Review Buku Membaca Islam Nusantara

Review buku membaca Islam Nusantara

Membaca buku Membaca Islam Nusantara

Akhir tahun 2018 kemarin, berkumpul para penulis di pendopo Wakil Bupati Banyumas dengan tajuk peluncuran buku antologi penulis Banyumas. Dalam salah satu sesi materi, pembicara mengungkapkan fakta bahwa sangat sulit menemukan karya para penulis Banyumas yang terpublikasikan.

Tapi lima tahun ke belakang situasinya menjadi agak berbeda, karena meledaknya publikasi penulis Banyumas dalam bentuk buku. Mudahnya menerbitkan dan mencetak buku dimanfaatkan secara maksimal oleh para penulis tersebut.

Tidak perlu penerbit besar untuk bisa terbit. Puluhan buku sudah diterbitkan oleh komunitas menulis, baik secara indie atau reguler. Hanya saja hampir seluruh buku tersebut merupakan buku sastra, sangat sedikit  yang menulis dan menerbitkan buku non fiksi. Maka ketika pertama kali disodori buku ‘Membaca Islam Nusantara’ yang ditulis teman-teman PMII Komisariat Walisongo Purwokerto, harapan munculnya penulis baru dengan genre yang berbeda menjadi bertambah besar.

Paling tidak ada beberapa alasan, yang pertama, buku ini ditulis secara bersama-sama oleh aktivis mahasiswa yang masih bisa diharapkan perkembangan pemikiran dan produktifitas menulisnya, tidak hanya tenggelam dalam hiruk pikuk politik praktis semata. Kedua, pilihan jenis tulisan non fiksi dan tema yang diusung menjadi keunggulan tersendiri. Walaupun dalam beberapa hal menuntut tanggung jawab yang lebih dibandingkan tulisan fiksi. Tapi sebagai sebuah usaha serius, buku ini layak diapresiasi dengan segala kritik dan perdebatannya.

Apa yang kita baca?

Membawa wacana besar ke dalam ruang diskusi yang lebih sempit tentu perlu kecermatan tersendiri. Supaya tidak terjadi pengulangan-pengulangan yang tidak perlu dan tumpang tindih, apalagi wacana sekelas Islam Nusantara tentu sudah banyak sekali pembahasan, diskusi, dan seminar tentangnya.  Jadi kalau kemudian kita yang di daerah mau membaca Islam Nusantara, apa yang akan kita baca?

Buku setebal 138 halaman ini agaknya tidak menganggap penting pertanyaan di atas. Dari sepuluh tulisan, hampir semuanya hanya mengulang tulisan tulisan tentang Islam nusantara yang sudah ada. Niat untuk menjelaskan Islam Nusantara tidak diikuti oleh penguasaan literatur yang memadai, sehingga yang terjadi hanya pengulangan ide. Tidak ada upaya eksploratif untuk menarik wacana Islam Nusantara ke dalam ruang lokal misalnya.

Literatur yang sedikit mungkin menjadi alasan kenapa tidak ada ide baru yang dikembangkan. Hampir semua tulisan hanya merujuk kepada Atlas Walisongo, kemudian kepada buku Azyumardi Azra, Ahmad Baso, dan satu dua penulis lain. Bisa dipastikan tulisan yang dihasilkan tidak ada yang baru. Tidak ada upaya membenturkan Islam Nusantara ke dalam realitas Banyumas, atau minimal dengan kondisi kampus almamaternya.

Dalam tulisan ‘Tasawuf dan modernitas’ misalnya, penulis menuturkan peran tasawuf dalam pembentukan tradisi keagamaan yang nantinya disebut Islam Nusantara. Frame pandangan dalam tulisan tersebut menganggap Walisongo sebagai idola. Penulis mencontohkan kebijaksanaan-kebijaksanaan walisongo dalam menghadapi permasalahan yang kemudian menjadi Local Genius. Hanya saja, contoh dan tindakan tersebut adalah produk masa lalu, lalu bagaimana dengan sekarang?

Bagaimana kekayaan masa lalu tersebut dapat dioperasionalkan di masa sekarang, yang tentu berbeda sekali dengan kondisi masa lalu. Dulu tidak ada media sosial, sekarang siapa saja bisa berkomentar terhadap suatu permasalahan. Pakar dan awam hampir tidak bisa dibedakan, artinya dalam media sosial orang-orang tidak lagi membutuhkan otoritas untuk menanggapi suatu hal. Maka perbincangan di daerah yang menarik tentang Islam Nusantara, bagi saya adalah bukan bicara narasi besar. Tapi bicara narasi-narasi kecil dengan segala tarik-menarik kekuasaan yang melingkupinya.

Saya malah sedikit mengharapkan buku ini berbicara peta gerakan mahasiswa terkini pasca dibubarkannya HTI. Apakah nalar radikal dan formalisme sudah benar-benar hilang dari perbicangan di kampus atau justru bertransformasi menjadi hal yang lain? Walaupun akhirnya harapan saya cuma sekedar angan-angan. Tabik.

Tulisan berikutnyaTentang Abah dan Pertanyaannya (1)

2 KOMENTAR

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini