Pada suatu sore saya berbincang dengan seorang kawan, sebut saja Agus, yang merupakan dosen di sebuah universitas islam terkemuka di Banyumas. Kemudian sedikit menyinggung perihal jurusan tempat dia mengajar.
“Jadi apa sebenarnya yang kita butuhkan, masyarakat islam atau masyarakat islami?”
Agus diam sejenak dan menjawab “Ya masyarakat islami, karena sekarang kita hidup dalam masyarakat yang majemuk dan heterogen”.
“Lalu mengapa jurusan di kampusmu menggunakan frasa masyarakat islam?” Saya menimpali.
“Bahkan di Arab saja, ada komunitas masyarakat pekerja migran dari India dan Nepal yang beragama hindu. Kemudian ada yang berasal dari Filipina dan Lebanon yang beragama Kristen”
Agus mendehem pelan dan mengambil posisi tegap. Saya berpikir bahwa dia akan memberikan pidato akademik yang panjang.
“Bagaimana kalau kita membedah dua istilah tersebut satu persatu, agar kita mempunyai pemahaman yang sama. Karena proses dialog tanpa diawali dengan pembentukan pemahaman maka tidak akan pernah ada ujungnya.
Masyarakat Islam menurut Dr. Yusuf Qardhawi adalah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat manapun, baik keberadanya maupun karakternya. Ia merupakan masyarakat yang rabbani, insani akhlaki dan masyarakat yang mempraktekkan nilai keseimbangan atau tawazun.
“Sebentar, Yusuf Qardhawi ini siapa?”, saya menukas penyampaian Agus.
“Dr. Yusuf Qardhawi itu pemikir kontemporer Islam kelahiran Mesir tahun 1926. Beliau fokus pada kajian sosial dan dakwah Islam. Definisi tentang masyarakat islam itu ada di buku Sistem Masyarakat Islam dalam Al-quran dan Sunnah. Kamu pasti belum pernah baca kan?” Pertanyaan Agus ini agak menampar untuk saya.
“Ya belum pernah, saya kan kiblatnya pemikir Eropa gus.” Jawab saya berkelit.
“Oke lanjut ya. Kalau menurut Dr. H. Agus Ahmad Safe’i penulis buku Sosiologi Islam, masyarakat islam dipahami secara konseptual dan faktual. Secara konseptual, adalah masyarakat ideal yang hendak diwujudkan dengan berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Al-quran dan sunnah rasul.
Sedangkan secara faktual, didefinisikan sebagai masyarakat yang secara nyata ada dalam satu kelompok manusia yang beragama islam dengan sejumlah indikasi: memiliki kebiasaan, tradisi, sikap,dan perasaan yang sama”.
“Kowe kok apal gus?”
“Cuk, aku iki dosen lho”
Baca Juga : Saat Jalur Prestasi Zonasi dan Afirmasi Telah Gagal
“Oh iyo…hahaha. Jadi gus, dari dua definisi diatas maka bisa disimpulkan bahwa konsep masyarakat islam itu bukan hanya masyarakat yang secara rutin melaksanakan ritual agama islam seperti sholat, puasa, dan zakat. Namun juga harus mempraktekkan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama Islam ya.
Jika Dr Yusuf dan Dr. Agus menekankan pada akhlak yang sesuai dengan Al-Qur’an atau Sunnah Rasul, maka masyarakat islam di Indonesia banyak yang belum ideal.
Banyak yang rajin sholat, tapi hobi ngrasani tonggone, banyak yang sudah umroh dan haji tapi tidak pernah memberi makan tetangganya yang miskin.
Apalagi pejabat publik kita itu, padahal mereka disumpah dibawah Al-Qur’an tapi masih banyak yang suka korupsi, pengusaha yang beragama Islam itu juga banyak yang ngemplang pajak.”
Agus mengangguk dan mengiyakan kesimpulan yang saya berikan. Kemudian dia melanjutkan pembahasan.
“Jadi kata “islam” dalam frasa masyarakat islam itu bukan dimaknai sebagai kata benda yang sekedar sekumpulan tata ritual peribadatan tetapi juga sebagai kata kerja yang harus selalu diupayakan untuk mewujudkan masyarakat yang berakhlak sesuai dengan nilai islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah”.
“Saya simpulkan lagi ya gus, bisa dikatakan bahwa masyarakat yang beragama islam ini perlu dibina dan selalu didampingi agar sikap dan perilakunya mencerminkan nilai islam. Proses ini tentu butuh kerja keras dari banyak pihak seperti organisasi keagamaan, komunitas pengurus masjid, penyuluh agama, para Ustadz, Gus, Kyai, dan tentu pesantren sebagai basis pendidikan agama yang biasanya ada di tengah masyarakat.”
Lagi – lagi Agus mengiyakan dan sepakat dengan kesimpulan yang saya sampaikan sambil menambahkan beberapa kalimat untuk kesimpulan saya.
“Hasil dari pendampingan dan pengembangan masyarakat beragama islam inilah yang kemudian bisa disebut masyarakat islami. Yaitu masyarakat yang selain beragama islam juga mempraktekkan nilai keislaman dengan baik dan benar.
Tentu baik dan benar ini, jika menurut pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah adalah nilai islam yang berpegang pada nilai Tawazun (Seimbang), Tasamuh (Toleran), Tawassuth (moderat), dan I’tidal (Adil).
“Wah, obrolan ini akan lebih panjang gus kalau kemudian harus membedah pengertian dari empat nilai pokok Aswaja tersebut. Apalagi kalau sampai menjabarkan Aswaja sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Harokah” Timpal saya sembari menyeruput kopi yang sudah dingin.
Agus menjawab “Ya pembahasan itu biar dilanjutkan sama anak – anak PMII, semoga ada yang membaca tulisan ini. Kalau tidak ada ya terpaksa kamu saja yang nulis soal itu. Alumni PMII kan? Hahaha”. (*)