WARGA masyarakat Desa Jingkang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah memiliki tradisi keagamaan yang unik untuk menangkal penyebaran wabah virus Covid-19. Tradisi ini sudah berjalan sejak dulu dan berlangsung secara turun-temurun, persisnya ketika di dalam masyarakat terjadi banyak kasus warga yang tiba-tiba sakit atau meninggal dunia dalam kurun waktu berdekatan.
Tradisi ini bernama Ratiban, yaitu sebuah ritual doa bersama pada tengah malam yang dilakukan sambil berjalan kaki mengelilingi desa. Menurut kesaksian beberapa orang sepuh di desa, dahulu ratiban dilakukan pada malam jum’at kliwon, dimulai pada jam 23:00 WIB hingga jam 00:00 WIB. Dengan tujuan untuk tolak bala atau menolak berbagai macam bencana.
Seperti dulu saat wabah cikungunya menyerang desa, wabah flu burung, deman berdarah dan wabah Covid-19 yang telah banyak menelan korban jiwa. Atau ketika tiba-tiba banyak warga desa yang jatuh sakit dan meninggal dunia. “Saat terjadi banyak musibah di desa,” kata Eyang Ruhyat, salah satu tetua desa menegaskan.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya saat malam jum’at kliwon, 23 Juli 2021, saya berkesempatan untuk mengikuti ritual ratiban tersebut. Ini menjadi pengalaman pertama saya mengikuti ritual itu, meskipun dulu saat masih kecil sering mendengar ada ratiban tapi belum diperbolehkan ikut dengan alasan belum cukup umur.
Malam itu, bulan di langit tampak bersinar terang, sinarnya menerobos diantara rindang pepohonan yang tumbuh tepi jalan. Bintang-bintang kerlap-kerlip menghias di sekelilingnya, dan gerombolan awan yang terus berarak menjadikan langit tampak begitu menawan.
Angin malam berhembus dengan lamban, suara jangkrik dan binatang malam lainnya terdengar saling bersahutan. 15-an kepala keluarga dan pemuda desa, dipimpin oleh Kiai setempat memulai ratiban dari pertigaan jalan, kemudian sambil melantunkan “La ilaha illallah,” mereka berjalan menyusuri jalan desa untuk menuju titik tengah desa yang sudah ditetapkan.
Baca Juga : 10 Keistimewaan Hajar Aswad
Saat ratiban dimulai, suasana malam yang sunyi seolah berubah menjadi malam yang sakral, membuat siapapun yang mendengar pasti merinding, mendengar lantunan dzikir yang berkumandang untuk Tuhan sang pencipta alam. “Saya merinding mendengarnya dari rumah,” kata seorang perempuan yang rumahnya dilewati oleh rombongan ratiban.
Setelah sampai pada titik tengah desa, rombongan ratiban yang dibagi menjadi delapan kelompok itu kemudian bergantian melantukan doa pungkasan sebagai penutup dari seluruh rangkaian acara ratiban. Menurut Jafar, ketua RW setempat. Ratiban kali ini sengaja dipecah menjadi delapan kelompok untuk menghindari kerumunan yang terlalu banyak.
Delapan kelompok itu dibagi sesuai dengan jumlah RT, dengan jumlah setiap kelompok paling banyak 15 orang yang sedang dalam kondisi sehat dan mematuhi standar protokol kesehatan yang ketat. Delapan kelompok itu juga sengaja dibuat agar ratiban berjalan dari delapan titik batas desa, dengan rute yang sudah ditentukan sehingga tidak terjadi tabrakan dan semua jalan desa terlewati.
Usai doa-doa pungkasan penutup acara ratiban yang panjang selesai. Saya pun pulang, melewati jalanan yang kembali sunyi, masih di bawah sorot sinar rembulan malam, dalam hati, diam-diam saya berdoa semoga pandemi segera pergi dari dunia ini.(*)
Kifayatul Ahyar