Moderasi Beragama 2.0, Mewujudkan Perilaku Sosial, Ekonomi, Politik Yang Moderat

moderasi beragama
moderasi beragama

Diskursus utama moderasi beragama dalam beberapa tahun ini berkutat pada perbincangan mengenai pemahaman keagamaan (Fahri & Zainuri, 2022), komitmen kebangsaan (Darung & Yuda, 2021), dan kerukunan sosial (Rochman et al., 2023).

Tema perbincangan tersebut merupakan turunan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 Kementerian Agama Republik Indonesia (Faisal et al., 2022).

RPJMN 2020-2024 menyebutkan bahwa program moderasi beragama fokus pada mengukuhkan toleransi, kerukunan, dan harmoni sosial.

Selama persinggungan penulis pada aktifitas antar umat beragama sejak tahun 2010, tiga diskursus tersebut sudah menjadi tema perbincangan diantara tokoh dan masyarakat beragama.

Secara rutin, Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) di kabupaten Banyumas menggelar pertemuan dengan para tokoh dan masyarakat untuk mengkampanyekan tiga diskursus tersebut.

Tak jarang pula FKUB Banyumas menyapa kelompok – kelompok marjinal agama seperti kelompok Ahmadiyah, Syi’ah, Gereja Saksi Yehova, dan komunitas kepercayaan lokal. Hal tersebut dilakukan dengan semangat membangun kehidupan masyarakat yang toleran dan rukun.

Sudah lebih dari satu dekade, diskursus moderasi beragama masih berkutat pada hal yang sama.

Meski bagi sebagian orang merupakan sebuah hal yang baru, namun sejatinya diskursus toleransi, kerukunan, dan harmoni sosial sudah lebih dulu diupayakan oleh kelompok masyarakat sipil sebelum diafirmasi oleh lembaga negara (Agna, 2012).

Agar tidak disebut stagnan, perlu adanya perumusan tahapan selanjutnya dalam sikap moderasi beragama.

Jika tidak, maka tema-tema serupa akan selalu mengalami repetisi.

Tahap lanjutan dari sikap moderasi beragama tentu harus berakar dari diskursus utama yang sudah banyak dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat beragama.

Tahapan ini bisa menjadi satu praksis bersama untuk menuju kehidupan yang lebih maslahat.

Baca juga: Fiqh Lingkungan Hidup

Sebuah praksis yang didasari oleh nilai toleransi, harmoni, dan kerukunan.

Sebuah tahapan yang lebih holistik dan komprehensif untuk mendukung cita-cita Indonesia Emas 2045.

Diharapkan bahwa cita-cita besar tersebut tidak hanya berdampak bagi kelompok elit politik atau masyarakat berpengetahuan saja, namun juga melibatkan kelompok terpinggirkan dan rentan.

Nilai Agama Sebagai Kompas Moral Kehidupan Moderat

Moderat tidak hanya sekedar dipahami sebagai cara pandang dalam memahami teks agama, namun juga bisa dimaknai lebih luas sebagai upaya mencari titik keseimbangan dalam menghasilkan harmoni sosial dan hidup yang seimbang (Rozi, 2019).

Harmoni sosial kerap dimaknai sebagai situasi penuh tenggang rasa, saling menghormati, dan minim konflik.

Tenggang rasa seperti apa yang diharapkan jika masyarakat kelas bawah kerap disapa oleh gaya hidup mewah dan berkelimpahan dari orang-orang kaya disekitarnya.

Bagaimana mungkin seorang yang kesusahan hidupnya diminta untuk menghormati para pejabat yang suka korupsi uang rakyat.

Pertentangan situasi antar kelas dalam masyarakat akan sangat rentan menimbulkan konflik.

Sehingga, penyuluhan dan sarasehan yang menganjurkan toleransi saja tidak cukup.
Semangat moderasi beragama harus disertai dengan semangat menjalani hidup yang moderat.

Jika moderat dimaknai sebagai titik keseimbangan, tidak berlebihan atau ekstrim. Maka keseimbangan beragama harus menjelma dalam hidup yang seimbang dan tidak berlebihan.

Hidup seimbang adalah hidup yang cukup tanpa hasrat untuk menumpuk harta berlebih, makan berlebih, apalagi menjalani hidup penuh hura-hura.

Hidup seimbang adalah sikap untuk mengambil sesuatu sesuai dengan kebutuhan dirinya, dan membagi sesuatu untuk manusia lain.

Moderat juga bisa dimaknai sebagai adil (Nurdin, 2021), maka seseorang yang sudah mengalami internalisasi nilai moderasi beragama seharusnya mampu bersikap dengan adil.

Hidup adil bisa dipraktekkan dengan perilaku tidak merusak alam dan tidak merugikan orang lain dalam hal ekonomi, hukum, atau politik.

Adil adalah jika seorang pengusaha melakukan pencemaran lingkungan maka dia akan segera bergegas melakukan langkah penanganan atau restorasi lingkungan.

Perilaku adil adalah jika seorang pejabat memenuhi janji dan mengabdi sepenuh hati untuk kemaslahatan masyarakat.

Baca juga: Kuasa Tidak Pernah Puasa

Hidup yang adil adalah jika seorang pengusaha mau berbagi konsumen dan tidak melakukan monopoli pasar.

Hal – hal semacam ini yang perlu dikedepankan dalam pembicaraan moderasi beragama selanjutnya.

Bisa dianggap sebagai peningkatan atau “upgrade” menuju moderasi beragama 2.0.

Ini adalah tahapan selanjutnya dari gagasan hidup toleran, tenggang rasa dan saling menghormati.

Sebuah tahapan yang mendorong terciptanya kehidupan yang adil, seimbang, dan sejahtera.

Moderasi beragama 2.0 juga perlu mendorong pemerataan akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan sebagai kebutuhan dasar agar setiap individu bisa melakukan praktek agama dengan baik.

Satu ungkapan dari Gus Dur yang terinspirasi dari Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela sangat layak menutup tulisan ini sebagai pengingat kita akan sosok guru bangsa, bapak toleransi Indonesia.

“Peace Without Justice is only an Illusion”, perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi belaka.

Diharapkan bahwa diskursus moderasi beragama tidak hanya berhenti pada anjuran untuk hidup saling toleransi dan menghormati.

Agama harus kembali menjadi dasar nilai individu untuk berperilaku baik dalam lingkup sosial, ekonomi, hukum, budaya, maupun politik.

Karena tanpa kemauan untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi, maka yang bisa disaksikan hanya kelompok miskin dan rentan mentolerir sekelompok pemilik modal yang serakah.

Tulisan sebelumnyaKoperasi Tunas Ma’arif Serahkan Hibah Dua Motor ke PCNU Banyumas
Tulisan berikutnyaYang Dimiliki dan Yang Dinikmati

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini