SETIAP musim duren tiba, warga pesantren Al Munawwir di Banyumas bagian barat selalu ingat akan cerita tentang Kirsam. Tak hanya oleh santri angkatannya, cerita Kirsam dan duren menurun hingga santri-santri di bawahnya. Kirsam punya tangan sakti, begitulah cerita turun menurun yang selalu fasih diceritakan antar santri.
Kirsam adalah santri yang bertampang inosen, lugu, tetapi selalu ‘sendika dhawuh‘ mengikuti dhawuh kiai. Dengan kondisi apapun dan kapanpun ia selalu siap melaksanakan perintah sang kiai, termasuk saat berziarah berjamaah menuju Cilacap.
Tanpa banyak bicara Kirsam menjadi personel rombongan santri peziarah. Kebetulan karena terbatas kendaraan, maka sepeda motorlah yang dipakai Sang Kiai dan santrinya. Maka pagi usai subuh itulah rombongan santri berangkat.
Kirsam menjadi salah satu peserta rombongan itu. Di perjalanan, awalnya berlangsung lancar, namun setelah memasuki Kota Wangon, seorang santri heran kenapa suara motor Kirsam selalu meraung-raung dan terkadang mendadak bergaya standing. Alhasil Gus Eron akhirnya menghentikan motor Kirsam yang berada paling belakang.
“Ya Alloh, Kirsam-Kirsam mbok ya gigi motor dinaikan. Jangan hanya gigi satu saja. Pantesan selalu telat terus,” kata Gus Eron melirik penanda persneling motor di tengah stang motor. Gus Eron geleng-geleng kepala.
Akhirnya perjalanan dilanjutkan, rombongan motor lain sudah maju di depan. Gus Eron mendampingi Kirsam yang beberapa kali, terasa agak ragu menaikkan gigi motor. Motor terlihat berjalan terangguk-angguk dan namun kemudian lancar. Roso, santri yang memboncengnya tadi nyaris jatuh dan wajah pucatnya belum juga hilang.
Rupanya Kirsam belumlah lama bisa mengendarai motor. Perjalanan ke Cilacap terus dilanjutkan. Rombongan santri yang di depan berjalan melambat menunggu Kirsam. Entahlah kenapa setiap Kirsam melaju, ia selalu mendapatkan lampu hijau menyala. Mungkin ini kebetulan saja.
Sampailah saatnya rombongan memasuki Kota Cilacap. Kirsam masih berada di belakang bersama motor Gus Eron. Rombongan motor santri berada di depan terus maju pelan, karena tiba-tiba ternyata mereka menemui pertigaan jalan yang berlampu lalu lintas. Di pertigaan itu, pos polisi terlihat jelas dengan seorang polisi berdiri mengatur lalu lintas di depannya.
Saat mendekati lampu lalu lintas itu, ternyata lampu lalu lintas berganti menyala merah. Maka rombongan santri paling depan dengan tertib berhenti. Kirsam dan Gus Eron yang berada di belakang mereka agak jauhpun mulai mendekat dan motor Gus Eronpun berhenti. Namun tidak bagi motor yang dikendarai Kirsam.
Priiiiiiiiiiiit….. Suara peluit panjang dari polisi lalu lintas terdengar. Dengan jelas, Kirsam dengan motornya masih ngibrit berjalan menerobos lampu merah tanda berhenti itu. Al hasil, polisipun akhirnya tancap gas mengejarnya.
“Astaghfirullah Kirsam,” kata Gus Eron menepuk jidat sambil memandang santri yang lain di sampingnya. Dan entah kenapa lampu merah itu terasa amat lama sekali berganti menjadi hijau. Sampai kemudian lampu menyala hijau, rombongan santri melajukan motornya. Mengejar Kirsam, tepatnya di belakang motor polisi yang mengejar Kirsam.
Motor Kirsam telah ada di depan dengan laju yang cepat. Sungguh berkebalikan dengan sebelumnya yang berada paling belakang. Kok bisa ya, pikir Gus Eron yang barusan tadi memperingatkan Kirsam soal ganti gigi motor. Gus Eron melajukan motor lebih cepat dari biasanya untuk menyusul sang polisi dan Kirsam.
Kirsampun terkejar dan motor polisi langsung menyilang untuk menghentikan motor Kirsam. Kirsam yang kaget langsung menginjak rem, dan motor sempat ‘ngoser‘. Kepulan debu jalanan pun terlihat jelas meski tak sampai terdengar bunyi ‘ciiiiiit‘.
Gus Eron dan santri lainnya menghampiri Kirsam bersama sang polisi yang sudah berhadapan dengan Kirsam.
“Kamu kenapa Kirsam, lampu merah kok diterobos,” tanya Gus Eron sebelum polisi memberikan tanggapan kepada Kirsam.
“Anu Gus. Apa kalau lampu merah harus berhenti. Saya ga tahu kalau lampu merah itu harus berhenti,” ujar Kirsam dengan wajah datar.
“Mangga bagaimana baiknya Ndan. Begitulah teman saya ini,” kata Gus Eron menghadap kepada polantas yang sedari tadi memperhatikan Kirsam dan rombongan santri yang bersarung ini. Meski bersarung mereka tetap berhelm. Sementara songkok, mereka selipkan di saku baju piyama.
“Ah Kirsam. Ada-ada saja. Masa jaman segini majunya, aturan lampu lalu lintas saja tidak tahu,” kata Gus Eron menghadap santri lainnya.
Pertanyaan Kirsam menerabas lampu merah memang sudah rampung. Namun tinggal persoalan pak polisi yang menghentikan Kirsam yang perlu dijawab. Saat itulah Gus Eron mencari jawaban dan solusi untuk persoalan Kirsam. Kirsam akankah ditilang atau dibiarkan melintas? Sejenak Gus Eron berdoa untuk diberi yang terbaik okeh Tuhan. Ayo kira-kira apa yang terjadi?
###
Kalau tak menjadi bahan cerita bukanlah Kirsam namanya. Keluguan Kirsam ini sayangnya sering dimanfaatkan santri lain yang usil untuk melakukan hal lainnya. Dari sinilah kemudian cerita tangan sakti Kirsam dimulai.
Kebun belakang pesantren Al Munawwir rimbun dengan berbagai tanaman termasuk pohon duren. Kebetulan satu pohon duren yang belum lama ditanam sang kiai mulai berbuah. Santripun mengetahuinya, termasuk Kirsam dan teman-temannya. Namun mereka tentu tiada berani mengambilnya.
Namun seiring waktu, aroma bau duren yang ‘mirit-mirit‘ berkembang menjangkau sudut-sudut pesantren yang dihuni para santri. Duren itu sudah mulai tua, dan matang tentunya. Para santripun mulai tergoda. Namun apa daya. ‘Nembung‘ minta ijin ke Abah Kiai tak berani, sementara kalau ‘nyolong‘ juga berdosa.
Itupun yang ada di pikiran Mahbub, santri senior yang selalu punya ide nakal bagi santri lainnya. Maka singkat cerita, malam itulah sejumlah santri mengatur siasat nakal.
Maka ketika malam tiba usai kegiatan ngaji rampung, empat orang santri termasuk Gus Uli berkumpul.
“Gus, njenengan ngersaaken duren sing pundi,” kata Mahbub.
Mendengar itu Gus Uli kecil tak banyak bicara. Namun menyerahkan sepenuhnya kepada kang santri-kang santri yang ada.
Maka dengan tak tergesa mereka mengendap-endap menuju ke kebun belakang pondok. Satu orang naik ke atas pohon. Satu dua tiga empat, seorang telah berhasil naik dan sambil mengkebut-kebut celana dan baju yang dikerubuti semut. Sementara santri lainnya menunggu di bawah termasuk Kirsam.
Cukup lama si pemanjat pohon membersihkan semut yang mengerubutinya. Akhirnya setelah tenang ia mulai mencari dahan pohon tempat duren mulai menguatkan bau harum. Tanpa senter dan mengandalkan rabaan tangan dan bantuan penciuman, akhirnya santri di atas pohon menemukan sebuah duren.
“Pelan-pelan Kang. Metiknya diputar perlahan saja nanti juga kena,” kata Mahbub dari bawah memberi komando dengan suara lirih, lebih keras dari berbisik.
Ya, dalam hitungan ke tujuh saja akhirnya duren itu benar-benar kena dan masih dalam tangan santri di atas pohon.
“Kamu siap-siap Ya Kirsam,” kata Mahbub.
“Siap Kang, ” kata Kirsam. Dalam gelap kalau terlihat jelas, Mahbub tersenyum sambil memandang Gus Uli kecil yang berada di sampingnya.
Maka dari atas dilemparlah buah duren itu ke bawah. Namun dari dahan paling bawah tak terdengar suara berisik apalagi ‘gedebug’.
“Tangkap Kang,” kata santri di atas pohon.
Tepat di bawah pohon, Kirsam ternyata telah siap dengan tangannya yang menengadah. Lalu…
Bug. “Aaaaaaaaaaaaaaa, ”
Suara Kirsam terdengar keras menyentak penghuni pondok yang mulai sepi malam itu. Sejumlah santri lain yang tidak ikut aksi itu termasuk Gus Eron datang mencari suara teriakan keras itu. Sambil menyorotkan senter ke arah sumber suara, Gus Eron melihat Kirsam meringis dan sesekali meniup-niup telapak tangannya. Sinar senter kembali diarahkan sekitar Kirsam dan di bawah Kirsam terlihat sebutir duren besar tergeletak.
Diarahkan ke atas, seorang santri tengah jongkok di dahan tanpa suara. Gus Eron geleng-geleng kepala. Maka sejak malam itulah, kisah ‘tangan sakti’ Kirsam menjadi bahan cerita warga pondok. Kisah tangan sakti yang selalu mengundang senyum dan kegelian.*