Ceramah Agama Tidak Pernah Bicara Tentang Lingkungan

MUNGKIN tidak banyak dari kita yang tahu bahwa setiap tanggal 5 juni adalah peringatan dari Hari Lingkungan Hidup sedunia. Tulisan ini mungkin agak terlambat, tapi kesadaran akan menjaga lingkungan hidup lebih sangat terlambat.

Mengapa demikian? Karena manusia sudah memulai eksploitasi akan lingkungan hidup  sejak abad ke 18. Revolusi industri 1.0 muncul pada abad ke 18 di Eropa hingga dan selalu melakukan evolusi hingga era industri 4.0 pada abad ke 21. Selama ini masyarakat lebih suka melihat lingkungan dan alam sebagai objek pemenuhan kebutuhan manusia.

Ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia, semua bertumpu pada satu paradigma yaitu antroposentrisme. Ginting Suka menjelaskan dalam bukunya Teori Etika Lingkungan  bahwa gagasan antroposentrisme menekankan pada kepentingan manusia sebagai penentu tertinggi dalam tatanan ekosistem dan setiap kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hanya manusia yang dianggap mempunyai nilai dan kepentingan, sehingga pemanfaatan sumber daya alam layak digunakan sebanyak-banyaknya untuk memenuhi keinginan manusia.

Paradigma antroposentrisme inilah yang kemudian digunakan sebagai pembenaran dalam setiap upaya eksploitatif sumber daya alam yang cenderung berfikir tentang keuntungan dan ketercukupan bagi manusia di hari ini tanpa disertai tanggung jawab untuk memperbaharui atau sekedar menjaga keberlangsungan alam dalam jangka panjang.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, pembukaan hutan menjadi kebun sawit, dan penambangan bukit kapur secara masif merupakan sebagian kecil dari aktifitas eksploitatif manusia terhadap alam.

Perbincangan terkait dampak negatif dari eksploitasi berlebihan terhadap alam sebenarnya sudah sering dilakukan sebagai respon atas perubahan iklim yang dalam beberapa tahun terakhir ini terasa begitu ekstrim. Namun perbincangan ini hanya berakhir di ruang seminar dan halaman jurnal karena hampir di negara manapun pelaku pemerintahan melacurkan kepentingan publik kepada kepentingan pelaku industri demi mendapat jatah dari aktifitas eksploitatif tersebut.

Berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan yang sudah sering terjadi belum cukup mampu membuka mata para pelaku usaha ekstraktif untuk mempunyai kesadaran lebih terhadap lingkungan. Kesadaran lingkungan kita seketika meningkat setelah virus Covid-19 menghantam seluruh penjuru bumi sebagai virus baru yang belum ada vaksin penawarnya. Pandemi ini memukul telak berbagai sektor kehidupan seperti kesehatan, ekonomi, politik, bahkan agama.

Hal ini kemudian memunculkan tindakan reaktif dari pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan tentang gerakan kampanye hidup bersih dan sehat, menjaga pola makan, dan rajin berolahraga. Ketiga hal tersebut memang memberikan dampak secara individu, namun tidak memberikan dampak apapun kepada ketidakseimbangan ekosistem yang kita tahu merupakan akar dari munculnya berbagai bencana alam.

Membangkitkan kesadaran lingkungan memang tidak bisa dilakukan hanya dengan hitungan bulan. Namun harus selalu disuarakan setiap saat oleh seluruh pemangku kepentingan dalam masyarakat yaitu pemerintah, swasta, dan organisasi kemasyarakatan. Berbicara kesadaran lingkungan bisa disampaikan melalui beberapa perspektif seperti kesehatan, sosial, ekonomi, bahkan agama.

Saya masih jarang mendengar mimbar – mimbar keagamaan dan acara pengajian membahas tentang pentingnya menjaga alam. Kajian Fiqh dan himbauan untuk memperbanyak ibadah masih mendominasi ruang pengajian kita. Padahal menjaga lingkungan juga bagian dari ibadah, yaitu ibadah Ghoiru Mahdhoh.

Islam dengan jelas mempunyai landasan dasar untuk umatnya agar memberikan perhatian kepada kelestarian lingkungan yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Hud ayat 61 “… Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.

Ayat seperti ini memang tidak setenar ayat yang berkaitan dengan hukum syari’at atau ayat jihad karena memang berabad-abad lamanya umat Islam lebih sibuk dengan perdebatan fiqh dan legitimasi perang menggunakan dalil jihad.

Islam juga mengajarkan bahwa tugas manusia di muka bumi ini salah satunya sebagai Khalifatullah, pengganti Allah dalam mengelola dan memakmurkan bumi untuk kesejahteraan umat manusia dan makhluk hidup lainnya.

Pemahaman seperti ini perlu untuk disampaikan secara masif di mimbar-mimbar masjid agar praktik keagamaan tidak hanya disibukkan dengan motif keselamatan individu di akhirat kelak namun juga membangun kesadaran bahwa menjaga keselamatan komunal umat manusia di bumi juga merupakan tanggung jawab individu dan bernilai ibadah.

Saya pikir kita harus belajar dari pemimpin umat Katolik. Paus Fransiskus berada satu langkah di depan daripada pemimpin agama lain di muka bumi. Sebuah surat edaran yang bertajuk Laudato Si pada tahun 2015 menyerukan sebuah tema yang masih minim diperbincangkan, pertobatan ekologis. Ensikli yang terdiri dari dua ratus empat puluh paragraf ini berbicara tentang bagaimana seharusnya manusia beragama dan beriman bersikap atas alam dan lingkungannya.

Ensikli ini memuat tentang kritik terhadap konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di seluruh dunia untuk mengambil aksi global yang terpadu.

Salah satu isi dalam ensikli ini membahas tentang ketersediaan air yang merupakan anugerah bagi semua makhluk dan akal budi yang dimiliki manusia tidak serta merta memberinya hak mutlak untuk mengeksploitasi alam yang bisa berakibat terganggunya suplai air bagi makhluk hidup yang lain. (*)

Tulisan sebelumnyaMemahami Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Organisasi Yang “Tidak Biasa” #2
Tulisan berikutnyaBanyumas Raih Medali Terbanyak Pada OSKANU II

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini