Umar bin Abdul Aziz Menolak Gratifikasi

Umar bin Abdul Aziz

Dalam perkembanganya, Islam selalu melahirkan tokoh-tokoh berpengaruh yang ikut berkontribusi dalam membangun peradaban dunia. Baik dari kalangan ulama (muslim scholar), pemimpin, atau tokoh militer, mereka selalu ikut andil memberi kontribusi apa pun bentuknya.

Ada yang berkontribusi melalui karya ilmiah sehingga menjadi literatur rujukan selama berabad-abad lamanya, ada yang melalui kebijakan pemerintah sehingga masyarakat yang dipimpinya hidup makmur, atau ada juga yang melalui siasat perang ketika ia bertempur sehingga mampu menaklukan musuh-musuh Islam dan memperluas wilayah ekspansi.

Di antara satu dari tokoh-tokoh berpengaruh yang pernah ada dalam sejarah peradaban Islam adalah Umar bin Abdul Aziz. Seseorang yang pernah menjabat sebagai khalifah Dinasti Ummayah ini juga dijuluki sebagai Umar II, karena sepak terjangnya dalam menjalankan roda pemerintahan sarat akan keadilan dan kebijaksaan sebagaimana yang dijalankan kakeknya, Umar bin Khatab saat menjadi Khalifah menggantikan Abu Bakar Ash-Shidik.

Sufyan al-Tsauri, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa, bahkan menyebut Umar sebagai Khalifah Kelima (khamis al-khulafa) setelah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.

Umar bin Abdul Aziz sesungguhnya bukan seorang pemimpin biasa. Sebelum terjun ke dunia politik, ia dikirim ayahnya untuk belajar bersama ulama-ulama besar di kota Madinah.

Sejak kecil ia telah rampung menghafalkan Al-Qur’an. Ia tumbuh menjadi pemuda yang tak hanya shalih melainkan juga menguasai (mutabahir) berbagai disiplin ilmu agama. Hal itu yang membuatnya disegani di kalangan para ulama.

Seorang ulama besar pada masa tabi’in, Maimun bin Mihran pernah berujar :

كانت العلماء مع عمر بن عبد العزيز تلامذة

“Para ulama layaknya santri di hadapan Umar bin Abdul Aziz.”

Keistimewaan yang dimiliknya ini akhirnya membuat Abdul Malik, paman sekaligus Khalifah Dinasti Ummayah kala itu kepincut menjadikanya menantu. Ayah dari Umar sendiri, Abdul Aziz bin Marwan adalah adik dari Abdul Malik bin Marwan.

Ketika ayah Umar bin Abdul Aziz wafat, Abdul Malik meminta Umar kembali ke Damaskus untuk dinikahkan dengan putrinya, Fatimah binti Abdul Malik. (lihat Tarikh al-Khulafa, hlm. 204).

Karir Politik

Umar mengawali karir politiknya dengan menjadi Gubernur Madinah. Ia ditunjuk oleh sepupunya, Walid bin Abdul Malik yang saat itu naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Khalifah Dinasti Ummayah. Kemudian, pasca wafatnya Sulaiman bin Abdul Malik, Umar naik tahta menjadi Khalifah Dinasti Ummayah.

Raja’ bin Haywah adalah orang yang memegang peranan penting dalam penobatan Umar menjadi Khalifah. Ia adalah penasehat Khalifah Sulaiman yang mengusulkan agar Umar ditunjuk menjadi khalifah setelahnya.

Baca Juga : Nabi Muhammad Teladan Mengelola Keragaman

Meski sempat ragu, lantaran Umar bukan berasal dari keturunan Abdul Malik, namun akhirnya Khalifah Sulaiman yakin untuk menunjuk Umar sebagai penggantinya melalui mekanisme surat wasiat.

Namun demikian, agar tidak terjadi kegaduhan dan konflik politik yang besar, Raja’ menyarankan agar dinobatkan juga khalifah setelah Umar yang berasal dari keturunan Abdul Malik kembali.

Akhirnya, ditulislah surat wasiat yang berisikan dua nama pengganti Khalifah Sulaiman secara berurutan, Umar bin Abdul Aziz kemudian khalifah selanjutnya adalah Yazid bin Abdul Malik.

Umar secara resmi dilantik menjadi Khalifah pada bulan safar tahun 99 Hijriyah. Peristiwa itu, digadang-gadang menjadi bukti dari isyarat yang pernah di-nubuwah-kan Umar bin Khatab di masa lampau.

Dikisahkan, Umar bin Khatab pernah berkata :

من ولدي رجل بوجهه شجة يملاء الأرض عدلا

“Diantara anak keturunanku ada seseorang laki-laki yang di wajahnya ada bekas luka. Ia akan memenuhi seisi bumi ini dengan keadilan.”

Sejarah mencatat, sepanjang kepemimpinanya, Umar memerintah dengan adil. Ia juga menghapus segala bentuk kebijakan diskriminatif yang sarat akan kezaliman seperti tradisi mencaci maki Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar masjid yang telah berlangsung sejak lama.

Baca Juga : KH M Maskun Ridho dan Akhmad Syauqi Pimpin NU Baturraden

Selain itu, Umar juga enggan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Ketika Umar selesai dibaiat, ada kejadian unik yang sempat terekam dalam sejarah. Seorang ajudanya mengantarkan kuda kerajaan yang merupakan kendaraan resmi Khalifah (markab al-khalifah) tetapi Umar lebih memilih menunggang kudanya sendiri.

Ia malah menyuruh ajudanya itu untuk menjual kuda tersebut dan uangnya digunakan untuk kemaslahatan umat.

Umar Menolak Gratifikasi

Ada satu kisah menarik yang didokumentasikan Imam al-Suyuthi dalam bukunya “Tarikh al-Khulafa” mengenai Umar bin Abdul Aziz ketika menolak pemberian hadiah dari seseorang.

Dikisahkan, suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin sekali memakan buah apel. Tak berselang dari itu, ada seseorang datang membawakan apel untuknya. Apel yang diberikan bukan apel sembarangan. Warnanya nampak masih sangat segar, dan terlihat merupakan apel jenis terbaik.

Melihat apel segar itu, Umar berkata, “Segar sekali apel itu.”
Ajudan yang menyaksikanya juga ikut menyaksikan. Namun, apa yang dikatakan Umar berikutnya membuatnya kaget.
“Kembalikan apel itu kepada yang membawanya tadi. Sampaikanlah salamku padanya dan katakan, ‘Kami senang atas hadiah apel darimu.’.” Ucap Umar dengan tegas.

Dengan penuh keheranan, ajudanya menyahut, “Wahai Amirul Mukmimin, yang membawanya adalah putra pamanmu. Mengapa engkau menolaknya?, bukankah Nabi Saw. juga menerima dan memakan hadiah ?.”
“Celaka kamu !. Yang Nabi terima sebagai hadiah memang hadiah, sementara tadi itu risywah (gratifikasi).”

Begitulah Umar menjaga dirinya dari menerima barang yang bukan haknya. Ia menyadari, hadiah atau pemberian apa pun bentuknya tentu ‘halal’ diterima oleh masyarakat biasa Akan tetapi, ketika ia sudah resmi menjadi pejabat negara, maka pantang baginya menerima hadiah atau pemberian apa pun bentuknya.

Khawatir, ada maksud lain dari pemberian tersebut atau, barangkali karena ia khawatir menerima sesuatu yang lebih dari bagiannya sebagai Khalifah. Sebab, seorang pejabat negara idealnya sudah mendapat gaji dan tunjangan. Pemberian di luar itu (baca: gratifikasi/suap) adalah sesuatu yang dilarang. Wallahu a’lam.

Tulisan sebelumnyaMuktamar NU Ke-34, Panitia Tunggu Keputusan PBNU
Tulisan berikutnyaCegah Banjir, Banser dan Relawan Gabungan Bersihkan Sungai Prukut

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini