Masihkah Ibadah Haji Memupuk Rasa Kesetaraan?

Tenda Ibadah Haji di Arafah

Makkah,nubanyumas.com – Ada jemaah haji yang tidur di hotel bintang 3 dan ada pula yang tidur di Zam – Zam Tower.

Ada yang harus menunggu 15 tahun karena hanya membayar 50 juta.

Namun ada pula yang langsung berangkat karena membayar 300 juta.

Meski banyak penceramah bilang bahwa Iman dan Taqwa tak bergantung pada materi.

Nyatanya, mengerjakan rukun Islam pamungkas ini perlu banyak modal finansial.

Oleh karena itu, ibadah haji hanya wajib bagi yang mampu.

Meski kemampuan ini meliputi kemampuan fisik, pengetahuan, dan finansial.

Nyatanya, finansial menjadi hal yang paling mendominasi dalam pelaksanaan ibadah haji.

Haji Reguler, Plus, dan Furoda

Adanya 3 skema pendaftaran haji merupakan bentuk nyata dari dominasi finansial dalam ibadah haji.

Jika Anda hanya rakyat biasa saja, perbanyak kesabaran dengan daftar tunggu 15 hingga 30 tahun.

Kesabaran yang banyak memerlukan ongkos paling murah.

Karena Anda hanya perlu membayar 49 – 55 juta dari total biaya ibadah haji reguler yang mencapai 90 juta.

Sisanya akan diambilkan dari nilai manfaat investasi dari setoran awal 25 juta saat pendaftaran awal.

Namun Anda juga perlu mempersiapkan uang saku untuk kebutuhan pribadi, termasuk oleh-oleh.

Selanjutnya, ada ONH Plus bagi Anda yang kesabarannya tidak terlalu banyak dan kebetulan kondisi finansial melimpah.

Daftar tunggu ONH Plus tidak terlalu lama, hanya 5-7 tahun.

ONH Plus dikelola oleh perusahaan swasta yang tercatat di Kemenag sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus.

Jemaah yang berangkat melalui jalur haji plus biasanya mendapatkan pelayanan yang berbeda dengan haji reguler.

Mereka menginap di hotel bintang 4 atau 5 dan kualitas pelayanan yang lebih nyaman.

Karena ONH Plus juga membayar lebih besar, dari 150 hingga 250 juta.

Terakhir ada haji Furoda alias haji non kuota yang visa hajinya didapatkan langsung dari afiliasi dengan pemerintah Arab Saudi.

Agen Travel yang bisa mendapat visa haji furoda harus berkomunikasi langsung dengan pemerintah Arab Saudi untuk mendapat jatah visa ini.

Karena ini adalah visa spesial, maka harganya spesial pula. Kisaran 180 juta rupiah.

Visa spesial ini tak perlu menunggu, Anda bayar tahun ini maka berangkat tahun ini pula.

Biaya haji Furoda lebih melambung tinggi jika dihitung dengan layanan hotel bintang 5 dan tenda istimewa di Arafah.

Semua itu bisa mencapai 450 juta rupiah, bayangkan jika ini digunakan untuk menggaji guru Madrasah Diniyah di kampung Anda!

Jemaah haji furoda biasanya tinggal di hotel mewah selama di Mekkah.

Salah satunya adalah Fairmont Hotel yang berada di dalam Makkah Clock Royal Tower atau lazim disebut Zam-Zam Tower.

Kesetaraan Dalam Ibadah Haji Hanyalah Mitos

Menilik 3 skema pendaftaran tersebut, tentu cita-cita kesetaraan dalam ibadah haji semakin remang.

Ali Syariati (1995:14) memaknai ibadah haji sebagai ibadah yang egaliter.

Kerumunan orang dengan pakaian serba putih dibayangkan oleh Ali sebagai manusia yang sudah menanggalkan segala atribut keduniawiannya.

Namun tampaknya bayangan Ali mengenai peleburan ego dalam ibadah haji semakin utopis saja.

Cara berangkat yang berbeda, pelayanan yang berbeda, bahkan harga ihram yang berbeda membuat para haji makin jumawa.

Lazim kita dapati, jemaah haji ONH Plus atau Furoda rajin membuat postingan media sosial mengenai betapa nyaman bahkan mewahnya fasilitas hotel mereka.

Tidak lupa swafoto di berbagai sudut hotel atau di tenda Arafah yang kasurnya empuk wangi.

Tentu ini berbeda dengan situasi di tenda Arafah jamaah reguler yang hanya mempunyai luasan 0,8 m untuk setiap orang.

Begitu pula tenda untuk mabit di Mina yang berbeda antara jemaah haji reguler, Plus, dan Furoda.

Selain tenda yang berbeda, kualitas makanan pun juga berbeda.

Atas situasi yang berbeda itu, dua lembar kain ihram tidak menjamin terwujudnya kesetaraan.

Ali mengingatkan kita untuk melepas seluruh atribusi duniawi saat menggunakan ihram.

Namun nyatanya fasilitas haji berdasarkan nominal masih melekat dalam aktifitas peribadatan.

Artinya, ibadah haji abad 21 selalu dibuntuti oleh atribusi duniawi.

Ini adalah masa dimana ritual ibadah, individualisme, budaya pop, dan narsisme di media sosial saling berkelindan.

Sehingga kita perlu saling bertanya, masihkah ibadah haji memupuk rasa kesetaraan?

Atau malah semakin menyemai jurang perbedaan dilandasi cara berangkat dan nominal pembayaran yang berbeda.

Belum lagi rasa jumawa setelah pulang dari tanah air, merasa lebih sholeh dan lebih layak duduk di shaf terdepan saat sholat berjamaah di masjid.

Semoga para haji baru terhindar dari rasa jumawa, dan kita yang belum haji juga tidak rendah diri.

Karena sesungguhnya ada banyak cara lain yang lebih murah dalam menggapai rahmat Allah SWT.(*)

Alfian Ihsan

Tulisan sebelumnyaPagar Nusa Kedungbanteng Juara Umum 2, UIN Saizu Open Championship
Tulisan berikutnyaHumor: Obat Demensia Jamaah Haji

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini