“Di mana kamu mengambilnya, milik siapa dan kapan? Kalau bukan milik kita, kembalikan pohon rambutan kecil itu ke tempat semula,” ujar lelaki berbadan tinggi besar bermata tajam kepada gadis perempuan kecil hitam manis.
Gadis kecil yang akrab dipanggil Iis itu menatap kaget kepada pria yang dipanggilnya Abah itu. Ia tak menyangka pohon rambutan kecil yang dicabutnya dari dekat jalan rumah tetangga itu menjadi sebab perkataan keras Abahnya. Padahal anak-anak lain juga sudah terbiasa mengambil biji dan tunas liar di jalanan dan dijadikan mainan.
Iis memang berbeda dengan anak teman-temannya. Ia berbadan lebih tinggi, rambut sehitam malam, bulu mata lentik dan yang paling menonjol adalah hidung mancung sebagaimana dimiliki Uminya. Namun yang lebih berbeda lagi adalah sikap perkataan dan perlakuan Abahnya cukup berbeda dengan bapak dari teman-temannya. Abahnya selalu punya sikap yang tak pernah disangka-sangka olehnya.
Maka usai mendengar perkataan keras Abahnya itu, ia langsung pergi dengan teman sepermainannya. Sambil memegang pohon rambutan kecil itu, gadis kecil itu bergegas tanpa bicara. Mereka mencari-cari tempat yang pasti di mana tumbuh pohon kecil yang menjadi sebab munculnya suara agak keras Sang Abah.
Sebatang pohon rambutan kecil yang lebih pas disebut tunas rambutan digenggamnya. Ia terus mengingat-ingat kembali tempat di mana ia menemukan dan mencabut benih pohon rambutan kecil yang baru berdaun sekitar empat buah saja.
Usai menemukan tempat itu, gadis kecil itu langsung terhenti. Sejenak gadis kecil itu berjongkok ditemani dua temannya yang lain. Setelah memperhatikan dua temanya ia mengangguk. Dipandanginya sejenak pohon rambutan kecil yang tadinya hendak ditanam di depan rumahnya.
Awalnya telah dibayangkan olehnya, dari pohon rambutan kecil itu perlahan akan tumbuh batang pohon, ranting kecil dan daun-daun kecil. Ketika sudah banyak dan meninggi maka ia membayangkan bisa bermain di bawah pohon itu sebagai tempat menggelar dagang-dagangan. Ataupun ketika telah tinggi dan besar, maka pohon itu akan berbuah banyak dan bisa dipetik bersama kakak dan adiknya serta teman-temannya.
Baca Juga : Review Buku membaca Islam Nusantara
Setelah mengelus batang kecil pohon rambutan dan beberapa lembar daun itu, Iis langsung menggali tanah dengan ranting kecil yang diberikan temannya. Dicukilnya batu kecil-kecil yang di atas tanah yang sebelumnya menjadi tempat persembunyian akar pohon rambutan kecil yang dicabutnya itu. Setelah diperkirakan cukup, perlahan ia memasukan akar pohon rambutan kecil itu ke dalam lubang yang hanya sedalam lebar telapak tangan anak kecil itu.
Setelah akar pohon yang sebenarnya bagi orang dewasa hanya sebesar rambut itu masuk, lalu dihimpunnya tanah dan kerikil kecil untuk menutupnya. Pohon rambutan kecil itu kembali dibelai Si Iis dan kembali ia tersenyum dan komat-kamit seperti berbicara dengan pohon kecil itu. Dua teman kecilnya turut tersenyum. Mereka bertiga bangkit dan kemudian saling mengucapkan salam perpisahan.
“Besok main lagi ya Is..,” kata satu teman Iis berambut lurus sebahu itu. Merekapun akhirnya pulang ke rumah masing-masing.
Dalam perjalanannya pulang, Iis berpikir. Pikirannya sebagai anak-anak, ia sempat bertanya-tanya kenapa Abahnya berbeda dengan bapak-bapak teman-temannya. Bagaimana dan kenapa Abahnya begitu hati-hati dan memperhatikan hal-hal yang kecil dilakukan anak-anaknya.
“Kenapa aku tak boleh mengambil benih rambutan yang tumbuh liar dan hanya tunas pohon rambutan kecil yang bisa saja mati terinjak orang berjalan melintasinya? Mengapa ya.” pikirnya dalam batin.
###
Bersambung ke : Tentang Abah dan Pertanyaannya (2)
[…] Baca juga: Tentang Abah dan Pertanyaannya […]
[…] Baca Juga : Tentang Abah dan Pertanyaannya […]
[…] Baca Juga : Tentang Abah dan Pertanyaannya (1) […]
[…] Dini Rahmat Aziz – Rabu, 12 Mei 2021 1 Share Facebook Twitter WhatsApp Email […]