Mengutip Imam al-Ghazali, ada lima hal pokok yang dilindungi dalam kaidah syariah Islam.
Populer disebut dengan Maqashidul Syari’ah, lima hal pokok yang harus dijaga adalah kehidupan (nafs) agama (din), harta kekayaan (mal), pemikiran (aql), dan keturunan (nasl).
Namun kelima hal tersebut tak akan bisa dilakukan tanpa lingkungan yang terawat dengan baik.
Bagi seseorang yang menjadi korban bencana banjir bandang dan kehilangan harta benda, sulit untuk menjaga kehidupan dan harta kekayaan.
Bagi komunitas yang tidak bisa bercocok tanam akibat kemarau panjang, mereka akan jungkir balik untuk menghidupi keturunan, harta, dan kehidupan.
Kemarau panjang dan serangan panas hingga Oktober lalu, seharusnya menjadi peringatan bagi kita tentang pentingnya menengok alam sekitar.
Iklim yang tidak pasti dan cuaca yang tidak menentu membutuhkan kesadaran bersama masyarakat.
Agama yang merupakan salah satu basis moral, haruslah berkontribusi untuk menanggulangi fenomena yang akrab disebut “Krisis Iklim”.
Harus disadari, bahwa hadits mengenai ibadah sunnah dan bersholawat, jauh lebih populer daripada hadits tentang menanam pohon.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
Artinya, “Dari sahabat Jabir ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ‘Tiada seorang muslim yang menanam pohon kecuali apa yang dimakan bernilai sedekah, apa yang dicuri juga bernilai sedekah. Tiada pula seseorang yang mengurangi buah (dari pohon-)nya melainkan akan bernilai sedekah bagi penanamnya sampai hari Kiamat,’” (Imam Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri, At-Targhib wat Tarhib minal Haditsisy Syarif, [Beirut, Darul Fikr: 1998 M/1418 H], juz III, halaman 304).
Hadits diatas mengabarkan kepada kita bahwa menanam pohon mempunyai nilai sedekah.
Jika buah yang dimakan atau dicuri pun mempunyai nilai sedekah, tentu akan lebih besar nilai sedekahnya apabila pohon tersebut mampu mencegah kekeringan atau tanah longsor.
Belajar “Fiqh Lingkungan Hidup” Dari KH. Ali Yafie
Krisis Iklim sejatinya sudah mulai dirasakan pada akhir abad ke 20. Namun tidak banyak pemuka agama yang memberikan respon terhadap hal ini.
Salah satu dari yang sedikit itu adalah KH. Ali Yafie, ulama besar NU ahli fiqh kelahiran Donggala Sulawesi Tengah tahun 1926.
Baca juga: NU dan Pesan Pelestarian Lingkungan Hidup
KH. Ali Yafie pernah menjadi Rais ‘Aam PBNU 1991-1992 dan Ketum MUI 1990-2000.
Beliau mendobrak diskursus kajian keislaman dengan melahirkan buku “Fiqh Lingkungan Hidup” pada tahun 2006.
Buku ini menjadi bukti bahwa KH. Ali Yafie bukan sekadar ahli fiqih yang jumud apalagi konservatif.
Beliau juga tak sekedar fasih mengajak jamaah pada kesalehan individu untuk kesejahteraan duniawi dan keselamatan ukhrawi.
Namun KH Ali Yafie juga merupakan sosok ulama sosial dengan gagasan yang komprehensif.
Beliau menyadari betul ancaman kerusakan lingkungan yang berskala nasional dan global.
Dalam bukunya, KH Ali Yafie menggunakan wawasan ekologis dalam menggali kerangka pendekatan berbasis hukum islam dalam mengatasi krisis lingkungan.
Baca juga: Ceramah Agama Tidak Pernah Bicara Tentang Lingkungan
Beliau menambahkan satu hal primer dalam Maqashid al-Syariah gagasan Imam al-Ghazali, yaitu perlindungan lingkungan hidup atau hifzhul bi’ah.
Melindungi lingkungan hidup, merupakan panduan untuk melindungi kehidupan, agama, harta, pemikiran, dan keturunan.
Kiai Ali Yafie secara detail menyebut ancaman lingkungan yang harus jadi perhatian umat beragama.
Pencemaran air, pencemaran tanah, krisis keragaman hayati, kerusakan hutan, kekeringan dan krisis air bersih, pencemaran udara, dan sampah kimia.
Krisis iklim sudah semakin nyata di hadapan kita, kontribusi organisasi keagamaan sangat ditunggu oleh umat sebagai bentuk pengabdian dan pelayanan.
min boleh email saya ga saya mau tanya tanya seputar NU cuma bgg😭
mujiantisriasih72@gmail.com
silahkan kirim email via redaksi@nubanyumas.com. Terimakasih..