Memudarnya Esensi Muktamar NU

Menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 tahun 2021, ramai di berbagai media dan bahkan dalam kepengurusan NU berbagai tingkatan yang membicarakan bursa calon Ketua Umum PBNU. Sebenarnya sangat tidak “etis” untuk dijadikan konsumsi umum, bahkan bisa dikatakan merupakan sebuah topik yang dapat mengaburkan esensi Muktamar NU itu sendiri.

Sejak diputuskan dan diumumkannya waktu serta tempat penyelenggaraan Muktamar NU ke-34 dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Alim Ulama (MUNAS-KONBES) Nahdlatul Ulama yang diadakan pada 25-26 September 2021 di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, maka ramailah perbincangan di berbagai media yang mengangkat tema terkait siapa yang akan menjadi Ketua Umum PBNU selanjutnya.

Muktamar NU memang merupakan permusyawaratan tertinggi yang ada dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, sesuai Anggaran Dasar (AD) Bab IX tentang Permusyawaratan Pasal 22 huruf (a). Namun perlu juga melihat pada Anggaran Rumah Tangga (ART) Bab XX tentang Permusyawaratan Tingkat Nasional angka (2) yang didalamnya mengandung tujuh huruf terkait apa saja yang dibahas dan ditetapkan/diputuskan dalam Muktamar NU.

Pembahasan mengenai penetapan/pemilihan Ketua Umum bukanlah hal utama yang menjadi pembahasan dalam Muktamar NU. Banyak hal selain hal tersebut yang seharusnya menjadi topik pemberitaan dan patut untuk diperbincangkan oleh khalayak umum khususnya warga NU, yang kesemuanya menyangkut kemaslahatan bangsa dan negara khususnya warga Nahdliyin.

Esensi Muktamar NU adalah membahas dan memutuskan program-program serta menetapkan hukum-hukum terkait kepentingan umat, khususnya internal Nahdlatul Ulama yang juga ditunggu oleh masyarakat umum.

Banyak hal yang telah dibahas dalam MUNAS-KONBES Alim Ulama Nahdlatul Ulama dan dapat diputuskan, namun banyak juga yang masih harus dilanjutkan pembahasannya serta diputuskan dalam Muktamar NU nantinya. Seperti halnya dalam Muktamar NU ke-34 mendatang, yang masih harus mentuntaskan pembahasan mengenai hukum penggunaan gelatin, hukum daging berbasis sel, pajak karbon dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) RUU larangan minuman beralkohol, hukum cryptocurrency, moderasi NU dalam politik, fikih tentang Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) serta telaah terkait UU No. 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama dan metode istinbath maqasid.

Pembahasan lanjutan terkait hal-hal tersebut dalam Muktamar NU merupakan hal penting yang seharusnya lebih diangkat ke permukaan daripada hanya terfokus pada pembahasan pemilihan Ketua Umum PBNU yang baru. Karena pembahasan dan keputusan terkait hukum dan muamalah yang dihasilkan oleh Muktamar NU dari masa ke masa, seringkali menjadi acuan bagi kelompok masyarakat di luar Nahdlatul Ulama.

Muktamar NU adalah perhelatan besar yang menghasilkan keputusan-keputusan besar bagi kebutuhan umat Islam di Indonesia, karena Nahdlatul Ulama adalah organisasi terbesar di Indonesia. Hasil Muktamar NU yang kemudian dibukukan dalam “Ahkamul Fuqaha” yang awalnya sangat sakral dan menjadi pedoman pun menjadi sangat “enteng” terlihat.

Dengan membiarkan terus menerus khalayak fokus membicarakan tentang pemilihan Ketua Umum, maka akan menghilangkan esensi Muktamar NU. Ke-“sakral” an Muktamar NU sebagai ajang pembahasan program-program menyangkut kemaslahatan umat menjadi hilang.

Baca Juga : Tema Muktamar Ke 34 NU : Menuju Satu Abad, Kemandirian dan Perdamaian Dunia

Menuju Satu Abad Nahdlatul Ulama : Membangun Kemandirian Warga untuk Perdamaian Dunia yang diangkat sebagai tema besar Muktamar NU ke-34 akan terlihat menjadi tema biasa-biasa saja jika ramai di berbagai media hanya fokus membicarakan bursa calon Ketua Umum PBNU.

Kembalikan “marwah” Muktamar NU pada porsi pentingnya. Pemilihan Ketua Umum hanyalah satu bagian selanjutnya yang berlangsung dalam Muktamar NU, dan bahkan baru akan ada setelah terpilihnya Rais Aam. Jika harus memfokuskan pada berita-berita terkait “pilih memilih”, maka seharusnya pemilihan/penentuan Rais Aam NU lah yang harus lebih diutamakan untuk “viral” diangkat ke permukaan. Karena Rais Aam Nahdlatul Ulama hanya dapat ditentukan oleh kesepakatan khusus yang berisi beberapa ulama pilihan dalam wadah bernama “Ahlul Halli wal Aqdi”.

Sukseskanlah Muktamar NU ke-34 tahun 2021 mendatang dengan tetap menjaga “marwah” Nahdlatul Ulama, yang tidak hanya disibukkan dengan proses pemilihan Ketua Umumnya saja. “Viral” kan agenda-agenda pembahasan penting menyangkut kebrlangsungan kehidupan umat yang menjadi agenda-agenda besar Muktamar NU ke-34 seperti disebutkan di atas.

Berikanlah pemahaman serta “penggambaran” positif pada masyarakat umum di luar NU bahwa Muktamar NU bukan ajang persaingan “siyasah” pemilihan Ketua Umum semata. Bahkan sebaliknya, para ulama serta tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama tidak perna “berebut” jadi Imam, mereka justru “berebut” jadi makmum. Mengutamakan para kesepuhan, baik dalam usia maupun ilmu untuk menjadi Imam.

Apapun yang nantinya menjadi keputusan Muktamar NU ke-34 di Lampung, semoga semakin menjadikan Nahdlatul Ulama beserta segenap warganya siap menghadapi era globalisasi dan siap menjadi garda terdepan penegakan Islam Rahmatan lil ‘Aalamiin.

Nahdlatul Ulama beserta warganya tetap bersatu dan kompak dalam bingkai Ahlusunah wal Jamaah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti amanah yang dititipkan Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam Mukadimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama ;

فَإِنَّ اْلاِجْتِمَاعَ وَالتَّعَارُفَ وَاْلاِتِّحَادَ وَالتَّآلُفَ هُوَ اْلأمْرُ الَّذِي لاَ يَجْهَلُ أَحَدٌ مَنْفَعَتَهُ

Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal persatuan dan kekompakan adalah merupakan hal yang tidak seorangpun tidak mengetahui manfaatnya. (*)

Tulisan sebelumnyaLima Pimpinan Ranting Fatayat se Kecamatan Ajibarang Dilantik
Tulisan berikutnyaIPNU IPPNU Tunjung Kidul Gelar Makesta

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini