Ketika masa 1990-an, permainan anak tradisional masih banyak dikenali dan disukai anak-anak desa. Berbagai macam hal bisa jadi permainan yang menyenangkan. Termasuk aktivitas yang terbilang hal remeh temeh. Bermain pasar-pasaran, jonjang, beklen, dam-daman, sunda manda dan bahkan pergi mencari kayu bakar ke kebonpun menjadi permainan.
Waktu itu masih jamak anak-anak turut serta mencari kayu bakar bersama orang tua, ataupun atas kemauan mereka sendiri. Mencari kayu bakar menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak termasuk anak perempuan. Tak terkecualiĀ Si Iis. Meski rumahnya hendak dibangun pondok, namun ia tetap saja bermain bersama anak-anak pada umumnya.
Pagi itu, Iis yang kebetulan main dengan tetangganya diajak untuk turut serta mencari kayu bakar.Ā Bersama-sama ke kebun tak jauh dari perumahan di perbatasan dua kabupaten itu sungguh menyenangkan hatinya. Ia bisa melihat hal yang tak pernah ia lihat ketika di rumah.
Melintasi jalan ke kebun yang masih berupa tanah sungguh sesuatu yang asyik. Berkeringat, capai dan haus itulah yang ia rasakan. Namun di kebun iapun mendapatkan pengalaman yang menyenangkan yang selalu diingat orang-orang desa, yang ketika tua telah pergi ke kota.
Pengalaman itu adalah bagaimana mereka meminum air kelapa muda yang diambilkan oleh orang tua atau mereka sendiri. Bagi anak lelaki desa, mencuri kelapa muda ketika bermain di kebun seperti sebuah kebanggaan. Tak jarang, pemilik kebun akan mengejar-ngejar mereka. Entahlah, benar-benar serius mengejar atau hanya memberi pelajaran saja.
Ketika sesampai di kebun, ia bersama teman dan tetangganya mencoba mengambil ranting-ranting kayu kering yang tergeletak di kebun yang dilintasinya. Merekapun terkadang berjalan-jalan mencari ranting kayu kering, baik itu pohon sengon, jati, jatisabrang, kelapa, mahoni dan lainnya. Siapa yang berhasil membawa pulang ranting kering sebagai kayu bakar dalam gulungan besar maka ia seakan menjadi pemenangnya.
Ternyata meski tak pernah ke kebon, Iis terbilang cukup gesit mengambil ranting-ranting kering yang jatuh di semak ataupun rerumputan. Maka dalam waktu beberapa jam, segulung kayu bakar dari berbagai ranting kecil. Maka diikatlah ranting pohon kecil itu dengan pelepah pohon pisang setengah kering sebagai tali.
Digamitnya gulungan besar kayu bakar itu. Namun setelah setengah perjalan, ia mulai kelelahan. Tetangga yang mengajaknya sesekali tersenyum dan geleng-geleng kepala. Kemudian gulungan kayu bakar itu dibawakan oleh tetangganya tersebut. Sesekali Iis kecil menyeka butir-butir kecil keringat yang keluar dari pori-pori wajahnya.
Senyumnya khas, senyum yang disukai para tetangga di sekitar rumahnya. Ya, tetangga tak bisa memungkiri betapa garis darah yang mengalir dari anak perempuan kecil itu memang berbeda dengan garis darah anak kebanyakan. Tak heran jika sedari kecil, senyum mereka, sikap mereka juga berbeda. Supel cepat bergaul dan tak bisa membedakan.
Maka setelah hampir sampai di rumahnya, sang tetangga memberikan segulung kayu bakar kepada Iis. Dengan senang, Si Iis menerimanya. Dengan sedikit berat, ia kembali menggamit gulunga kayu bakar itu dipinggangnya. Dengan tergopoh-gopoh, ia pulang dan memasuki pintu belakang dapur rumahnya.
Ia telah membayangkan, betapa bangga ia bisa memberikan segulung kayu bakar kering untuk memasak Uminya. Maka meski berat, ia tetap semangat menjinjing kayu bakar itu ke rumahnya. Dari balik dapur, rupanya sang umi telah melihatnya dan tersenyum.
Sesampai di dapur, ia langsung cium tangan Uminya. Segulung kayu bakar itu diletakan di luar dapur. Karena merasa haus, ia langsung mengambil gelas berisi air dari kendi di rumahnya. Ia melepas lelah dengan duduk dan mengipas-ipas bagian lehernya dengan tutup panci yang ada di dapur.
Belum sempat ia menceritakan pengalamannya yang menyenangkan mencari kayu bakar di kebun, ia telah dipanggil oleh Abahnya. Ya, siapa yang berani membantah apa kata Abah. Ya pria dewasa yang dengan kasih sayang menggendongnya dari kamar tidur ke kamar mandi. Ketika itu, matanya masih terkatup sementara telinganya mendengar lamat-lamat suara adzan subuh mengalun dari musala samping rumahnya.
Ia keluar dari dapur rumahnya dan menemui Abahnya yang berdiri di depan dapur rumahnya itu. Ia melihat Abahnya beberapa kali melihat ke arah gulungan kayu bakar yang dibawanya susah payah dari kebun. Namun pandangannya tak seperti uminya tadi.
“Dari mana engkau ambil ranting-ranting kecil ini?” tanyanya.
Lalu dijawabnya pertanyaan itu oleh Iis sekenanya dan setahunya. Ia mengaku diajak turut bermain ke kebun dan mencari kayu bakar bersama tetangganya.
“Kembalikan ranting-ranting kayu itu di tempat yang kamu temukan. Itu bukan hakmu, bukan hak kita. Itu milik orang lain, bukan kebun kita. Apakah kamu sudah memintanya, meminta ijin kepada pemiliknya waktu mengambil ranting kayu itu,” jelas Abahnya.
Maka dengan penuh kebingungan dan perlahan Iis kecil memahami apa kehendak dari Abahnya. Ia harus mengembalikan segulung kayu bakar ke tempatnya kembali di mana tempat ia menemukannya.
Abahnya yang bersarung dan memakai kaos oblong putih lawas berlalu. Ditinggalkannya Iis kecil yang terpekur memandangi gulungan kayu bakar. Iis kecil kembali berpikir keras mencerna apa kehendak Abahnya.
Sejenak dahinya berkerut kembali. Keringat tubuhnya baru saja mengering dan dahaganya baru saja hilang. Namun sesuai perintah Abahnya ia harus mengembalikan ranting-ranting kayu itu ke tempat ia menemukan.
Bagaimana ia harus mengingat segulungan ranting itu di kembalikan ke tempatnya satu persatu. Padahal saat menemukan ia tak melihat dengan pasti asal pohon-pohon yang menjatuhkan ranting-ranting yang kering itu. Apalagi ia baru saja bermain ke kebun yang disambanginya.
Kemudian ia bergegas dan menjinjing kembali ranting kayu itu. Kemana? Ia akan pergi. Haruskah ia mengambil memilih memilah satu persatu ranting dan dikembalikan ke tempat asalnya di kebun. Padahal hari sudah sore.
Sesaat kemudian, ia telah sampai ke rumah tetanggannya yang tadi pagi mengajaknya main ke kebun dan mengambil kayu bakar. Maka setelah mengucapkan salam dan dijawab sang empunya rumah, Iis kecil meletakan gulungan kayu bakar itu.
Perempuan setengah baya yang merupakan ibu dari teman perempuannya itu hanya memandangnya. Iis kecil hanya tersenyum. Tanpa berkata apapun, ia berlari kecil pulang ke rumahnya. Di pikirannya, apakah Abahnya akan bertanya lagi. Entahlah. Tapi ia diam-diam berdoa. Semoga tidak.
Baca Tulisan Sebelumnya : Tentang Abah dan Pertanyaannya (1)
[…] Bersambung ke : Tentang Abah dan Pertanyaannya (2) […]
[…] Baca juga : Tentang Abah dan Pertanyaannya (2) […]