Tukang Cuci Kotoran Itu Berqurban

Misro membantu kepanitiaan qurban

SUDAH puluhan kali Misro ikut terlibat dalam kepanitiaan qurban di lingkungan masjidnya. Ia bukan imam masjid, bukan pengurus masjid, bukan tukang jagal, bukan tukang thethel, tapi posisinya saat penyembelihan qurban itu sangat dibutuhkan.

Di kepanitiaan qurban ia berposisi bukan di tempat yang strategis. Ia hanya membantu yang lain. Paling ia ditugaskan untuk mendistribusikan daging ke yang berhak menerima. Selebihnya ia menjadi tukang bersih-bersih usus yang masih penuh kotoran. Pekerjaan yang sangat tidak menarik bagi orang lain.

Namun pagi itu, orang-orang sekitar tercengang. Hampir semua orang membicarakannya. Banyak yang kaget, termasuk keluarganya sendiri. Pasalnya, menjelang shalat Ied, ketika panitia mengumumkan daftar orang yang ikut qurban di tahun itu, ada tercantum nama Misro.

Sudah tradisi bahwa orang-orang yang mengikuti ibadah tersebut, pasti disiarkan kepada seluruh jamaah. Dari sekian banyak orang yang berqurban, terselip nama orang yang selama ini tidak pernah dibayangkan oleh orang banyak dalam ibadah yang membutuhkan biaya ini. Mengingat ekonomi dia yang hanya buruh serabutan.

Istri dan anaknya juga tidak tahu kalau Misro mengikuti jejak nabi Ibrahim itu. Ia memang mempunyai empat ekor kambing di kandang belakang rumahnya. Namun istrinya tak pernah terbersit sedikitpun ada rencana untuk qurban.

Biasanya ternak piaraannya itu hanya dijadikan tabungan jika ada kebutuhan-kebutuhan mendesak. Kambing-kambingnya lebih dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya sangat mendadak. Apalagi orang-orang yang ikut qurban di wilayah itu selama ini cenderung orang-orang yang ekonominya kuat.

Misro, laki-laki yang tak berpendidikan tinggi. Ngajinya juga tidak secerdas teman-temannya. Ekonominya masuk dalam deretan orang-orang tak mampu. Namun pagi itu Misro menjadi perhatian jamaah shalat Idul Adha. Misro, berqurban.

Saat penyembelihan sapi di lingkungan masjid, Misro masih berperan sebagai pembersih kantong kotoran sapi. Biasanya ia ditemani dua orang membawa usus hewan kurban itu ke sungai, yang aliran airnya besar.

Baca Juga : Kang Car dan ‘NU’ Sejati

Ia bertahun-tahun menunaikan tugas itu tanpa menolak. Bahkan orang-orang yang melihat pekerjaan dia cenderung meremehkan. Namun pagi 10 Dzulhijah tahun itu, ia diperlakukan lebih oleh teman-temannya di lingkungan panitia.

“Biar dia menikmati suasana indah ini. Tolong Misro tidak usah ikut mencuci kanthong tlepong.” kata Imam Masjid itu, setelah mereka selesai menguliti dua sapi.

Akan tetapi laki-laki itu tak mau diperlakukan istimewa. Ia tetap biasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia tetap menjadi tukang bersih-bersih setelah hewan disembelih. Ia juga tetap seperti biasa mengantar daging qurban ke para warga. Ia tetap menjalankan pekerjaan yang orang lain banyak yang tidak mau.

“Selamat, semoga qurbanmu diterima Alloh…”, kata Imam masjid.

“Tidak usah begitu Kyai. Saya malu. Saya hanya menjalankan ibadah saja. Kata pak Kyai, salah satu ibadah terbaik pada tanggal sepuluh Dzulhijah adalah qurban. Kebetulan saya punya kambing sendiri pak. Bismillah…”. Ujar laki-laki itu dengan lugunya. (*)

Tulisan sebelumnya50 Juta *
Tulisan berikutnyaFatayat NU Banyumas Berikhtiar Putus Rantai Covid -19

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini