Berbicara tentang Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali di Nusantara, tentu tidak bisa dilepaskan dari perbincangan tentang masuknya Islam di Nusantara. Karena masuknya Islam sudah tentu membawa tradisi-tradisi dari para pembawanya. Termasuk diantaranya tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Kebanyakan perdebatan tentang masuknya Islam di Nusantara tampaknya berpijak dari asumsi bahwa Islamisasi pertama pastilah terjadi pada satu peristiwa tertentu dengan seorang pelaku yang dapat dipastikan. Asumsi ini bertentangan dengan bukti yang ada. Islamisasi dapat dimengerti secara lebih baik sebagai proses yang terus menerus berlangsung, berawal dari waktu yang berbeda-beda, di berbagai belahan Nusantara, dan di bawah sejumlah besar pengaruh yang berbeda-beda pula.
Berbagai bangsa muslim yang berdagang ke Nusantara adalah orang-orang Arab, Persia, India, dari semua pesisir pantai, dan juga orang-orang Campa dan Cina, semua memberikan pengaruhnya masing-masing. Dalam beberapa keterangan, jamak diketahui bahwa penduduk Arab telah melakukan perdagangan beberapa abad sebelum munculnya Islam. dan bahkan ekspedisi niaga orang-orang Arab telah sampai ke berbagai penjuru negeri, bahkan sampai ke kepulauan Nusantara.
Sumber-sumber sejarah yang ditemukan menyebutkan beberapa poin yang sama. Pertama, Islam telah sampai ke Indonesia pada abad ke I Hijriyah. Tepatnya pada masa Khalifah Utsman dan Dinasti Umayyah. Kedua, ada sekelompok Alawiyin yang lari dari kejaran Hajaj bin Yusuf salah satu Gubernur Bani Umayah, Alawiyin masuk ke Sila (Sulawesi) karena takut dibunuh oleh Dinasti Umayah.
Akan tetapi sebagaimana dinyatakan oleh Tome Pires, sejarawan Portugis yang pertama masuk ke Indonesia. Pada penghujung abad ke 15 hingga awal abad ke 17 penyebaran Islam terjadi secara massif dan begitu cepat dibanding penyebaran Islam pada abad-abad sebelumnya. Ahmad Tsauri (Sejarah Maulid Nabi, 2015) menilai, bahwa penyebaran massif ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, terjadi eksodus besar-besaran Alawiyin Yaman dari abad ke 15 m hingga 17 m. Kedua, terjadi revolusi jalur niaga pada abad tersebut. Ketiga, penggunaan bahasa melayu sebagai lingua franca.
Eksodus penduduk Yaman ke Indonesia tidak bisa ditelusuri secara pasti. Namun kedatangan mereka disambut oleh para penguasa bahkan mereka menikah dengan putri-putri raja dan penguasa di tempat mereka singgah. Bahkan kemudian sulit dibedakan antara keturunan Arab dan penduduk asli pribumi sampai abad ke 15.
Baca Juga : Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW
Pada akhir abad ke 15 pengaruh Sunan Ampel di Jawa begitu kuat. Terutama dengan peran muridnya Sultan Abdul Patah yang menaklukan raja-raja Hindu Jawa masa itu. Kemudian Sultan Abdul Patah menjadi raja Demak Bintara yang pertama. Pada abad ke 15 itu pula, terjadi akulturasi antara Islam dan kebudayaan setempat. Termasuk di dalamnya peringatan Maulidan atau Muludan, yang merupakan penggabungan antara tradisi Islam di Timur Tengah dengan berbagai kesenian Jawa yang diadopsi sebagai media penyebaran Islam.
Menurut Ali bin Muhsin al-Saqaf, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi media dakwah paling efektif dalam proses islamisasi masyarakat Jawa. Sangat pantas jika perayaan Maulid Nabi pada masa kerajaan Demak Bintara dan kerajaan Mataram dinamai Sekaten, yang berasal dari bahasa Arab Syahadatain berarti dua kalimat syahadat. Sebab peringatan Maulid Nabi menjadi media dakwah yang terbukti ampuh membuat masyarakat terpikat oleh Islam, dan dengan sukarela mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai pengakuan atas keislamannya.
Dalam Babad Jawa dan serat-serat disebutkan bahwa para sultan Kerajaan Islam Demak dan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram menggunakan Maulid Nabi sebagai cara menyebarkan ajaran Islam sekaligus menjaga budaya lama yang selaras dengan Islam. Sokongan penguasa terhadap Maulid Nabi adalah salah satu hal yang membuat tradisi Maulid bertahan melampaui waktu yang sangat lama.
Ada tiga alasan bagi Raja dalam melaksanakan Maulid Nabi. Pertama, Maulid sebagai sarana penyebaran agama Islam. Kedua, Maulid Nabi sebagai pengukuhan sejarah karena penyelenggaraannya berkaitan dengan kebsahan sultan dan kerajaannya sebagai ahli waris dari Panembahan Senopati dari Kerajaan Islam. Ketiga, Maulid dalam arti kultural karena penyelenggaraan upacara ini menyangkut kedudukan sultan sebagai pemimpin suku Jawa. (*)