Mewahnya Nikmat Hidup di Dunia Sebagai Manusia Beriman

Mewahnya Nikmat Hidup di Dunia Sebagai Manusia Beriman
Mewahnya Nikmat Hidup di Dunia Sebagai Manusia Beriman

Andaikan (ruh) kita ditawari oleh Tuhan sebelum kita diwujudkan/dilahirkan ke dunia; pilih mana, wujud di dunia sebagai benda mati atau terlahir di dunia sebagai makhluk hidup?

Tentu kita akan memilih terlahir di dunia sebagai makhluk hidup.

Bagaimana pun adanya, sebagai makhluk hidup tentu lebih seru di banding benda mati.

Dikehendaki oleh Tuhan menjadi wujud (ada) saja sebenarnya sudah merupakan nikmat besar, apalagi ditambah lagi dengan juga ditakdir sebagai makhluk hidup.

Tentu, wujud (ada) dan sekaligus hidup di dunia ini sungguh merupakan kemewahan luar biasa.

Bagaimana tidak, dengan hidup, kita bisa merasakan nikmatnya ni’mat tumbuh, ni’mat berkembang, dan bahkan juga ni’matnya mati.

Tanpa ni’mat hidup sekalipun diberi ni’mat wujud (ada), pasti kita tidak akan bisa merasakan nikmatnya ni’mat-ni’mat itu semua.

Lalu, seandainya (ruh) kita ditawari lagi oleh Tuhan; pilih mana, terlahir di dunia sebagai makhluk hidup; menjadi tumbuhan ataukah binatang Tentu dengan segera kita akan menjawab, pilih menjadi binatang.

Bagaimana pun juga -sekalipun sama-sama hidup- menjadi binatang pasti lah lebih asyik dibanding dengan menjadi tumbuhan.

Menjadi binatang akses/fasilitas menikmati kenikmatan hidup lebih besar; tidak sekedar bisa tumbuh dan berkembang, tetapi juga bisa bergerak, bisa bersuara, bahkan bisa juga mengekspresikan emosi.

Dengan kata lain, jika menjadi tumbuhan, akses/fasilitas menikmati ni’matnya hidup barangkali masih terbatas ni’mat mulut/perut (asupan makanan dan air untuk pertumbuhan).

Akan tetapi jika menjadi binatang, maka akses/fasilitas menikmati ni’matnya hidup bertambah lebih banyak, yaitu ni’mat mulut/perut dan juga ni’mat bawah perut (seks).

Lalu, seandainya (ruh) kita masih ditawari lagi oleh Tuhan; pilih mana, terlahir di dunia sebagai makhluk hidup yang bisa bergerak, berjalan, dan bersuara; menjadi binatang ataukah manusia? Tentu dengan yakin kita akan menjawab, pilih jadi manusia.

Bagaimana pun juga -sekalipun sama-sama bisa bergerak, berjalan, dan bersuara- menjadi makhluk hidup yang bisa bernalar, berpengetahuan, berbudaya, dan berkeadaban tentu jauh lebih mulia dibanding dengan makhluk hidup yang hanya bisa bergerak, berjalan, dan bersuara tetapi tidak bisa bernalar, berpengetahuan, berbudaya, dan berkeadaban.

Menjadi manusia, sungguh akses/fasilitas menikmati ni’matnya hidup sangat lengkap sekali; ia diberikan ni’mat tumbuh dan berkembang (ni’mat mulut/perut), seperti halnya ni’mat yang ada pada tumbuhan; ia dikarunia ni’mat berketurunan (ni’mat seks), sebagaimana yang ada pada binatang.

Baca juga: Yang Dimiliki dan Yang Dinikmati

Lebih dari itu, ia juga dianugerahi ni’mat akal dan hati nurani, yang dengan keduanya manusia bisa bernalar, berpengetahuan, berbudaya, dan berkeadaban. Menjadi manusia sungguh sebaik-baik penciptaan-Nya.

Terakhir, andaikan Tuhan masih bermurah lagi menawari (ruh) kita; pilih mana, menjadi manusia kafir ataukah manusia mu’min? Tentu kita semua dengan semangat dan mantap akan menjawab, pilih menjadi manusia mu’min.

Nikmat Manusia Beriman

Bagaimana pun nikmatnya menjadi manusia -makhluk sebaik-baik makhluk- kalau seumur hidup tidak memiliki iman, tentu tidak lah berharga dan bernilai di sisi-Nya.

Sesungguhnya keberhargaan dan kebernilain manusia hanyalah jika ia meyakini dalam hati bahwa tidak ada tuhan kecuali Dia (Allah). Hidup bukan untuk hidup, hidup juga bukan sekedar untuk menikmati ni’matnya hidup, tetapi ni’mat hidup yang sejati adalah hidup yang mengenal-Nya dan bersujud kepada-Nya.

Baca juga: Menikmati Ujian Hidup

Alhamdulillah, apa pun dan bagaimana pun keadaan kita sekarang, sampai saat ini kita masih dikehendaki-Nya menjadi manusia mu’min, yang itu berarti kita ditakdir sebagai makhluk-Nya yang dikaruniai kenikmatan di atas kenikmatan, bahkan puncak kenikmatan itu sendiri.

Karena tidak ada lagi kenikmatan hidup yang melebihi kenikmatan iman. So, menjadi manusia mu’min sungguh anugerah yang tiada terkira dan sungguh ini kemewahan yang luar biasa. Allahumma Tsabbit Qalbi ‘ala Dinika!

Wallahu A’lam Bish Shawwab!

Penulis: Dr. Munawir, S.Th.I, M.Si., dosen Ilmu Tafsir Hadits UIN Saifuddin Zuhri dan pengurus LBM PCNU Banyumas 2023-2028

Tulisan sebelumnyaPendekatan BKKBN dan Muslimat Banyumas untuk Menurunkan Angka Stunting
Tulisan berikutnyaMoU! MA Ma’arif NU 1 Cilongok-FORSA Banyumas Perkuat Moderasi Beragama  

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini