’ hanya mengiyakan apa kata gurunya tersebut sambil menyimak kelanjutannya.

“Contohnya kalau anda cuma punya uang Rp 2 ribu, maka anda harus lihat-lihat siapa yang pas untuk nilai itu. Misalkan anda lihat kerumunan anak bermain tiba-tiba ada bakul jajan keliling. Ternyata ada anak yang diam saja melihat temannya jajan. Tanyakan kepadanya kenapa ia diam, kenapa ga jajan. Lalu kasihkan uang itu ke dia. Pasti ia akan girang sekali dan sebagai gantinya Alloh akan memberikan rejeki sebagaimana girangnya anak tersebut menerima sedekah kita yang hanya senilai Rp 2 ribu itu,” kisah Kiai Syamsul.

Mendengar wejangan itu, Mulyadi hanya diam dan mengiyakan. Ia berpikir keras untuk merenungi apa yang menjadi dhawuh  dari sang kiai. Ia mengenal sang kiai, sejak diajak bersama kawan karibnya jelang diklatsar pasukan semimiliter warga nahdliyin masa garang-garangnya Orde Baru.

Tak hanya itu, beberapa waktu sebelumnya ia juga mendapatkan nasihat agar tetap memperlakukan dengan baik siapapun. Termasuk bagaimanapun orang yang datang ke rumah dengan berbagai keadaannya.

“Misalkan kalau ada orang meminta-minta ataupun orang berdagang kapuk, maka belilah meskipun kamu tidak butuh. Jikapun tak bisa beli, maka ajaklah dia ke dalam rumah, ajaklah dia makan minum dan suguhilah dengan baik,” kata sang kiai.

Tanpa disangka beberapa hari usai ia pulang sowan dan benarlah apa yang diceritakan sebelumnya. Datanglah ke rumahnya, seorang pedagang kapuk keliling beberapa hari kemudian. Ia juga mengenal sang kiai, sangat menghargai pemberian dari orang lain.

“Mas Mulyadi, ini kelebihan salak dari Cirebah. Kecil tidak besar-besar, tapi manis,” jelas sang kiai dengan senyum khas yang lembut.

***

Tak hanya itu, beberapa waktu kemudian ia sowan lagi kepada sang kiai. Sebagai santri iapun menyimak apa yang didhawuhkan oleh sang kiai. Rencananya ia akan pergi merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib yang lebih baik. Pasalnya selama ini ia merasa penghidupannya masih pas-pasan. Padahal ia sudah memiliki anak satu.

“Jangan jauh-jauh pergi Mas Mulyadi. Kalau rejeki itu sudah ada di sekitar sampeyan. Kalau ingin pergi saya sarankan pergilah engkau ke Cirebon,” kata sang guru.

Mendengar itu ia terdiam. “Jangan khawatir dengan anak isterimu. Kebutuhan dan rejeki anak isterimu sudah dijamin Alloh,” katanya.

Maka iapun akhirnya pergi ke Cirebon, ya ke sebuah pondok pesantren milik Syaikh Mahmud. Pondok pesantren yang bangunannya terdiri atas bangunan yang lebih pantas disebut gubuk-gubuk bambu. Di sanalah ia kemudian bermukim selama dua bulan. Di malam hari ia melafalkan dan merampungkan kitab yang diberikan pengurus pesantren. Di siang hari ia bekerja mulai dari  menganyam rotan di penduduk setempat hingga turut kerja bakti membangun pesantren.

Ya, selama dua bulan itulah ia hanya bertemu dengan sang syaikh tiga kali saja. Syaikh Mahmud seorang Jawa berperawakan sedang, namun cukup disegani oleh warga. Namun untuk pesantrennya cukup unik. Iapun hanya mendapatkan mimpi bertemu dengan sang guru.

“Masa kamu akan mondhok di situ,” kata temannya usai mendengar Mulyadi hendak mondhok di pesantren Syaikh Mahmud. Namun sebagai santri ia berkeyakinan apa yang didhawuhkan guru adalah perintah yang wajib dilaksanakan. Meskipun harus terjun ke samudra apipun akan ia laksanakan.

Maka iapun kemudian pulang ke rumah dan berbahagia menemui istri dan anak tercintanya.

“Selama aku di Cirebon, hutang di rumah sudah berapa Bu?” tanyanya pada sang isteri.

“Alhamdulillah Pak. Tidak tahu, kenapa selalu ada rejeki,” kata sang isteri. Mendengar itu, ia teringat adegan sebelum ia pulang pamit dari dalem sang kiai. Ia diberi secarik kertas oleh Gus Rif . Dalam secarik kertas itulah terdapat beberapa baris lafal Arab yang harus diwiridkan oleh istri usai salat fardlu selama ia pergi ke Cirebon. Allohu akbar.

Baca Juga : Kisah Mbah Nachrowi Pamijen-Sokaraja & Pencuri

Dari sang gurunya itulah, pelajaran soal memberi dan rumangsa semua hanya milik Allah SWT didapatkannya. Beberapa kali ia mendapati sang guru memborong semua dagangan pedagang sayur keliling. Selain itu kemudian diketahui sejumlah cerita lain soal kedermawanan sang kiai dan sifat zuhud sang kiai.

Suatu saat ia mendapatkan permasalahan ekonomi berupa utang piutang yang harus dia lunasi segera. Maka karena sudah mentok, ia pun sowan kepada Gus Rif, putra sang kiai di pesantrenya. Padahal ia tak pernah meminta dengan sengaja berbagai ijazah doa kepada sang kiai ataupun putranya yang dikenal ahli hikmah.

“Gus, kula nyuwun donga ben supados urusan kula rampung,” pintanya kepada sang Gus yang sudah beberapa kali memberikan ijazah doa kepadanya tanpa ia minta.

Sayang, dari sowannya itu hanya disambut senyum oleh sang Gus. Beberapa kali Gus Rif terlihat menghubungi sejumlah orang. Namun akhirnya Gus Rif hanya memintanya ke luar dan pulang.

“Urusannya panjenengan nanti akan diselesaikan di luar rumah. Bukan di sini,” katanya.

Maka sepulang dari pesantren, ia sampai di rumah. Beberapa kali kemudian ia mendapati tetangganya yang dari Sulawesi pulang. Maka dengan tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk pergi ke Sulawesi untuk menemui saudaranya di sana. Harapannya ada solusi di Sulawesi tersebut.

“Nanti kita berangkat tanggal 24,” kata tetangganya tersebut. Maka ditunggunya waktu itu. Rutinitas mengajar di sejumlah sekolah swasta terus dilakoninya. Namun tak disangka ketika beberapa lama kemudian, dikabari kalau keberangkatan ke Sulawesi diajukan tanggal 14.

Maka tergopoh-gopoh ia pamit kepada teman gurunya sambil ‘nodhong‘ uang saku. Setelah itu ia sowan kepada sang kiai dan sang gus. Maka saat ia pulang ia diberikan amplop oleh sang gus yang ternyata kemudian diketahui berisi cincin.

Singkat cerita, ia sudah berada di Sulawesi dan selama 18 hari ia tak bekerja apapun kecuali hanya beberapa kali sering mendapatkan permintaan tolong dari warga. Ya, permintaan tolong untuk mengobati anak sakit, orang sakit dan sebagainya. Segala kejadian itu ia lakoni dengan tanpa pikir panjang.

Hingga kemudian di hari ke-18 ia akhirnya berpamitan kepada saudaranya untuk pulang. Tanpa disangka orang-orang yang sebelumnya meminta jasanya untuk menolong, mengobati anak dan sebagainya datang ke rumah saudaranya.

Tanpa disangka ia mendapatkan amplop dari orang-orang tersebut. Setelah dihitung, ternyata jumlahnya pas dengan urusan yang harus diselesaikannya di rumah. Urusan ongkos pulang pergi Jawa Sulawesipun sudah rampung.

***

Kurang lebih lima tahun perjalanan Mulyadi berinteraksi dengan sang kiai sebelum meninggal dunia. Dari sang kiai itulah ia mendapatkan pelajaran bagaimana sebagai seorang manusia, harus bermanfaat bagi sesamanya. Madhangi wong kepetengen, mayungi wong kudanen, ngempani wong kencoten. 

Ia masih ingat betul ketika suatu hari, ada lowongan penerimaan pegawai negeri untuk formasi guru pendidikan agama. Sesuai dengan informasi dari temannya ia, kemudian mencoba mendaftar tersebut. Alhamdulillah setelah memasukkan berkas, ia ternyata lolos administrasi dan berhak untuk mengikuti tes ujian tersebut.

Malam hari sebelum tes itulah, ia sowan kepada sang guru. Di malam hari itulah, ia didoakan oleh sang guru bersama para santri. Dibacakanlah antara lain Manaqib dan juga doa-doa lainnya. Ia masih ingat betul, ia didudukan di tempat tersendiri sambil mengantongi kartu tes dan pulpen.

Besoknya, iapun mengikuti ujian tersebut. Entahlah mungkin karena sebab sawab doa bacaan di malam hari, ia begitu enteng dan tak ada beban mengikuti ujian tersebut. Dan ialah yang pertama keluar dari ruangan tes tersebut. Melihat itu, teman-teman peserta lainnya terkejut dan bertanya-tanya.

Pulpenku wis tekjantur, mulane pas ngerjakna soal mlaku dhewek!” jawabnya sekenanya tanpa beban. Semua ia sudah pasrahkan kepada Tuhan yang maha Sutradara. Ia merasa dari seluruh soal yang ada ia mampu mengerjakannya, hanya satu soal yang tak ada jawaban yang benar.

Waktu ujian usai, dan waktu pengumuman tiba. Namun ia berhalangan hadir untuk melihat itu. Iapun menitipkan kartu tes untuk dikroscekan oleh teman peserta tes lainnya. Sekali lagi ia sudah memasrahkan semuanya kepada Nya. Akhirnya singkat cerita dari temannya itulah ia mendapatkan informasi kalau ia lolos CPNS guru, sementara temannya yang melihat pengumuman itu tak lolos. Barokalloh. Allohu yarham.

Hingga suatu hari saat ia sedang membantu tetangganya yang sedang hajatan, ia dikabari kalau sang kiai telah seda. Ya tak lama setelah ia pergi ke Cirebon tersebut.

“Kemarin Abah sempat menanyakan sampeyan Kang, sebelum seda?” kata salah satu Gus putra sang kiai.

Mendengar itu, ia sangat merasa bersalah. Maka iapun turut mendapat penghormatan untuk memapah jenasah seturun dari masjid sebelum dimakamkan. Untuk mengobati berbagai rasa yang berkecamuk di dadanya. Malam usai meninggalnya sang guru, ia dipersilakan untuk berada di makam sang guru sambil membaca apapun, Salawat dan sebagainya. Ya, baginya sang kiai, adalah guru, orang tua, saudara, teman dan sebagainya. Ia adalah salah satu obor bagi kehidupannya.

Allohumma firlahu, warhamu, wa’a fihi wa’fu ‘anhu. Lahul Fatihah…

*Cerita ini ditulis Susanto berdasarkan wawancara dengan salah satu santri Almaghfurlah Kiai Syamsul Maarif, pengasuh Ponpes Nurul Huda, Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Banyumas.

Tulisan sebelumnyaPancasila Mati Harga
Tulisan berikutnyaSecuil Tentang KH Saifuddin Zuhri

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini