Tanda Seorang Mu’min Mencintai Allah SWT

CINTA adalah unsur terpenting dalam ibadah. Bersama raja`(berharap) dan khauf (takut), cinta menjadi perasaan hati yang melengkapi ketundukan kita kepada Allah.

Dalam Kitab Qomi’ut Tughyan ‘ala Mandzumati Syu’abul Iman karya Al ‘Alamah Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al Jawi Al Bantani mengutip perkataan Imam Sahal:

“Tanda mencintai Allah adalah mencintai al-Quran. Tanda mencintai Allah dan al-Quran adalah mencintai Nabi Muhammad saw. Tanda mencintai Nabi Muhammad saw adalah mencintai sunnah (ucapan, tingkah laku, dan sikap) beliau. Tanda mencintai sunnah adalah mencintai akhirat. Tanda mencintai akhirat adalah membenci dunia (pujian orang, penampilan, kemewahan dan lain-nya). Tanda membenci dunia adalah tidak mempergunakan harta benda dunia kecuali sebagai bekal menuju akhirat.”

Dari penjelasan Imam Sahal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Hubb (rasa cinta) kepada Allah swt merupakan bentuk totalitas penghambaan yang tidak bisa dimanifestasikan dalam bentuk yang terpisah-pisah.

Mencintai Allah tentu seseorang itu harus mencintai Al Qur’an. Orang yang mencintai Al Qur’an tidak bisa milih-milih, hanya ayat-ayat tertentu saja yang dia pakai sebagai pedoman, yang tidak cocok dia tinggalkan, yang demikian bukan pengejawantahan Mahabbatullah. Karena itu, semua yang terkandung dalam Al Qur’an harus meresap dalam kalbu setiap orang mu’min.

Pun demikian, tanda mencintai Allah itu mencintai baginda Nabi Agung Muhammad saw. Cinta yang lahir dari ketakdziman, kerendah-hatian dan kerelaan yang paling dalam. Dari situ akan tumbuh benih untuk mentaati segala tutur dan tindak tanduk Nabi saw.

Singkatnya, bukti bahwa seseorang mencintai Allah tidak tergiur duniawi yang bersumber dari hawa nafsu belaka. Dalam kata lain, dunia hanyalah sebagai alat (wasilah) atau jembatan untuk mendapat ridlo Allah swt. Apalah artinya dunia dan seisinya ini tanpa ridlo dari yang Mahakuasa. Apalah artinya pahala yang seabruk jibruk tanpa ridlo-Nya.

Terakhir, Mahabbatullah haruslah diliputi unsur ketundukan, merendahkan diri dan ketaaan secara mutlak tidak boleh terbagi. Ia adalah cinta khusus untuk Allah. Harus kita murnikan. Tidak boleh kita tujukan cinta itu kepada selain Allah. Jika cinta itu terbagi, berarti kita membagi ketundukan dan ibadah kita kepada Allah. (*)

Tulisan sebelumnyaSowan Para Kiai, Menteri Agama Berburu Berkah
Tulisan berikutnyaSejarah Halaqah Ulama Banyumas Tahun 1928

1 KOMENTAR

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini