Adakah Muhammad Abad 21?

Muhammad abad 21
Potret kota Mekkah dari atas Jabal nur (foto/Alfian)

Adakah Muhammad Abad 21?

Memperingati bulan kelahiran Muhammad bin Abdullah atau yang 40 tahun kemudian menjadi Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Nuzulul Qur’an, tentu tidak hanya dengan sekedar melantunkan syair pujian dan sanjungan. Namun sebaiknya, dengan memahami untuk apa dan dalam kondisi masyarakat seperti apa beliau dilahirkan.

Apa pentingnya memahami kondisi masyarakat Arab saat beliau dilahirkan? Toh yang kita peringati adalah kelahiran beliau nabi besar Muhammad SAW, nabi yang membawa perubahan masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang terang benderang. Seperti yang sering diucapkan dalam pembukaan pidato.

Tidak kita sadari, sering mendengarkan atau mengucapkan kalimat pembukaan seperti itu, tanpa tahu masyarakat jahiliyah seperti apa yang dirubah oleh nabi Muhammad SAW.

Dalam “History of Arab” Philip K Hitti, seorang sejarawan keturunan Lebanon – Amerika, mencatat bahwa kondisi sosial masyarakat Arab menjelang Muhammad SAW lahir adalah tidak memiliki otoritas hukum, nabi, dan kitab suci. Istilah Jahiliah yang biasanya diartikan sebagai masa kebodohan bukan tentang pengetahuan melainkan lebih kepada kebobrokan moral dan aqidah.(Hitti, 2012)

Menyembah berhala, perbudakan, seks bebas, dan perang adalah fenomena sosial yang sudah kental di kalangan masyarakat Arab sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Ada pula fenomena sosial yang kemudian menjadi perayaan resmi sosial keagamaan di kalangan orang Arab adalah “Hari-Hari Orang Arab / Ayyam al-‘Arab“. Yaitu hari dimana antar suku boleh menyerang satu sama lain untuk memperebutkan hewan ternak, padang rumput, dan mata air.

Mereka tidak saling membunuh, tapi melukai dan menjarah. Menurut Hitti, Ayyam al ‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang Arab dan telah terinternalisasi sebagai jatidiri dan watak sosial.

Badri Yatim dalam Satir (2019) mengatakan bahwa masyarakat Arab pada Abad ke 6, baik yang nomaden maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Mereka cenderung hidup dengan identitas sosial kesukuan atau klan yang berdasarkan garis kekeluargaan dan dipimpin oleh seorang syekh.

Khususnya pada masa Muhammad kecil, kondisi sosial-politik Arab sedang berada dalam situasi yang sangat kronis, dengan banyaknya peperangan antar kabilah atau suku. Solidaritas yang tinggi antar klan membuat perang antar kabilah sulit untuk diselesaikan. (Ibnu Khaldun dalam Mubarok 2019).

Meminjam teori Ibnu Khaldun bahwa sejarah merupakan proses siklikal atau putaran yang terus berulang, begitu pula dengan situasi masyarakat jahiliyah Arab saat itu yang nampaknya tidak jauh berbeda dengan jahiliyah modern abad 21.

Kita semua menyembah berhala dalam bentuk uang, jabatan, kekayaan, kekuasaan, penghormatan, dan bahkan pengetahuan. Bahkan mirisnya, banyak manusia berseteru atas nama agama. Sehingga bisa katakan bahwa mereka menyembah agama, bukan Tuhan.

Perbudakan, tampaknya tidak bisa dimusnahkan dan hanya berubah bentuk. Menurut Kevin Bales dalam buku Understanding Global Slavery (2005), perbudakan akan selalu ada selama masih ada ketimpangan relasi dalam struktur sosial dan ekonomi. Ketika seseorang dikontrol oleh kekerasan atau ancaman, tidak dibayar dan dieksploitasi secara ekonomi, itu adalah perbudakan.

Baca Juga : Sejarah Singkat Maulid Nabi di Jawa

Penulis juga mempunyai pengalaman tersendiri saat tinggal di tanah Hijaz selama 2 tahun, sempat bersinggungan dengan para korban perbudakan modern. Bahkan masih hangat di ingatan mengenai eksekusi 2 pekerja migran Indonesia pada tahun 2018.

Ada banyak pekerja wanita Indonesia yang bekerja dari pagi sampai malam pada keluarga Arab tanpa diberi perlakuan yang layak. Tempat istirahat yang tidak manusiawi, gaji yang sering telat, dan banyak yang mengalami pelecehan seksual.

Atau upah minim yang diberikan perusahaan Bin Laden kepada petugas kebersihan umum dan penyapu jalan di kota Jeddah. Lagi – lagi, korbannya adalah pekerja migran yang ada juga berasal dari Indonesia.

Permasalahan tenaga kerja migran masih menjadi PR besar bagi pemerintah dan menteri tenaga kerja Ida Fauziyah untuk segera menuntaskan perbudakan modern ini. Namun kabar buruknya adalah pemerintah akan segera mengirim kembali pekerja informal ke Arab Saudi dengan alasan banyak permintaan dan tentu, mendatangkan cuan!.

Jika Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat Arab Pra Islam hidup berkelompok dengan kabilahnya dan suka berperang, begitu pula dengan hari ini. Kita hidup dengan semangat populisme suku atau agama, dan tidak segan menyudutkan kelompok lainnya. Entah dengan cara yang brutal atau menusuk secara perlahan.

Satu hal lagi yang dicatat oleh Hitti, bahwa hampir semua orang Arab pada Abad ke 6 adalah Ummy, tidak bisa membaca dan menulis.

Namun tradisi kepenyairan mereka begitu tinggi, tidak ada bangsa lain saat itu yang bisa menyamai keindahan bait syair yang digubah oleh orang – orang Arab. Bahkan ada sebuah peribahasa Arab Kuno “Keelokan seseorang terletak pada kefasihan lidahnya”.

Pun sama, hari ini banyak orang merasa menjadi “penyair” dengan kemampuan mereka berbicara, berorasi, dan membuat narasi.

Meski orasi dan narasi yang dibuat ternyata hanya untuk membela penguasa, seperti ulah buzzer media sosial dan pembuat berita Hoax.

Pada sisi lain, masyarakat lemah dalam “membaca dan menulis”, membaca maksud yang tersembunyi dalam sebuah kata atau peristiwa.

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog asal Perancis, mengatakan bahwa dalam setiap kata dan fenomena ada relasi kuasa yang bekerja secara halus. Kemudian menghasilkan hubungan menguasai dan dikuasai, minteri lan mbodhoni.

Pertanyaanya adalah ada dimana masyarakat? Sebagai yang menguasai atau yang dikuasai? Yang minteri atau malah dibodhoni?

Yang terakhir adalah lemah dalam menulis. masyarakat bagai buih di samudra yang terombang ambing isu dan konstelasi kepentingan diantara para elit yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi, dan agama.

Kita Butuh Muhammad Abad 21

Sebagai penutup, tidak dipungkiri kiranya kita membutuhkan Muhammad baru. Seorang sosok yang bisa memberikan pencerahan berupa pengetahuan dan spiritualitas. Sosok revolusioner untuk menghadirkan kembali kemanusiaan yang sudah direnggut oleh imajinasi industri 4.0 dan cita – cita materalistis.

Bahkan jika bukan merupakan seorang sosok, kiranya bisa merupa sebagai sebuah kelompok. Masing – masing dari individunya mempunyai cerminan dari berbagai aspek dalam Muhammad yang kita butuhkan untuk menuntaskan kejahilihahan Abad 21.

Tentu bukan kelompok yang hanya sibuk membangun institusinya sendiri, kental aroma politis, atau bahkan mengemis jatah komisaris. (*)

Tulisan sebelumnyaMahasiswa UIN SAIZU Raih Juara 1 Lomba Esai Tingkat Nasional
Tulisan berikutnyaLPDP Buka Pendaftaran Beasiswa Santri dan Kader Ulama, Ini Link, Syarat dan Cara Daftarnya

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini