Ulil Abshar Abdalla, seorang cendekiawan NU, kini rutin mengadakan ngaji online lewat Facebook tentang kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Misykatul Anwar. Keduanya adalah kitab karangan Imam Al-Ghazali.
Dalam sesi ngaji online kitab Misykatul Anwar malam tadi, Gus Ulil membacakan halaman 85 yang berisi penjelasan Al-Ghazali tentang sebuah ayat yang menunjukkan puncak pengalaman tauhid nabi Ibrahim.
Ayat tersebut termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 79, yang merupakan doa nabi Ibrahim :
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ
“Sesungguhnya aku menghadapkan diri kepada yang menciptakan langit dan bumi, dengan mencondongkan diri kepada agama yang benar dan aku bukanlah orang yang mempersekutukan Tuhan”
Doa ini diucapkan nabi Ibrahim setelah melakukan perjalanan spritual mencari Tuhan. Pada mulanya beliau melihat bintang, bulan, dan matahari yang dianggapnya sebagai Tuhan.
Namun karena semua itu bersifat sementara dan mudah berlalu, nabi Ibrahim menyimpulkan bahwa mereka semua bukanlah Tuhan. Karena Tuhan yang sejati adalah yang abadi dan tidak pernah berlalu.
Al-Ghazali kemudian menjelaskan tentang makna kata “لِلَّذِي” Alladzi. Makna harfiah Alladzi adalah “Yang”, nabi Ibrahim menggunakan kata Alladzi untuk merujuk pada Tuhan.
Mengapa nabi Ibrahim menggunakan kata Alladzi untuk menyebut Tuhan? Menurut Al-Ghazali, hal tersebut menunjukkan pengetahuan spiritual paling tinggi bahwa Tuhan tidak bisa dinisbatkan atau dimisalkan dengan suatu apapun yang ada di alam semesta.
Tuhan merupakan Al-Haqqu Al-Awwal, sebab pertama atas keberadaan alam semesta. Tuhan adalah Dzat yang terbebas dari kaitan dan hubungan dengan apapun, Dzat yang paling rahasia dan misterius.
Baca Juga : Kapan Hari Raya Idul Adha 2021? Ini Ikhbar PBNU
Bahwa apapun yang ada di alam semesta, tidak cukup dan tidak mampu untuk menjadi permisalan bagi Tuhan. Al-Ghazali melanjutkan penjelasannya dengan sebuah kisah yang menjadi sebab turunnya surat Al-Ikhlas.
Suatu hari ada seorang Arab Badui bertanya kepada Nabi Muhammad SAW “Ya Rasulullah, saya ini orang badui yang bodoh dan awam. Apakah Tuhan bisa dilambangkan dengan sesuatu di dunia ini?”
Kemudian Allah menurunkan surat Al-Ikhlas “Katakanlah Muhammad, Dialah Allah Yang Esa. Tuhan adalah tempat untuk kembali. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang bisa dibandingkan dengan Dia.”
Surat Al-Ikhlas merupakan surat yang memberikan analogi atau penggambaran mengenai Allah SWT kepada orang awam. Meski terkesan bahwa surat tersebut tidak menjawab pertanyaan dari Arab Badui tersebut.
Namun itu adalah penggambaran yang paling mungkin bisa disampaikan. Bahwa Allah SWT tidak mempunyai perlambang apapun di alam semesta ini.
Al-Ghazali menyimpulkan bahwa menyucikan dan membebaskan Allah SWT dari perlambang, itulah perlambang sejati Allah SWT. Allah SWT itu tidak bisa diperlambangkan, tidak bisa dicari analoginya, tidak bisa dicari metafornya, maka itu adalah metafor dari Allah SWT.