Sound Horeg Sebagai Penanda Guncangan Sosial

Sound Horeg Sebagai Penanda Guncangan Sosial
Sound Horeg Sebagai Penanda Guncangan Sosial

Parade tumpukan sound sistem yang terkenal dengan sebutan Sound Horeg mendapatkan fatwa haram dari MUI Jawa Timur.

Beruntung kita tidak pernah atau sangat jarang menjumpai parade sound tidak muncul di wilayah Banyumas dan sekitar.

Hal tersebut lebih viral dan fenomenal di wilayah Jawa Timur dan Pantura, sebagai hiburan bagi sebagian kelompok masyarakat dan sebagai petaka bagi yang lain.

Ini adalah parade tumpukan sound sistem yang diangkut dengan truk, masyarakat menyebut hal itu dengan istilah “sound horeg”.

Horeg memiliki arti bergetar, secara harfiah merujuk pada tumpukan sound sistem dengan suara menggelegar dan membuat bergetar benda di sekitar sound.

Suara menggelegar ini menghasilkan frekuensi suara lebih dari 120 desibel, padahal batas aman suara yang bisa didengar manusia adalah 80 desibel.

Betapa tidak nyaman suara yang dihasilkan oleh sound horeg, namun mengapa banyak anak muda yang gandrung pada sound jedag jedug ini?

Baca juga: Lho Kok Cuma Kiai, Nggak Ada Habibnya?

Digemari Anak Muda Dari Kelas Menengah ke Bawah

Tidak semua anak muda menggemari hiburan semacam ini, karena sound horeg tidak akan ditemui di wilayah perumahan mewah dan tidak juga di area perkantoran seperti di kota Jakarta.

Anak muda di perkotaan tidak memerlukan pawai tumpukan sound sistem, karena mereka bisa mengakses diskotik yang menyajikan musik serupa di dalam ruangan.

Kesamaan musik dan dentuman membuat beberapa orang menyebut sound horeg sebagai diskotik masuk desa.

Pedesaan atau wilayah kota kecil merupakan tempat bagi sound horeg untuk dicintai dan diperdengarkan.

Anak muda yang menggandrungi sound horeg hampir bisa ditemui di semua wilayah di Provinsi Jawa Timur dan daerah Pantura.

Mungkin beberapa wilayah perumahan elit di kawasan tersebut bisa menjadi pengecualian.

Baca juga: Moderasi Beragama 2.0, Mewujudkan Perilaku Sosial, Ekonomi, Politik Yang Moderat

Dalam pengamatan sekilas, ada kesamaan dari anak muda pemuja sound bising yang membuat pengang di telinga.

Anak-anak muda ini berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah tingkat bawah, yaitu masyarakat yang memiliki mata pencaharian namun rentan miskin apabila ada lonjakan inflasi atau krisis moneter tiba-tiba.

Sebagian anak muda ini bahkan berasal dari kelas masyarakat bawah yang kesulitan mendapat akses pendidikan dan mencari pekerjaan.

Sulit untuk mencari anak muda pemenang lomba olimpiade atau penabuh rebana diantara sekumpulan anak muda pemuja sound horeg.

Pendidikan ala kadarnya, lingkungan yang tidak konstruktif, belenggu kemiskinan struktural, dan minim lapangan pekerjaan merupakan ketidakpastian yang melingkupi hidup banyak anak muda itu.

Lingkaran setan ketidakpastian masa depan membuat seseorang rentan stres dan membutuhkan saluran ekspresi untuk kesehatan mental.

Kemudian tren sound horeg datang dengan dentuman yang menggema seiring dengan dentuman protes dalam diri mereka.

Baca juga: KH. Ali Yafie, Pedoman Menghadapi Krisis Iklim

Protes atas situasi yang tidak mereka inginkan, situasi yang memaksa mereka harus bekerja serabutan atau menjadi buruh bangunan di kota besar untuk bisa melanjutkan kehidupan.

Keterbatasan pengetahuan membuat mereka tidak bisa mengajukan protes, mereka juga tidak tahu kepada siapa mereka berkeluh kesah.

Gayatri Spivak menyebut kelompok ini sebagai subaltern, yaitu kelompok terpinggirkan yang tidak pernah diperhitungkan dalam kebijakan pembangunan pemerintah.

Tidak seperti anak muda beruntung yang bisa mengenyam bangku perkuliahan, melakukan demonstrasi di jalanan, atau membuat konten bernada kritik di media sosial, anak muda dari kelas menengah bawah tidak punya kemewahan untuk melakukan hal-hal semacam itu.

Hanya dentum suara sound horeg yang mewakili kemarahan dan kekecewaan atas nasib baik yang tidak berpihak.

Guncangan Sosial yang Tidak Terdengar

Sebagian dari kita tentu terganggu dengan gelegar suara dari sound horeg, namun tidak banyak dari kita yang mau mencari akar penyebab kesukaan anak muda pada sound horeg.

Kita tentu tidak bisa menghakimi begitu saja tanpa bersedia memahami situasi anak-anak muda ini.

Perlu perspektif yang lebih luas untuk menelusuri guncangan sosial yang membuahkan perilaku ekspresif semacam sound horeg.

Baca juga: Kuasa Tidak Pernah Puasa

Justifikasi akhlak dan moral saja tidak cukup, namun perlu juga menyediakan saluran ekspresi alternatif bagi jiwa-jiwa muda yang nestapa.

Sanggar seni, kelompok diskusi, kelompok olahraga, ruang terbuka hijau, dan aneka komunitas kreatif perlu diupayakan untuk menampung minat bakat mereka.

Hal ini bukan hanya menjadi kewajiban bagi lembaga pendidikan, namun juga tugas pemerintah kabupaten hingga desa serta seluruh aspek masyarakat.

Pemerintah juga harus mampu mengundang investor untuk menyediakan lapangan kerja bagi anak muda, atau memfasilitasi anak muda yang ingin menjadi wirausaha.

Kemauan dan kesadaran segenap pemangku kepentingan merupakan upaya untuk mengembalikan situasi sosial yang terguncang.

Sebuah situasi yang berdampak pada guncangan individu dari anak-anak muda yang konon menjadi tumpuan Indonesia Emas 2045.

Jangan sampai, jargon tersebut berubah menjadi Indonesia Cemas 2045.

Tulisan sebelumnyaKaimana Enterpreneur Forum di Baturraden: Dorong Mahasiswa Melek Bisnis dan Ambil Peluang

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini