Sejarah Tashwirul Afkar dan Nahdlatul Wathan

Ensiklopedia Nahdlatul Ulama #1

Tashwirul Afkar dan Nahdlatul Wathan

Ini perkoempoelan bernama “Nahdlatoel–Oelama”, tempat kedoedoekannja di Soerabaja dan diberdirikan boeat lamanja 29 tahoen, terhitoeng moelai hari berdirinja, jaitoe 31 Januari 1926. (Statuten NU)

Itulah bunyi Fatsal I dari Statuten Perkumpulan Nahdlatul Ulama yang resmi didaftarkan kepada pemerintah Hindia Belanda saat itu. Menandakan resminya Nahdlatul Ulama sebagai sebuah Perkumpulan/Organisasi yang sah di mata hukum. Di dalamnya memuat tata laksana organisasi yang kemudian dikenal dengan Anggaran Dasar (AD) serta Anggaran Rumah Tangga (ART), yang terus mengalami perubahan sesuai kondisi dan kebutuhan organisasi hingga saat ini.

Tashwirul Afkar Embrio NU

Berdirinya Nahdlatul Ulama, tidak lepas dari kondisi pemikiran ke-Agamaan dan politik negara-negara Islam yang sedang bergejolak pada saat itu. Melihat dari pengalaman terjadinya Perang Paderi tahun 1803 yang dipicu oleh perbedaan pendapat dalam pengamalan ajaran Agama Islam, serta berdirinya Kerajaan Saudi Arabia yang menggandeng Muhammad Abdul Wahhab sebagai penasehat ke-Agamaan.

Pergeseran cara ber-Madzhab di kalangan umat Islam, yang sejak lama telah dijalankan ke arah Madzhab Tunggal merupakan sebuah ancaman bagi Ulama-Ulama pendiri Nahdlatul Ulama saat itu.

Nahdlatul Ulama merupakan akumulasi pergerakan ulama-ulama Ahlusunah wal Jama’ah yang telah sejak lama bergerak sendiri-sendiri berbasis profesi. Di kalangan Nahdliyin, nama KH. Wahab Chasbullah adalah nama yang tidak asing. Beliau adalah penggerak dan pendiri beberapa organisasi/perkumpulan yang menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama.

Sebagai titik awal yang paling relevan sebagai “embrio” berdirinya Nahdlatul Ulama adalah didirikannya sebuah Kelompok Diskusi pada tahun 1914 oleh para tokoh pemuda alumni Timur Tengah kala itu di Surabaya. KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansur, mulai membuka ruang diskusi seputar permasalahan Agama yang menjadi ajang “berdebat” dan bertukar pikiran para tokoh-tokoh Agama.

Beberapa tokoh yang sering terlibat dalam diskusi-diskusi yang diadakan Kelompok Taswirul adalah Ahmad Surkati (pendiri Al-Irsyad) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).

Perlu dicatat pula bahwa KH. Wahhab Chasbullah adalah santri KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun 1908, KH. Hasyim Asy’ari mengirim KH. Wahab Chasbullah untuk melanjutkan pendidikannya ke Makkah. Beliau KH. Wahab Chasbullah adalah tipikal pemuda yang sangat progesif, bersemangat dalam organisasi dan juga cerdas.

Baca Juga : Kewargaan Nahdlatul Ulama

Hadirnya Ahmad Surkati dan KH. Ahmad Dahlan dalam setiap diskusi, mengarah pada perdebatan seputar khilafiyah. Dari diskusi-diskusi inilah kemudian mulai terlihat pengelompokan-pengelompokan pandangan yang berpengaruh hingga saat ini. Pengelompokan yang paling mendasar adalah munculnya kelompok dengan pandangan Islam Tradisional dan Islam Modern.

Taswirul Afkar bukan hanya sebagai kelompok diskusi masalah ke-Agama an saja. Kelompok ini juga sering melakukan kegiatan diskusi bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti dr. Wahidin Sudirohusodo dan Haji Omar Said Cokroaminoto. Ini menandakan bahwa kelompok diskusi ini selain lintas generasi juga sebagai kelompok diskusi yang melebar hingga soal kenegaraan.

Inilah yang hingga saat ini dijalankan Nahdlatul Ulama, selain sebagai organisasi Dakwah ke-Agama an juga sebagai Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang di dalamnya juga memikirkan sumbangsih aktif pada Negara.

Sejak bergulirnya permasalahan-permasalahan khilafiyah dibahas dalam Tashwirul Afkar, KH. Wahab Chasbullah sebenarnya sudah memikirkan efeknya. Karena itu, beliau kemudian menghentikan pembahasan seputar khilafiyah didiskusikan dan diperdebatkan dalam Taswirul Afkar.

Beliau melihat hal tersebut dapat mengakibatkan perpecahan Umat Islam di Jawa. Berbeda dengan koleganya yakni KH. Mas Mansur yang masih menginginkan adanya pembahasan khilafiyah untuk didiskusikan dan didebatkan dalam Tashwirul Afkar. Inilah yang kemudian menyebabkan KH. Mas Mansur keluar dari Tashwirul Afkar dan aktif dalam Perkumpulan Muhammadiyah.

Taswirul Afkar tetap berjalan dengan anggota-anggota yang sepemahaman dalam Ahlussunah wal jama’ah dan mempertahankan pola pendidikan Agama Tradisional melalui Pesantren.

Diantara yang tetap aktif adalah KH. Bisri Sjansuri Jombang, KH. Maksum Lasem, KH. Abdul Halim Cirebon dan beberapa Ulama Muda seperti Kyai Abdullah Ubaid Surabaya yang belakangan akan mendirikan Syubanul Wathan bersama KH. Wahab Chasbullah, untuk mengakomodir pergerakan kaum muda pesantren.

Selain membuka Perkumpulan Diskusi Taswirul Afkar di tahun 1914, KH. Wahab Chasbullah juga mengembangkan Taswirul Afkar sebagai Lembaga Pendidikan dan Pergerakan Kaum Muda dengan mendirikan Nahdlatul Wathan.

Perkumpulan ini lebih kepada fungsi perkumpulan yang digunakan untuk menampung para pemuda untuk memperoleh ilmu sesuai kebutuhan masa itu selain sebagai wadah pergerakan pemuda menyikapi kondisi politik negara masa itu yang masih dibatasi oleh aturan-aturan pemerintah kolonial. Lembaga Nahdlatul Wathan ini sebenarnya lahir berbarengan dengan Kelompok diskusi Taswirul Afkar, namun baru diakui sebagai sebuah Lembaga Formal pada tahun 1916.

Di Tahun 1916 inilah fase awal kemandirian pergerakan awal yang nantinya akan menjadi Nahdlatul Ulama. Berkat bantuan beberapa kawan KH. Wahab Chasbullah, akhirnya Nahdlatul Wathan biasa memiliki sebuah gedung di daerah Kawatan, Surabaya. Gedung ini menjadi Gedung Lembaga Pendidikan Nahdlatul Wathan yang kemudian hari menjadi Markas HBNO (Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama) yang sekarang menjadi PBNU.

Lagu “Syubanul Wathan” atau lebih dikenal dengan “Ya Lal Wathan” kemudian menjadi lagu wajib yang dikumandangkan setiap memulai perkumpulan dalam Perguruan Nahdlatul Wathan ini. Perkembangan Perguruan Nahdlatul Wathan sangat pesat, terlihat dari antusias beberapa daerah di Surabaya maupun luar Surabaya yang ingin membuka cabang-cabang baru guna mengakomodir antusiasme para pemuda di daerah-daerah agar dapat memperoleh pendidikan dan wadah pergerakan yang berpusat di Kampung Kawatan Surabaya tersebut.

Sebut saja kemudian berdiri Ahlul Wathan di Wonokromo dan Semarang, Lalu Far’ul Wathan di Gresik dan Malang, lalu Hidayatul Wathan di Kampung Jagalan Surabaya dan Jombang, serta Khitabatul Wathan di Kampung Pacarkeling Surabaya.

Dari sini dapat kita lihat bahwa kelompok-kelompok yang digagas oleh KH. Wahab Chasbullah semuanya menggunakan nama Wathan dan Nahdlatul. Inilah yang nantinya akan menjadi inspirasi nama bagi Nahdlatul Ulama. (*)

Tulisan sebelumnya156 Siswa SD NU Master Sokaraja Divaksin
Tulisan berikutnyaMulai 8 Januari, Ibadah Umrah Kembali Bisa Dilakukan

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini