Sufi Gunung

Sufi Gunung

KANG Daplun, begitu nama panggilan sehari harinya. Sejak dulu, sewaktu masih muda sampai sekarang, di usianya yang mulai merayap senja tetaplah setia menggenakan sarung. Tentu saja untuk membalut tubuhnya, dan kopyah hitam menutup kepala yang tak lapuk dimakan zaman. Begitulah sosok pria yang bermukim di perkampungan Grumbul Rinjing di sebuah perbukitan lereng selatan Gunung Slamet..

Rinjing adalah sebuah dusun yang masih sunyi, hanya dihuni beberapa keluarga dikelilingi pepohonan, sungai, dan pegunungan yang menjadi satu kesatuan indahnya alam anugerah Sang Pencipta Jagad Raya ini.

Alam Semesta adalah ayat-ayat kauniyah tempat belajar, belajar, dan belajar dalam meniti hidup dan kehidupan. Mengaplikasikan ilmu-ilmu di bangku sekolah dan pesantren yang dipelajarinya selama bepuluh-puluh tahun. Menjadi referensi menjalani harmonisasi hidup keseharian.

Menjadi manusia utuh atau insan kamil bukanlah perkara mudah, ilmu mesti diperoleh dengan sanad keilmuan yang jelas runtut dari guru-gurunya agar tak tersesat jalan keilmuannya.

Sebab kerap terjadi, banyak ilmu akan tetapi ilmu tidak bermanfaat bahkan menjadi azab karena tidak diamalkan. Atau diamalkan malah menjerumuskan ke jurang kesesatan karena sumber literasi keilmuan dan guru-guru pengasuh keilmuan tidak jelas juntrungnya. Tidak menyambung pada sumber yang original.

Menjadi manusia paripurna, ditengah hempasan arus deras informasi dan teknologi dengan menjadikan gadget yang bernama komputer, internet, hp, facebook, twitter, instagram dll sebagai sumber belajar, kalau tidak cermat malah menimbulkan keterpurukan dalam tauhidnya.

Teknologi bukanlah segala-galanya, ia hanyalah perangkat pembantu umat manusia dalam peradaban. Menjauh dari teknologi atau alergi dari perkembangan zaman adalah kefatalan karena hidup terus bergerak laksana roda pedati yang terus bergerak mengikuti derap peradaban.

Pesan junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, ‘Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya’, memberi isyarat agar kita tak terperosok dengan masa lalu dan menatap masa depan dengan segala perubahan-perubahan yang terjadi.

Masa-anak-anak kita pada tempo dulu tak mungkin kita terapkan sama pada anak-anak kita sekarang karena tantangan dan peradaban kehidupan berbeda dengan jaman yang kita lalui.

Secara psikologis pesan Rasululloh SAW agar mendidik, mengasuh, merawat anak-anak harus up to date sesuai jamannya, namun tetap menjadikan pendidikan akhlaq menjadi priroritas utama bagi orang tua agar anak anaknya kelak menjadi manusia insan kamil.

Kang Daplun, memang sufi gunung, tetap setia meneruskan tradisi keagaman yang sudah mendarah daging turun temurun yang diamalkan pendahulunya. Tetap setia dengan kitab kuningnya yang dijadikan pegangan dan rujukan mendalami ajaran agama Islam. Tak harus minder dengan nama Jawanya yang medok.

Menjadi Islam bagi Kang Daplun tak harus tergerus dengan tradisi dan budaya Jawanya, Ia tetaplah mencintai kesenian tradisonal wayang kulit, gamelan, macapatan dll. Menjadi media dakwah dan berkomunikasi dengan warga kampung sebagaimana yang dilakukan Kanjeng Sunan Bonan, Sunan Kudus dan Sunan Kalijogo dahulu.

Baginya Islam adalah keyakinan yang utuh yang menjadi pembimbing dan petunjuk dalam melakoni hidup dan kehidupan. Kang Daplun tetaplah tersenyum, andap asor, tak mempedulikan kritikan, cacian, makian dan cibiran yang dialamatkan padanya.

Kang Daplun tetap setia dengan Kopyah nya yang hampir lima tahunan dipakai, warna hitamnya hampir tipis Namun baginya Kopyah atau Kupluk menjadi saksi ikatan dengan Sang Pencipta Alam mengabdikan diri menjalani perintah-perintahNya dan menjauhi larang-laranganNya.

Baca Juga : Nyantri di MAdrasah Al Ittihad

Wajah bening, penuh keteduhan, menjadi citra Kang Daplun meski tumpukan Kitab-kitab kuning hapal diluar kepala, juga ilmu-ilmu umum menyatu dengan sikap andap asor yang menjadi cermin kematangan dan pengalaman hidup bersama masyarakat dan umatnya.

Mengkafirkan, memusrikan, mensyrikan, membid’ahkan orang lain bukalah cara bijak memandang perbedaan dalam beragama dengan orang lain dan merasa paling benar pendapatnya.

Mengkafirkan dengan memvonis orang lain masuk neraka bukanlah hak manusia, itu hak mutlak Milik Tuhan Sang Pencipta Sang Penguasa Alam Semesta Raya beserta isinya .

Manusia tidak berhak menjadi hakim tunggal layaknya Sang Pencipta. Tak boleh menuduh orang lain dengan seenaknya meskipun dalil-dalinya begitu fasih. Karena kedalaman keagamaan seseorang akan terlihat dari ahlaq yang terpuji.

Namun kefasihan bukan pancaran kedalaman keilmuan, Karena akhlaqul karimah adalah puncak tertinggi manusia parpurna, ia selaras dengan ajaran Tuhan dan Rasulnya, ia harmoni dengan manusia, ia sinkron dengan Alam Semesta.

Semua merasa damai, semua merasa nyaman, semua merasa disayangi dan dikasihi, tidak ada yang merasa disakiti, dihina, dicaci maki dan diasingkan. Semua sejajar sebagi makhluk Tuhan yang harus dihormati, dikasihi dan disayang seperti kasih sayang Tuhan kepada umatnya.

Kang Daplun, tetaplah manusia biasa yang pernah salah dan berbuat dosa.Tetapi ia tak pernah menjadikan akalnya dijadikan Tuhan,untuk mengahikimi orang lain.

Sifat pemaaf, sifat penolong, sifat murah senyum, sikap toleransi melambangkan kemampuan keilmuan dan pengalaman. Hidup yang telah dijalani puluhan tahun telah mengukir deras dalam keriput wajahnya

Ya. Kang Daplun, sang sufi gunung menjalani hidup apa adanya dengan menyerahkan diri pasrah atas semua kodrat dan irodat-Nya. Manusia hanya menjalani lintasan takdir setelah dengan sekuat tenaga berikhtiar dengan doa dan segenap kekuatan yang dimiliki.

Tulisan sebelumnyaNyantri di Madrasah Al Ittihad
Tulisan berikutnya3,936 Relawan Sensus NU Banyumas Siap Kejar Target

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini