Relasi Kekerabatan Antar Pesantren

Relasi Kekerabatan Antar Pesantren

Pembentukan jaringan sosial relasi kekerabatan antar pesantren memang sangat unik, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak.

Melalui pembentukan jaringan tersebut para kyai telah berperan secara maksimal di masyakarat.

Pembentukan jaringan sosial tersebut dlakukan dengan pola hubungan emosional yang kuat dan dekat, yakni melalui jalur pendidikan, perkawinan, dan struktural maupun kultural.

Dalam konteks relasi sosial, pesantren salaf biasanya selalu memiliki derajat hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi.

Hubungan sosial tersebut biasanya akan segera diikuti oleh munculnya mitos-mitos baik yang berkaitan dengan kiai.

Terlepas dari adanya mitos-mitos yang muncul di sekitar kiai-kiai salaf, pembentukan jaringan sosial pesantren sebenarnya dilakukan secara canggih.

Memang terkesan tidak terencana, tetapi sebenarnya merupakan pengejawantahan dari hasil pembacaan kiai terhadap kultur masyarakat (qira’atul ummah) di mana para kyai berada.

Secara garis besar, ada tiga alur pembentukan jaringan sosial, yaitu: transmisi keilmuan, perkawinan, dan struktural.

Baca Juga : Haji, Perenungan Dan Perjuangan Melawan Nasib Yang Malang

Transmisi keilmuan merupakan pintu masuk utama pembentukan jaringan sosial pesantren.

Transmisi keilmuan di pesantren tidak hanya yang terkait dengan ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu mistis.

Sebagaimana telah banyak diungkap oleh para peneliti bahwa kiai pesantren salaf tidak hanya menjadi tempat belajar hal-hal yang terkait dengan ilmu agama, tetapi juga olah kanuragan dan ilmu mistis (ngelmu jero).

Untuk lebih memperkuat jaringan sosial itu, pola transmisi keilmuan yang dilakukan oleh para kyai Pesantren dikenalkan istilah ijazah dan kualat.

Adanya konsep ijazah dan kualat merupakan salah satu bentuk menjaga kepatuhan masyarakat terhadap kiai (pesantren).

Ijazah adalah pernyataan restu dari seorang guru (kiai) kepada muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain.

Pemberian ijazah ini merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu yang dipelajarinya.

Selain sebagai bentuk pengakuan, ijazah juga merupakan ijin dari seorang guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmunya baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu yang bersifat magis.

Tanpa ijazah dari sang guru, ilmu-ilmu magis itu tidak akan “manjur.” Sedangkan, kualat merupakan imbalan atas kesalahan yang dilakukan.

Seorang murid akan kualat apabila dia dianggap membangkang perintah kiainya.

Bagi yang taat, akan mendapatkan ilmu yang barokah, yaitu ilmu yang memberikan manfaat tidak saja kepada si murid, tetapi juga bagi masyarakatnya.

Jaringan keilmuan juga dibentuk dengan mengirimkan putra-putra kiai kepada para kiai yang mempunyai keahlian khusus.

Selain transmisi keilmuan, perkawinan juga merupakan media yang digunakan pesantren untuk membangun jaringan.

Para kiai pesantren biasanya akan mengawinkan putra-putrinya dengan keturunan kiai juga.

Selain perkawinan dengan sesama anak kiai, pernikahan juga dimungkinkan terjadi dengan santri yang mempunyai keunggulan akademik atau dengan orang yang mempunyai status sosial tinggi di masyarakat.

Baik karena kekayaan, pendidikan, ataupun kekuatan politiknya.

Konon, struktural Jaringan sosial yang dibangun berlandaskan transmisi keilmuan dan perkawinan ternyata juga berimbas pada kemudahan dalam membangun jaringan sosial pesantren dalam ranah struktural.

Kuatnya pengaruh pesantren terhadap masyarakat sekitarnya merupakan modal besar bagi pesantren untuk membangun jaringan struktural, baik dalam ranah kultural maupun birokrasi.

Dalam konteks kepedulian atau ketidakpedulian terhadap relasi sosial atau kekerabatan antar pesantren salaf menurut C. Scott (1972) dalam “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”, dapat dilihat pada tiga kategori.

Yaitu batas kesadaran kekerabatan (kinship awareness), batas pergaulan kekerabatan (kinship affiliations), dan batas hubungan-hubungan kekerabatan (kinship relations).

Batas kesadaran kekerabatan (kingship awareness) adalah kesadaran seseorang untuk mengenal para kerabatnya. Batas pergaulan kekerabatan (kinship affiliations) adalah sejauh mana dia mengenal dan mau bergaul dengan kerabatnya.

Batas hubungan kekerabatan (kingship relations) ditentukan oleh proses seleksi dalam menganggap yang mana kerabat yang pantas diakuinya atau diperlakukan sebagai kerabat dan mana yang tidak.

Tiga kategori relasi sosial atau kekerabatan inilah yang mewarna dunia pesantren di Indonesia dari masa ke masa. #Manusia Hening#

Dudy Imanuddin Effendi
Dosen FDK UIN SGD Bandung dan Wakil Ketua Lakpesdam Jawa Barat

Tulisan sebelumnyaDi Mana Hotel Jemaah Haji Embarkasi SOC 2023 Di Makkah? Ini Daftarnya
Tulisan berikutnyaKOMPETISI

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini