Refleksi Idul Adha : Keluarga Ibrahim Potret Keluarga Ideal

Rektor UIN Saizu Purwokerto, Prof. Dr. Ridwan, M.Ag

Penulis : Prof. Dr. H. Ridwan, M. Ag.
Rektor UIN Saizu Purwokerto

Syariat ibadah kurban berasal dari apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ketika diperintah oleh Allah untuk mengorbankan anak kesayanganya Nabi Ismail AS. Nabi Ibrahim AS sebagai Nabi dan Rasul berkali-kali diuji oleh Allah SWT dengan berbagai ujian yang berat dan semuanya lulus dengan baik.

Suatu ketika Nabi Ibrahim diuji untuk mengorbanhkan keimanan dan aqidahnya sekalipun menghadapi hukuman dibakar hidup-hidup. Tetapi Nabi Ibrahim AS tidak luluh menjadi abu. Allah berfirman “Kami berfirman, hai api! jadilah dingin untuk keselamatan Nabi Ibrahim.”

Mengapa ini terjadi? Mengapa Nabi Ibrahim tidak terbakar? karena beliau tetap komitmen dan konsisten dengan agama dan akidahnya. Apa yang terjadi pada Nabi Ibrahim AS dalam kejadian ini dapat diambil pelajaran bahwa iman kepada Allah tidak cukup dengan ucapan yang verbalistik, tetapi iman haruslah dinyatakan dalam perbuatan nyata.

Oleh karena itu kalau seseorang mengaku iman/percaya kepada Allah, tetapi prilakunya justru bertentangan dengan akidah Islamiyah maka keimananya batal. Di atas kertas KTP dia seorang mukmin tetapi prilakunya justru jauh dari sifat-sifat orang mukmin, itulah yang oleh Al-Quran disebut sebagai orang munafiq.

Nabi Ibrahim AS adalah contoh ideal dari manusia yang bertauhid yang bersedia berkurban untuk mencapai derajat taqwa. Salah satu ujian keimanan yang paling berat yang dialami Nabi Ibrahim adalah tatkala beliau oleh Allah SWT diperintahkan untuk menyembelih putra tercintanya Nabi Ismail sebagai kurban.

Syariat kurban diabadikan dalam Al-Quran dan menjadi bagian dari Syariat Islam sebagaimana disebutkan dalam surat As-Shofat ayat 102-105 :

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai umur dewasa berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!

Ia menjawab kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau mendapatiku termasuk orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah sesabaran keduanya, dan kami panggilah dia :

“Hai Ibrahim sesungguhya engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Di tengah perjalanan menuju menuju tempat penyembelihan, mereka dihadang oleh syaitan yang berupaya dengan berbagai tipu daya dan rayuan halus untuk membatalkan niat tulus Hamba Allah itu.

Pertama syaitan mengoda Nabi Ibrahim agar membatalkan niatnya mengorbankan anaknya Ismail. Namun beliau tidak bergeming dan tetap melaksanakan perintah Allah tersebut beliu bahkan membentak syaitan dengan mengatakan.

“Walakin umirtu bi dzalik” tetapi itu suatu perintah, aku diperintah demikian. Merasa gagal menggoda Ibrahim AS syaitan mengarahkan godaanya kepada Ismail sebagai anak yang akan dikorbankan tetapi Ismail justru menjawab dengan tegas “Sami’na wa atha’na li amri Robbi.”

Aku siap melaksanakan perintah Allah yang bagaimanapun. Merasa tidak berhasil syaitan melancarkan godaanya terhadap istri Ibrahim sekaligus ibu Ismail, Hajar agar membatalkan niatnya.

Tetapi apa jawaban Hajar “An-Nabiyyu la yu’maru bil bathili” seorang Nabi tidak mungkin akan diperintah menjalankan perbuatan batil, “Wa ana afdi li amrihi ruhi” jangankan anakku, aku sendiri siap menjadi penggantinya. Akhirnya ketiganya berhasil mengusir syaitan dengan cara melontarinya dengan batu secara berulang-ulang.

Peristiwa ini yang dalam rangkaian manasik haji dikenal dengan melontar jumrah dan menyembelih kurban. Ibadah haji dalam Islam juga mengenang peristiwa yang dialami istri Nabi Ibrahim Hajar.

Dia berlari-lari di sekitar Ka’bah dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah, guna mencari air untuk Ismail ketika masih bayi dan Allah menunjukan sumber mata air yang tidak pernah habis walau diminum oleh jutaan jamaah haji, mata air itu bernama Zamzam.

Peristiwa sejarah inilah yang kemudian diabadikan dalam manasik haji yang dikenal sebagai Syai yaitu berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah. Sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat manusia itu membuat Ibrahim AS menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar dan mempunyai sejarah besar.

Dari sejarahnya itu maka lahirlah Kota Suci Makkah dengan Ka’bah sebagai kiblat ummat Islam seluruh dunia, dengan sumur Zamzam yang tidak pernah kering airnya. Dari sejarah ini juga kita belajar dari sejarah seorang wanita yang paling sabar yaitu Hajar ibunda Ismail AS.

Dari sejarah Ibrahim pula maka Thawaf, Sai, Wukuf di Arafah, melempar Jumrah bermalam di Mina dan memotong hewan kurban menjadi rangkaian dari ibadah haji.

Kesediaan berkurban demi kesejahteraan umat manusia, sudah barang tentu menuntut penekanan sifat egoisme atau ananiyah kita. Sikap egois akan melahirkan sikap serakah dan tidak peduli dengan sesama.

Manusia yang egois tidak saja merugikan masyarakat tetapi juga merugikan diri sendiri. Penyembelihan hewan kurban merupakan simbolisasi dari penyembelihan nafsu hayawaniyah yang ada pada manusia.

Yaitu nafsu egois, serakah untuk digantikan dengan sifat-sifat ketakwaan. Oleh karena itu esensi dari perintah kurban adalah memupuk ketaqwaan dengan cara membangun sikap al-Itsar, yaitu kesediaan untuk mengorbankan kepentingan kita untuk berbagi dengan orang lain, sebagimana dicontohkan oleh para sahabat Ansor di Madinah ketika menolong sahabat Muhajirin dari Makkah.

Dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS, kita juga bisa mengambil ibrah/pelajaran betapa tinggi nilai keimanan dan ketaqwaan seorang bapak, seorang ibu dan seorang anak untuk menempatkan kewajiban terhadap Allah di atas segala-galanya.

Kisah Nabi Ibrahim juga menggambarkan bagaimana peran, kedudukan, kewajiban antara angota keluarga baik sebagai bapak, ibu maupun sebagai anak. Nabi Ibrahim sebagai seorang suami dari Hajar dan seorang bapak dari Ismail tidak bersifat otoriter dalam memutuskan persoalan keluarga.

Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan dimusyawarahkan dan dikomunikasikan dengan anggota keluarganya. Sementara Ismail AS sebagai seorang anak juga menggambarkan betapa bijaksananya dalam menyikapi persoalan dengan mendahulukan ketaatan terhadap Allah dengan sikap tulus dan ikhlas.

Sedangkan Hajar sebagai seorang istri merupakan profil istri yang selalu mendukung dan setia terhadap gagasan dan ide suami dalam kerangka ketaatan kepada Allah SWT.
Keluarga Nabi Ibrahim AS adalah sebuah potret keluarga ideal yang dinaungi kasih sayang.

Ini sekaligus sebagai model pendidikan untuk menyiapkan generasi yang sholih sebagaimana motto hidup. Nabi Ibrahim yang selalu beliau panjatkan dalam setiap doanya “Robbi hab li minas sholikhin” Ya Tuhan, karuniailah aku anak-anak yang shalih.

Bukankah suatu keluarga merupakan unit terkecil dan mata rantai dari masyarakat bangsa? Untuk memperbaiki bangsa Indonesia pada semua sendi kehidupanya baik kehidupan politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum, maka harus dimulai dari unit terkecil yaitu keluarga.

Kesejahteraan suatu bangsa baik secara materiil maupun spiritual atau sebaliknya kebodohan dan keterbelakangan adalah cerminan dari keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut.

Oleh karena itu keluarga mempunyai kontribusi yang besar bagi kejayaan dan kemunduran suatu bangsa, sehingga ada pepatah mengatakan “al-Usrah ‘imad al-bilad biha tahya wa biha tamut (keluarga adalah tiang negara, dengan keluargalah negara hidup atau mati).

Suatu keluarga –sebagaimana suatu bangsa- tidak akan dapat hidup tenang dan bahagia tanpa suatu peraturan, kendali dan disiplin yang tinggi. Memimpin keluarga adalah suatu tanggungjawab sebagaimana memimpin bangsa.

Kepemimpinan suatu bangsa tidak akan sukses kalau tidak didukung dan ditaati oleh pemimpin di daerah. Dan kepemimpinan daerah tidak akan sukses apabila langkah-langkah keluarga bertentangan dengan pemimpin wilayah atau daerah.

Demikianlah terlihat keterkaitan yang erat antara suasana keluarga dengan suasana kebangsaan pada umumnya. Kisah kehidupan keluarga Nabi Ibrahim merupakan contoh keluarga ideal yang patut kita tiru dimulai dari keluarga kita masing-masing.

Anak-anak yang shalih hanya akan lahir dari orang-orang tua yang shalih. Untuk mencapainya diperlukan suatu suasana keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah suatu keluarga yang diliputi suasana yang penuh ketentraman, kasih dan sayang dan ini memerlukan kerjasama sinergis seluruh anggota keluarga.

Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Keluarga adalah sekolah tempat putra putri kita belajar dan kedua orang tuanya adalah guru pertama sebagai teladan bagi anak-anaknya.

Merupakan suatu ilusi kalau kita mendambakan generasi yang baik, taqwa, shalih bila kehidupan rumah tangga dan hubungan antara anggota keluarga tidak harmonis. Pepatah Arab mengatakan “Kaifa yastaqimu ad-dzillu wal ‘audu a’waj’ bagaimana mungkin bayangan bisa lurus bila sang pohon/kayu memang sudah bengkok.

Bagaimana mungkin anak tumbuh mejadi anak shalih kalau orang tuanya tidak shalih. Kisah kehidupan keluarga Nabi Ibrahim merupakan contoh keluarga ideal yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang diliputi sifat-sifat ketaqwaan yang patut kita tiru dimulai dari keluarga kita masing-masing.

Tulisan sebelumnyaMbak Erma : Idul Adha Momentum Memupuk Persatuan dan Kesetiakawanan
Tulisan berikutnyaSekolah Untuk Kesejahteraan Material dan Sosial

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini