Asyik Dengan HP di Satu Majlis

Etika di majlis adalah sesuatu yang sudah langka sekarang ini

SEORANG Kyai zuhud di daerah saya, enggan untuk memakai fasilitas mewah. Termasuk handphone: ia lebih memilih memakai hp jadul (cliring). Suatu ketika saya berkesempatan menemani teman sowan ke kediamannya menyampaikan hajat. Beliau tiba tiba mengatakan,

“Sudah banyak yang menawari saya hp bagus. Saya tolak.” Sambil sesekali melirik saya yang asyik berselancar dengan hp.

Segera saya letakkan hp yang masih menyala.

“Saya cuma ingin meneladani Nabi.” Lanjutnya.

Meneladani dalam hal apa? Dalam hal tidak hp-an dg Android? Tentu saja tidak. Dan Nabi jg tidak memakai hp cliring. Dugaan saya, dalam hal memperhatikan lawan bicara dan menumbuhkan rasa diperhatikan dalam satu pembicaraan.

Nabi Muhammad SAW memang pernah melemparkan cincin hanya karena cincin tersebut mengalihkan konsentrasi beliau saat bersama para shahabatnya. Ibnu Abbas mengatakan,

إنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا فَلَبِسَهُ قَالَ : شَغَلَنِي هَذَا عَنْكُمْ مُنْذُ الْيَوْمَ إِلَيْهِ نَظْرَةٌ وَإِلَيْكُمْ نَظْرَةٌ ثُمَّ أَلْقَاهُ

Rasulullah SAW mempunyai cincin dan memakainya. Lantas beliau bersabda, “Cincin ini telah menyibukkanku dari (fokus) pada kalian sejak hari ini. Terkadang aku memandangnya dan terkadang aku melihat kalian”. Kemudian beliau melempar cincin tersebut.

Bahkan Ibnu Abbas mencontohkan keteladanan sikap darinya jika dalam satu majlis. Beliau mengatakan,

لجليسي عليَّ ثلاثٌ : أن أَرميه بطَرفي إذا أقبل و أن أُوِّسعَ له في الَمجلس إذا جلس , و أن أصغي إليه إذا تحدث

“Teman dudukku berhak mendapat tiga hal dariku: pertama, aku arahkan pandanganku padanya jika menghadap. Kedua, aku beri tempat nyaman untuknya jika ia akan duduk. Ketiga, aku dengarkan dengan seksama jika ia berbicara.”

Baca Juga : Tafsir Surat Al ikhlas Menurut Al Ghazali

Memang hal itu adalah etika yang hilang sekarang. Bahkan kita terkadang perlu pura pura tidak tahu agar orang merasa dihargai. Seperti dalam dawuh Atha’ bin Abi Rabbah berikut,

إن الرجل ليحدِّثني بالحديث فأنصت له كأني لم أسمعه وقد سمعته قبل أن يولد

“Seorang laki laki berbicara padaku perihal suatu hal, dan aku diam sembari mendengarnya, seolah-olah aku tidak pernah mendengar hal yang ia katakan. Padahal, sungguh, aku pernah mendengar yang ia katakan itu sebelum ia dilahirkan.”

Kyai-Kyai yang kita sowani itu sesungguhnya pura pura tidak tahu saja ketika kita menceritakan sebuah hal dg berapi api. Tak jarang, seorang Kyai tauladan itu akan memunculkan perasaan pada masing masing santrinya, bahwa mereka itulah yang paling dekat dengan kyai tersebut.

Saya pernah mengabarkan pada Kyai tersebut, bahwa si Fulan telah meninggal. Beliau mengatakan,

Innalillahi wa Innailaihi Raji’un, kapan gerah nopo?” Dan cecaran pertanyaan pertanyaan yang lazimnya ditanyakan saat ada kabar lelayu.

Belakangan saya tahu, ternyata ia telah lebih dulu dikabari putranya beberapa menit setelah ayahnya meninggal, krn diminta untuk memberangkatkan jenazahnya.

Hadidul Fahmi, Lc.

Tulisan sebelumnyaTafsir Surat Al-Ikhlas Menurut Al-Ghazali
Tulisan berikutnyaSaat Jalur Prestasi, Zonasi, dan Afirmasi Telah Gagal

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini