Kuasa Tidak Pernah Puasa

puasa

Pertama, kami sampaikan selamat menunaikan ibadah puasa kepada segenap pembaca nubanyumas.com. Dengan perjumpaan yang sudah terlampau sering dengan bulan Ramadhan, selayaknya kita tidak hanya terjebak pada aktifitas menahan rasa lapar dan haus. Karena menurut Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, menahan untuk tidak makan, minum dan berhubungan badan adalah kualitas puasa bagi kebanyakan dari kita yaitu orang awam.

Memang kita semua masih pada taraf awam dalam beragama, sholat wajib dan puasa Ramadhan kita tunaikan masih dalam rangka menggugurkan kewajiban. Aneka doa kita panjatkan dalam rangka memenuhi nafsu keinginan kita sembari berharap dengan setengah memaksa agar Allah mengabulkannya. Kemudian sebagian dari kita merasa sudah lebih baik dari mereka yang tidak melaksanakan perintah agama sembari mengutuk bahwa mereka menanggung dosa besar.

Pengetahuan tentang dosa besar dipahami oleh mayoritas umat muslim atas aktifitas yang secara terang-terangan melanggar perintah Allah. Mereka yang tidak pernah melakukan rukun Islam, mereka yang mencuri, membunuh atau melakukan praktik perzinaan. Hal-hal normatif semacam ini masih mendominasi isi kajian di panggung pengajian, masjid, dan pesantren. Sedangkan belum banyak ruang—ruang keagamaan yang bicara mengenai perampasan hak hidup masyarakat, ketimpangan ekonomi, kesetaraan gender dan pemerintahan yang koruptif. Bahkan dalam lingkungan pendidikan berbasis keislaman seperti kampus dan pesantren mahasiswa, kecil sekali ruang untuk diskursus semacam itu.

Entah mengapa ruang kajian keagamaan masih fokus pada penekanan ibadah mahdhoh sebagai sarana untuk mencari pahala. Namun ruang ibadah ghoiru mahdhoh yang bersifat muamalah nampak masih terabaikan. Sehingga tidak jarang kita temui seseorang yang (nampaknya) rajin melakukan ibadah sholat lima waktu, namun di sisi lain melakukan tindakan menyimpang seperti penyelewengan anggaran lembaga. Hanya karena dia mempunyai pekerjaan yang secara yuridis adalah baik, misalnya menteri, banyak orang bisa permisif dengan tindak penyelewengan anggaran. Apalagi ditambah dengan tampilan yang sholeh dan disinyalir berasal dari keluarga islami.

Namun pada sisi lain, banyak masyarakat yang masih saja mencibir seorang pekerja seks komersial (PSK) yang mencoba untuk tetap melakukan sholat dan puasa di tengah menjalani pekerjaan yang secara norma adalah buruk. Melihat penggalan video seorang ustadz di Yogyakarta yang mengajak sholawatan para PSK saja, banyak kelompok masyarakat islam yang menuduh bahwa itu tindakan yang sia-sia. Lihatlah betapa seringnya manusia bersikap tidak adil sejak dalam pikiran, mengutip kata Pramoedya Ananta Toer.

Merasa lebih baik dari orang lain dan tindakan penghakiman adalah sebuah kuasa dalam kepemilikan pengetahuan. Masyarakat beragama acapkali merasa lebih berpengetahuan dan menjadi wakil Tuhan dalam menentukan siapa yang berdosa dan yang tidak. Dalam hal ini, nafsu atau keinginan untuk (merasa) menjadi orang baik kemudian diekspresikan dengan menjelekkan orang atau kelompok lain. Padahal, mungkin saja beberapa dari wanita itu menjalani pekerjaan yang dianggap nista dengan terpaksa karena merupakan korban penggusuran oleh pemerintah atas nama pembangunan nasional.

Baca Juga : Download Jadwal Imsak Ramadhan 2022 Banyumas

Pengetahuan memang melahirkan kekuasaan, kuasa untuk menentukan apa yang diajarkan kepada masyarakat. Jika pemuka agama yang memiliki kuasa pengetahuan agama hanya mengajarkan tentang kaidah hukum islam, maka masyarakat hanya akan fokus pada tata cara peribadatan. Namun jika pemuka agama juga mengajarkan perlunya pemerataan ekonomi demi kualitas hidup umat, mungkin sebagian perempuan yang menjadi PSK akibat desakan ekonomi bisa diminimalisir.

Tentu ini akan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Karena acapkali ditemui pemuka agama yang bukannya mengarahkan pejabat publik atau pengusaha untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, namun malah menyokong praktik kebijakan atau industry yang melanggengkan ketimpangan ekonomi. Misalnya dengan mendukung pembangunan pabrik semen atas nama pembukaan lapangan kerja tanpa kesadaran bahwa itu akan mengurangi debit air bagi petani.

Meski itu hanyalah sebuah permisalan, praktik semacam itu lazim terjadi sejak masa dinasti Umayyah hingga sekarang. Keterangan lengkapnya bisa didapatkan dalam buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan yang ditulis Ahmet T. Kuru seorang guru besar ilmu politik Islam kelahiran Turki. Kuru mengatakan bahwa pemuka agama yang memiliki kuasa pengetahuan kemudian menjalin permufakatan jahat dengan politisi yang memiliki kuasa jabatan akan membawa masyarakat dan negara kepada jurang kehancuran.

Kuasa memang tidak pernah puasa. Entah itu kuasa dalam bentuk pengetahuan, jabatan, dan tentu saja modal. Kuasa dalam bentuk jabatan memang menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi mereka yang sedang menikmatinya. Privilege berupa harta, kehormatan atau kewenangan untuk menentukan aturan adalah kemewahan bagi seorang yang sedang memiliki jabatan, entah itu jabatan akademik maupun politik. Maka tidak heran jika beberapa bulan ini publik ramai diguncang usulan penundaan pemilu 2024 atau amandemen masa jabatan presiden menjadi 3 periode. Keduanya tak lain bermuara pada satu hal, bahwa mereka yang hari ini memegang tampuk kekuasaan bisa berkuasa lebih lama. Karena, kuasa itu candu!.

Begitu juga dengan modal, modal yang kini cenderung berupa kapital atau uang akan berguna untuk mendapatkan kuasa yang lebih besar. Pengusaha dengan modal besar bisa mengatur kesediaan dan harga minyak goreng di pasaran. Pengusaha juga mempunyai kuasa mendekati pejabat publik untuk membuat aturan yang memudahkan usahanya. Bahkan juga bisa mendekati pemuka agama agar menenangkan massa yang mungkin akan melakukan protes terhadap usaha yang akan dia jalankan.

Kuasa, sesungguhnya tidak pernah puasa. Bahkan ketika si empunya kuasa sedang menahan makan dan minum dari Subuh hingga Maghrib. Hasrat kuasa masih akan selalu menggerakkan sumber daya yang dipunya entah berupa pengetahuan, jabatan maupun modal untuk menguasai orang lain. Menahan nafsu untuk berkuasa atau menguasai orang lain adalah hal yang sering dilupakan dari tujuan berpuasa.

Baca Juga : Ini Jadwal Imsak Ramadhan 2022 Banyumas

Padahal, ketidakmampuan menahan hasrat kuasa akan membawa dampak negatif bagi orang lain entah berupa represi, diskriminasi, atau pembohongan publik. Eksploitasi hutan menjadi tambang atau ladang sawit, menghadirkan polisi untuk memberi ketakutan pada warga di desa Wadas, atau keinginan untuk menunda pemilu adalah perilaku yang muncul untuk memuaskan hasrat kuasa. Mengutip Michel Foucault, Sosiolog asal Perancis, Power is everywhere, because it comes from everywhere. Kekuasaan ada dimana saja karena dia berasal darimana saja. Bisa dari pengetahuan, jabatan, dan modal. Mungkin saja, tulisan ini juga bagian dari hasrat kuasa.

Alfian Ihsan, mahasiswa pascasarjana sosiologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Tulisan sebelumnya‘Ngaji Kesehatan’ bersama Dokter Agus Ujianto
Tulisan berikutnyaRamadhan Tiba, IPNU IPPNU Tambak Ikuti Ngaji Kilatan

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini