Pancasila Mati Harga

ALFIAN IHSAN

SIAPA yang tidak pernah mendengar slogan-slogan seperti, “Saya Indonesia, Saya Pancasila” atau “Siapa kita? Indonesia, NKRI!! Harga Mati”. Kita sering mendengar slogan ini dalam acara sebuah instansi pemerintahan atau organisasi sipil.

Slogan ini terdengar patriotis, menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara untuk mencintai tanah airnya. Di tengah gempuran narasi pemerintah mengenai adanya kelompok ekstrimis agama, komunis, anarko, atau separatis yang melawan dan ingin menguasai negara. Nampaknya berpegang pada Pancasila adalah salah satu kunci agar negara ini bisa tetap utuh.

Pancasila sebagai konsensus tertinggi mempunyai kedudukan sebagai agama publik, seperti penjelasan Yudi Latif seorang pakar aliansi kebangsaan. Pancasila merupakan agama publik yang mengatur moralitas seluruh bangsa Indonesia.

Sebagai nilai moral suatu bangsa, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk membuat agama publik ini bisa dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pendekatan pertama mengacu pada filsafat politik dari Jean Jacques Rousseau yang mengutamakan peran negara. Bahwa kehendak negara merupakan kehendak rakyat yang harus dipatuhi bersama. Sehingga negara mempunyai kewajiban untuk menafsirkan agama publik dan memperkenalkannya kepada warga negara. Penafsiran agama publik ini menjelma dalam segala kebijakan negara dan harus dipatuhi seluruh warga negara.

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ala JJ. Rousseau ini dilakukan oleh BPIP, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dalam laman resminya, tugas BPIP adalah membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.

Selain itu, salah satu tugas dari BPIP adalah melakukan kajian terhadap semua kebijakan pemerintah yang rentan bertentangan dengan Pancasila. Meski sampai hari ini kita tidak pernah tahu kebijakan mana yang pernah dikaji oleh lembaga mahal ini.

Misalnya tentang kebijakan Jokowi yang menghapus limbah batu bara dan kelapa sawit dari kategori limbah berbahaya. Beberapa penelitian mengatakan bahwa limbah ini bisa diolah kembali, namun pada kenyataanya pabrik lebih sering membuang limbah ini langsung ke tanah atau sungai.

Membuang limbah berbahaya secara langsung ke tanah atau sungai tentu akan berpotensi membahayakan warga sekitar dan merusak lingkungan. Apakah ini bisa dikategorikan melanggar sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”? Mungkin hanya Presiden dan BPIP yang tahu.

Ada juga peraturan baru mengenai izin pembukaan lahan yang termaktub dalam UU Cipta Kerja atau dikenal dengan nama Omnibus Law. UU ini cukup mengundang polemik dan protes dari berbagai lapisan masyarakat, tapi ternyata wakil kita di parlemen punya pendapat berbeda.

Izin pembukaan lahan kekinian tidak mensyaratkan AMDAL, menghapus sanksi pembekuan dan pencabutan izin, menghapus prinsip tanggungjawab mutlak kepada perusahaan pelaku pencemaran, dan menghilangkan pasal mengenai pengakuan kearifan lokal masyarakat adat.

Dengan ini perusahaan bisa lebih mudah membuka lahan hutan di Kalimantan atau Papua. Asalkan ada kesepakatan dengan pemerintah pusat, proyek tetap jalan meski mendapat penolakan dari warga sekitar dan pemerhati lingkungan.

Jika Anda merasa ini bertentangan dengan sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, mungkin pendapat Anda akan berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh BPIP, DPR, dan Presiden.

Perbedaan penafsiran antara kita dan pelaku pemerintahan memang wajar terjadi. Jika Anda sering mendengarkan pernyataan para politisi mengenai anjuran untuk mengamalkan Pancasila namun ternyata melakukan sesuatu yang sebaliknya, maka janganlah heran. Karena untuk itulah mereka dibayar dengan pajak dari rakyat.

Penafsiran Pemerintah mengenai Pancasila seringkali dibumbui dengan cerita mengenai musuh imajiner. Kelompok Islam fundamental, komunis, anarko, atau separatis dinarasikan sebagai kelompok yang mengganggu negara dan mengancam keutuhan NKRI.

Narasi ini terus disampaikan kepada masyarakat sembari menjalin kedekatan dengan kelompok masyarakat agar turut serta membantu pemerintah untuk menjaga NKRI.

Menjaga NKRI yang dimaksud ini bukan melakukan check and balance pemerintah atau memberi masukan mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun hanya untuk melanggengkan narasi mengenai mempertahankan NKRI dan menjaga Pancasila dari musuh imajiner tersebut.

Fenomena ini oleh Timo Duile, pengamat keindonesiaan dari Universitas Bonn Jerman, disebut sebagai gejala fasisme baru di Indonesia. Dimana pemerintah berupaya untuk menumbuhkan kesadaran kolektif individu untuk menjaga eksistensi negara tanpa harus berpikir mengenai hak warga negara untuk hidup sejahtera. Kembali pada pendekatan Pancasila sebagai moral publik, pendekatan kedua yang disampaikan Yudi Latif adalah berbasis partisipasi publik.

Baca Juga : Regenerasi Petani di Masa Pandemi

Pendekatan kedua ini merujuk pada pendapat Emile Durkheim, seorang filosof etik dari Perancis. Durkheim mengatakan bahwa moral publik tidak harus terpusat pada negara. Moral publik akan berkembang secara alamiah apabila dikembangkan secara sukarela.

Pengembangan secara sukarela oleh publik biasanya dimotori oleh organisasi sipil atau lembaga pendidikan. Diskusi dan kajian terbuka mengenai Pancasila turut serta membangun narasi publik mengenai bagaimana seharusnya Kelima sila ini mampu dipraktikkan sebagai nilai dalam kehidupan sehari – hari.

Misalnya NU sebagai salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia yang tidak jarang menyinggung bahwa Pancasila adalah nilai moral yang mengandung ajaran Islam. Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, tentu sila pertama ini sama dengan ajaran tauhid yang ada dalam Islam.

Maka NU menghimbau kepada seluruh jamaahnya bahwa salah satu kewajiban umat Islam di Indonesia adalah menjaga Pancasila dan turut serta mempertahankan negara. Ini disampaikan untuk melakukan kontra narasi kepada paham Islam transnasional yang seringkali mengeluarkan pernyataan seperti menjaga tanah air tidak wajib, atau daripada menyanyikan lagu Indonesia Raya lebih baik membaca Al-Qur’an.

Tentu yang harus diingat bahwa mempertahankan negara tidak sama artinya dengan membela pemerintah. Karena negara adalah rumah tempat bernaung kita bersama, namun pemerintah adalah orang yang mengatur tata kelola rumah. Sebagai manusia, potensi untuk melakukan kesalahan dalam tata kelola sangat mungkin untuk terjadi.

Penting bagi organisasi sipil untuk menggunakan nilai dan norma Pancasila sebagai panduan dalam melihat kebijakan pemerintah. Jangan sampai Pancasila ini menjadi norma yang hanya mendukung kepentingan pemerintah tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat secara lebih luas.

Tentu kita tidak mau kembali kepada masa Orde Baru dimana Pancasila menjadi ideologi kaku yang dipakai pemerintah untuk memberangus lawan politiknya. Mereka yang mengkritik pemerintah dianggap tidak Pancasilais dan layak untuk dilawan.

Dalam hal ini NU mempunyai pengalaman tersendiri saat berhadapan dengan Orde Baru pada kurun waktu 1980-an sampai tahun 1998, tumbangnya Orde Baru.
Begitu pula organisasi sipil manapun jangan sampai terjebak sebagai organisasi yang paling Pancasila. Mengklaim organisasinya sendiri sebagai yang paling Pancasila kemudian merasa berhak untuk memberi stigma dan “menggebuk” kelompok lain yang menurut mereka tidak Pancasilais.

Akan lebih bijak apabila dialog – dialog mengenai Pancasila dilakukan secara lebih luas di ruang publik. Tidak hanya mengenai menjaga keutuhannya namun juga menjaga pemerintah agar tetap On The Track dalam menjalankan negara sesuai nilai Pancasila.

“Jangan tanyakan apa yang sudah kamu lakukan untuk negara ini, tapi tanyakan pada dirimu apakah ini negara yang kamu cita – citakan!”

Alfian Ihsan, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Unsoed Purwokerto, Pegiat Forum Persaudaraan Lintas Iman Banyumas, ikut ‘rewang’ di Ikatan Sarjana NU (ISNU) Banyumas.

Tulisan sebelumnyaRegenerasi Petani di Masa Pandemi
Tulisan berikutnyaBersedekahpun Harus Tepat Sasaran!

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini