Bahwa Afghanistan suatu saat akan jatuh ke tangan Taliban selepas ditariknya pasukan Amerika sebenarnya tidak mengejutkan. Yang mengejutkan dan menjadi tamparan bagi Amerika dan sekutunya adalah proses ini terjadi sangat cepat.
Ibarat tanpa hambatan, pasukan Taliban merengsak maju dan menguasai kota satu demi satu hingga mencapai Kabul dan Kandahar hanya dalam kurun beberapa minggu.
Bagaimana mungkin 300 ribu militer Afghanistan dikalahkan dengan mudah oleh 80 ribu pasukan Taliban?
Menjelang perang dunia kedua, kekuatan Jerman tidak sebanding dengan Perancis dan negara-negara lain pemenang perang dunia satu. Rasanya mustahil Jerman bisa menginvasi tetangga-tetangganya secara kilat.
Prancis saat itu memiliki Maginot line, benteng kokoh sepanjang 450 km yang seharusnya bisa menjaga Perancis dari invasi tetangganya.
Kata guru saya, kelemahan seseorang berada tepat disamping kelebihannya. Itulah yang terjadi pada Perancis. Perancis harus mendistribusikan pasukannya di sepanjang Maginot line. Meski diatas kertas kekuatan militer Perancis lebih besar dibanding Jerman, namun pasukan Perancis tersebar sejauh 450 km.
Saat itulah Jerman berinovasi dengan satu konsep baru yaitu Blitzkireg, dimana seluruh kekuatan dipusatkan di satu titik, menembus batas pertahanan lawan dan memotong supply logistik lawan hingga lawan tak sanggup mereorganisir pasukan yang kocar-kacir.
Strategi ini memerlukan support dari unit yang mobile, gesit dan lincah. Dan Panser (mobile tank) adalah jawaban serta ujung tombak dari strategi ini.
****
Apa yang terjadi di Afghanistan serupa dengan yang terjadi di Perancis dengan Maginot line nya. Pasukan militer Afghanistan yang jumlahnya 4 kali lebih banyak dibanding pasukan taliban disebar keseluruh penjuru, terisolir satu sama lain karena terhalang gunung2 berbatu. Sementara pasukan Taliban relatif terpusat, menaklukan kota satu per satu dari Selatan hingga utara.
Kesalahan terbesar Amerika adalah melatih pasukan Afghanistan untuk berperang ala Amerika. Ciri khas pertempuran Amerika adalah kekuatan support udara. Amerika memiliki kelengkapan drone canggih, berbagai varian helikopter hingga pesawat siluman.
Strategi bertempur dengan kekhasan ini tentu tak bisa dicopy ke militer afghanistan dengan rata-rata level pendidikan yang terlalu rendah untuk bisa menjadi pilot atau mengoperasikan berbagai instrumen canggih.
Amerika tidak memahami karakter pasukan yang mereka latih dan gagal dalam mengidentifikasi dan mengeksploitasi actual resources yang dimiliki orang-orang Afghanistan.
Baca Juga : Memahami Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Organisasi yang Tidak Biasa #3
Strategy is the intelligent allocation of resources through a unique system of activities to achieve a goal. Dua kunci penting dari kalimat ini adalah “intelligent allocation of resources” dan “unique system of activities”.
Pada tahun 1911, dua tim berlomba untuk mencapai kutub selatan. Tim pertama dipimpin oleh Robert Falcon Scott, seorang perwira angkatan laut Inggris. Scott mendapat dukungan penuh dari kerajaan Inggris. Tim kedua dipimpin oleh Roald Amundsen dari Norwegia.
Scott yang mendapat dukungan penuh kerajaan Inggris tentu saja unggul dari sisi logistik dibanding Amundsen. Scott membawa 65 kru, 5 jenis transportasi yakni anjing, ski, siberian poni, motor sledges dan man-hauling (saya tidak tahu terjemahan tepatnya). Sementara Amundsen hanya membawa 19 kru dan cuma mengandalkan anjing sebagai alat transportasi.
Sebuah pertandingan tak seimbang. Namun ibarat David vs goliath, Amundsen berhasil mencapai kutub selatan 34 hari lebih awal dibanding Scott. Bagaiman tim Amundsen bisa memenangi perlombaan ini meski logistiknya jauh lebih kecil?
Kuncinya kembali pada “intelligent resource allocation” dan “unique system of activity“. Amundsen hanya bisa membawa anjing sebagai alat transportsinya. Namun ia membawa anjing terbaik, dengan pelatih terbaik yang memahami seluk-beluk anjing kutub.
Unique activity nya Amundsen adalah riset dia mengenai anjing hingga dia menemukan bahwa jenis Greenlander lebih baik dibanding Siberian Husky.
***
Tidak ada strategi tanpa pemahaman tentang apa yang kita miliki (kekuatan) dan apa yang tidak kita miliki (kelemahan). Tidak ada strategi tanpa “unique activity”. Unique activity Jerman adalah membangun panser. Unique avtivity amundsen adalah riset tentang anjing.
Dan konsep sederhana ini berlaku umum, apakah untuk militer, membangun organisasi, komunitas, pengembangan diri, karir hingga parenting.
Beberapa waktu lalu saya diundang kesebuah forum untuk sharing tentang tim sukses suatu perhelatan politik dimana saya aktif terlibat. Meski kandidat yang kami usung kalah, namun yang mengundang cukup terkesima dengan performa tim yang dianggap sukses meski modal finansial nya sangat terbatas.
Saya sampaikan bahwa salah satu kuncinya adalah identifikasi resource secara utuh. Kita paham betul keterbatasan kita yakni financial support, support dari angkatan atas dan kendala geografis (tim inti tersebar di berbagai negara). Namun kita juga memahami resource yang kita miliki. Pertama adalah digital dan data fluency dan kedua adalah profesional expertise dari anggota tim (kebanyakan anggota tim bekerja di private sector dan banyak diaspora).
Kandidat yang kami usung membuat circle data engineer diawal pembentukan tim. Pembentukan circle data engineer adalah “unique activity” berdasar atas resource “digital dan data fluency”. Bahkan koordinator data engineer lebih awal terbentuk dibanding koordinator penggalangan.
Tim kami pun mengeksploitasi berbagai software baru yang diperkenalkan oleh kandidat dan tim data seperti gathertown, glassfrog, slac, miro, airtable dst. Ibarat panser Jerman, berbagai tools tersebut membuat pergerakan tim menjadi gesit, lincah dan agile.
Kami juga membuat circle untuk mengumpulkan kawan-kawan dengan expertise atau interest tertentu seperti circle energy, disaster management, industri 4.0 dan sebagainya.
Masing-masing circle membuat event yang juga menjadi wadah untuk engagement anggota tim. Pembentukan circle ini adalah “unique activity” berdasar atas resource “profesional expertise dari anggota tim”
***
Jika kita tarik ke skala yang lebih besar yakni negara Indonesia, kira-kira apa saja resources utama yang kita miliki dan apa saja “unique activity” yang harus dilakukan agar kita mencapai visi Indonesia Emas 2045? (*)