Khisol Kiai dan Kebesaran NU

HAMPIR satu abad lamanya Nahdlatul Ulama (NU) sejak pertama kali didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H, turut serta mewarnai dinamika sosial yang terjadi di bumi pertiwi.

Organisasi yang dibidani oleh para Kiai pesantren ini ngrembaka menjadi organisasi massa terbesar di dunia. NU membesar dan terus membesar, menjadikan ia memiliki nilai tawar (bargaining power) yang tinggi, yang kerap kali dijadikan ajang rebutan dari pihak-pihak yang berkepentingan terutama terhadap kepentingan suksesi politik dan kekuasaan.

Orang kemudian bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat NU ini besar dan terus saja berkembang ?.

Padahal dibanding saudara tua nya, Muhammadiyah yang berdiri lebih dulu (1912), yang banyak sekali membuat gedung-gedung rumah sakit dan lembaga pendidikan untuk masyarakat, NU jelas tertinggal dalam hal ini. Lantas, apa yang membuat masyarakat begitu antusias terhadap NU ?.

Menurut K.H Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) Ketua Umum PBNU, dalam serial tulisannya yang berjudul ‘Governing The NU’, adalah karena peran kiai-kiai NU yang sangat signifikan dalam membimbing umatnya. Para kiai begitu sungguh-sungguh menjadi “pelayan umat” dan tempat bersandar masyarakat.

Gus Yahya menyebutkan bahwa, ada tiga gejala yang senantiasa melekat pada kiai-kiai shalih NU alhamdulillah hingga kini. Pertama, ilmu. Bukan hanya keluasan dan kedalaman ilmu, tapi juga dedikasi paripurna dengan ketekunan, adab (tata krama), bahkan riyadloh (tirakat), ditegakkan dengan penuh disiplin ileh kyai-kyai shalih sejak belajar, mengajar, hingga beramal. Segalanya disandarkan kepada ilmu.

Baca Juga : Organisasi Nahdlatul Sebelum Nahdlatul Ulama

Kedua, ri’aayah, yakni mengasuh dan membimbing ummat dalam segala keadaannya. Para kiai shalih melibatkan diri dalam segala macam hajat dan kesulitan ummatnya secara langsung dan tanpa pilih-pilih. Itulah sebabnya, kesibukan terbanyak mereka adalah menerima tamu dan memenuhi undangan siapa saja yang membutuhkan.

Ketiga, ikhlas. Pada tingkat hakikat, ini memang tak siapa pun selain Allah bisa mengukurnya. Tapi pada tingkat budaya, jejak nilai-nilai ikhlas sangat kentara pada kiai-kiai kita. Dari penampilan, tutur-kata dan cara bergaul mereka.

Tiga gejala (khishol) dari para pencinta NU itulah sebab dari anugerah berupa kebesaran NU. Para kiai shalih itu adalah personifikasi NU. Ketika mereka mengikat kasih-sayang diantara ummat, dengan sendirinya ikatan itu dipersepsikan sebagai kerangka NU.

Selama ketiga khishol itu lestari, insyaallah demikian pula kebesaran NU. Maka jelas sekali bahwa kebesaran NU itu adalah nisbat (atribut) dari jama’ah, bukan jam’iyyah. Kebesaran itu mewujud dan berkembang dalam jama’ah. Demikian pungkasnya.

********
Disarikan dari rangkaian serial tulisan K.H Yahya Cholil Staquf “Governing The NU”

Oleh: Abdullah Mukti, Mahasiswa UNU Purwokerto dan warga NU

Tulisan sebelumnyaHarlah 68 IPNU : Sejarah, Tema, Logo dan Link Twibbonnya
Tulisan berikutnyaInovatif! LTM Luncurkan Kotak Masjid Berbasis QRIS

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini