Fakta Poligami, KH Hadidul Fahmi: Lelaki itu Kemauan Besar tetapi Keberanian Kecil

KH HADIDUL FAHMI LC MA
KH Hadidul Fahmi Lc MA saat menerangkan fiqh poligami saat acara Ngintro di Aula Al A'la PCNU Banyumas

PURWOKERTO, nubanyumas.com– Permasalahan poligami di kalangan ulama sejak dulu telah banyak dipahami terutama dari segi hukum atau fiqhnya. Bahkan dari sebagian besar ulama di PCNU Banyumas telah paham akan hal ini.

Hal itu ditandaskan oleh Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama (LDNU) Cabang Banyumas, KH Hadidul Fahmi saat didapuk menjadi pemateri Fiqh Poligami di acara Ngintro LDNU Cabang Banyumas di Aula Al A’la Gedung PCNU Banyumas Sabtu 9 November 2023 kemarin.

” Tema poligami ini memang tema yang sensitif dan sudah lama diangkat para kyai. Mereka sudah lama membahas,  kaya referensi ini sudah tema polligami. Tetapi soal poligami ini memang kemauannya besar, tapi keberaniannya kecil,” katanya mengungkap fakta di lapangan hingga disambut tawa dan senyum para hadir.

Gus Fahmi demikian ia akrab disapa menyatakan secara prinsip fiqh, poligami itu ssesuatu yang diperolehkan atau mubah.

‘Tentu saja saja kebolehan berpoligami itu menimbang beberapa syarat sudah disebutkan Rois Syuriah  Romo Kiai Mughni Labib tadi. Namun kita (rata-rata pendapat ulama NU, red) mau mengatakan kalau poligami itu harus didudukan di tengah-tengah,” jelasnya.

Selain pendapat tafsir yang menempatkan poligami di tengah-tengah ini, ada juga dua pendapat mufasir yang menyatakan dua pendapat tentang poligami ini.

“Karena saya membaca ada beberapa kelompok yang menempatkan poligami itu diperbolehkan tanpa syarat apapun. Jadi melepaskan semua syarat untuk bisa berpoligami.

Jadi kelompok yang satu ini menyatakan tidak ada syarat apapun untuk berpoligami, untuk menambah istri. Ini kita jumpai dari para mufasir klasik,” jelasnya.

Selain kelompok yang memperbolehkan poligami tanpa syarat apapun, ada juga kelompok mufasir khususnya dari kalangan modern yang tak memperbolehkan poligami tanpa syarat apapun. Poligami tak diperbolehkan sama sekali. Semua lelaki tertutup untuk melakukan poligami.

“Ada kelompok yang menutup sama sekali pintu poligami ini. Tak boleh sama sekali, tanpa kecuali. Kelompok ini biasanya mempunyai kecenderungan feminisme, mereka biasanya mengritik tafsir ayat yang bersifat misoginis, yang membenci perempuan. Di kelompok ini sebut saja ada Fatimah Mernisi, Amina Wadud. Ada juga aktivis perempuan dari Mesir dan Maroko yang menyatakan sama tentang hal ini,” tandasnya.

Namun untuk kelompok yang ada di tengah-tengah menyatakan ada syarat yang ketat dalam melakukan poligami. Sebagaimana termaktub dalam berbagai kitab, ada beberapa catatan soal hukum poligami dan pernikahan termasuk saat menafsir QS An Nisa : 4 beserta konteksnya.

“Ada yang menyatakan asal, pokok, inti dari pernikahan itu bukan poligami. Jadi pernikahan itu satu, bukan berbilang.

Tetapi ada juga yang menyatakan pernikahan itu lebih dari satu, berbilang sebagai contohnya Sati al Hasri. Karena kalau cuma satu saja, itu menunjukkan kelemahan laki-laki,” kutip Gus Fahmi disambut senyum para hadir.

Namun ada juga pendapat lain, seperti Khotib Al Sarbini dimana  menyatakan pernikahan itu asalnya satu.

Memperhatikan konteks ‘ayat poligami’ ini, berbagai macam tafsir muncul termasuk tercatat Gus Fahmi hingga delapan penafsiran termasuk pendapat dari Kiai Faqih Abdul Qodir dari Krapyak yang menyatakan metode mubadalah.

Ada pendapat tafsir jika kalian tidak bisa berlaku adil kepada satu, dua, tiga anak yatim
sudah terjadi dholim kepada anak yatim, maka kamu ceraikan dia.

Sebagaimana anak yatim itu tidak punya wali tidak punya mekanisme dijadikan perlindungan. Kalau kamu kepada anak yatim tidak bisa berbuat adil maka nikahi satu, dua, tiga, empat.

“Jadi pada intinya bahwa orang berpoligami itu mubah, pada satu keadaan bisa sunnah bisa juga makruh dan harom seperti Kiai Mughni Labib, namun ada sesuatu yang lain yang tidak sepakat poligami dalam hal mendudukan keadilan dan poligami mempunyai nilai selau beriringan,” jelasnya.

Dalam berbagai kitab fiqh Hanafiyah, bahkan disebutkan ketika ada seorang laki-laki itu dikhawatirkan dirinya sendiri masuk ke zina ketika menikah dan tidak berlaku adil terhadap satu perempuan maka haram bagi dirinya untuk menikahi perempuan meski istrinya satu.

Ini menjadi salah satu argumen logis, karena berbuat adil adalah sesuatu yang universal. Keadilan terhadap sesama hamba itu harus didahulukan terlebih dulu. *

Tulisan sebelumnyaKetua PW Fatayat Jateng : Banyumas Banyak Masalah, Fatayat NU Harus Jadi Problem Solver
Tulisan berikutnya“Fiqh Lingkungan Hidup” KH. Ali Yafie, Pedoman Menghadapi Krisis Iklim

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini