Rambu-rambu Islam dalam Memilih Pejabat

Belum lama ini publik dibuat heboh dengan isu terkait proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di tubuh KPK. Tes yang berujung pada pemberhentian sejumlah pegawai lembaga antirasuah itu, oleh banyak kalangan dinilai diskriminatif dan jauh dari spirit keadilan. Pemerintah di satu sisi juga dituding sedang melakukan upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi yang selama ini digawangi KPK.

Pemberhentian ini memang tidak bisa diterima begitu saja, bukan hanya oleh para pegawai tersebut, akan tetapi publik juga dibuat bertanya-tanya: mengapa pegawai-pegawai yang memiliki rekam jejak (track record) yang baik, memiliki kredibilitas dan integritas yang kuat, bahkan telah lama mengabdi dan mengungkap kasus-kasus besar “korupsi” justru diberhentikan dengan tidak etis.

Bak bola panas, isu ini terus bergulir sehingga menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, beberapa pertanyaan yang diajukan dalam tes tersebut justru tidak berkaitan dengan concern para pegawai KPK dalam memberantas korupsi, apalagi berkaitan dengan wawasan kebangsaan. Beberapa pertanyaan yang diajukan malah menjurus pada persoalan privat, preferensi politik dan aliran keagamaan tertentu.

Fenomena semacam ini seyogyanya menjadi autokritik bagi kita. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, mengapa secara perlahan kita malah menjauh dari nilai-nilai ke-islaman itu sendiri: yaitu berlaku adil dan meninggalan perilaku diskriminatif. Padahal, diskriminasi bagaimana pun bentuknya jelas bersebrangan dengan spirit keadilan.

Berlaku adil merupakan pondasi utama yang wajib ditegakan dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh KH. Afifuddin Muhajir dalam karya monumentalnya “Fiqh Tata Negara”, ia menyatakan bahwa diantara prinsip Islam menyangkut sistem pemerintahan adalah kesetaraan (al-musawah) dan keadilan (al-‘adalah). Ketika mempercayakan suatu amanat (baca: memilih pemimpin/pejabat), Islam menekankan pentingnya berlaku adil. Adil yang dimaksud adalah memandang segala sesuatu secara obyektif. Dalam konteks ini tentu obyektif dalam menilai dan memilih seseorang untuk menduduki suatu jabatan tertentu.

Bersikap Adil Dalam Memilih

Imam Al-Mawardi (975-1058 M) dalam al-ahkam al-sulthoniyah ketika menjelaskan mengenai ahlu al-ikhtiyar (sekelompok orang yang bertugas memilih pemimpin), menyebutkan tiga syarat yang harus dipenuhi mereka: yakni, keadilan yang menyeluruh (komprehensif), memiliki keluasan pengetahuan tentang calon yang berhak menduduki suatu jabatan, serta memiliki kearifan dan kebijaksanan. Sehingga dengan dipenuhi-nya syarat-syarat itu, ia dapat memilih calon pemimpin yang paling layak (kredibel). (lihat Abi al-Hasan bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthoniyah, hal. 17-18)

Betapa-pun konsep Al-Mawardi tentang “ahlu al-ikhtiyar” tidak lagi diterapkan dalam mekanisme pemilihan pemimpin di Indonesia, akan tetapi syarat-syarat yang dikemukakan oleh-nya tetap dapat selaras untuk direalisasikan ke dalam diri kita sebelum memilih pemimpin atau-pun pejabat publik. Karena sebagaimana jamak kita ketahui, mekanisme pemilihan pemimpin yang berlaku di Indonesia adalah melalui pemilihan umum (pemilu), dimana setiap masyarakat –berdasarkan ketentuan yang berlaku- dapat menentukan sendiri pilihanya secara langsung.

Poin terpentingnya, apabila mereka dapat memahami arti penting hak pilih yang mereka miliki, kemudian berusaha menyelaraskan diri sesuai dengan syarat-syarat diatas, maka bukan suatu yang mustahil dari setiap hasil pemilu itu akan melahirkan kepemimpinan yang berkualitas. Dan dari Kepemimpinan yang berkualitas itu akan menghasilkan para pejabat yang berkualitas, dan dari para pejabat yang berkualitas itu lah akan tercipta pelayanan publik yang baik untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Memilih Pejabat Yang Kredibel

Kredibilitas pejabat merupakan faktor paling krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat mereka memiliki tupoksi penting untuk membantu pemimpin (presiden/kepala daerah) dalam melayani (memberi kemanfaatan) masyarakat atau-pun mencegah terjadinya tindak pidana kriminal (menolak mafsadat), seperti mencegah dan memberantas korupsi yang sejak lama telah merugikan negara dan menghambat tercapainya kesejahteraan masyarakat yang menyeluruh.

Al-Qur’an telah menggambarkan, betapa kredibilitas seseorang perlu diperhatikan secara seksama sebelum kita menunjuk-nya untuk suatu pekerjaan. Melalui kisah putri Nabi Syu’aib As. ketika mengusulkan ayahnya agar memperkejakan Nabi Musa As. sebagai penggembala kambing-kambing, Allah Swt berfirman :

قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ

Berkatalah salah satu dari keduanya, “Wahai Ayahanda, pekerjakanlah ia karena sesungguhnya sebaik-baiknya orang yang engkau pekerjakan adalah yang kuat dan dapat dipercaya (amanah).” (QS. Al-Qashas [28]: 26).

Kekuatan (kapabilitas) dan amanah dalam ayat diatas dapat dimaknai sebagai pengejewantahan dari kredibilitas yang harus dimiliki seseorang apabila hendak dipilih menjadi pemimpin. Bahkan, dua aspek tersebut oleh Ibnu Taimiyyah disebut sebagai rukun (baca: tiang penyangga) didirikanya sebuah pemerintahan.

Kekuatan (al-quwwah) dalam dimensi pemerintahan -menurutnya- adalah kedalaman pengetahuan seorang pemimpin mengenai keadilan beserta cakupan-cakupanya, dan kekuatan atau kemampuan-nya untuk menjamin keberlangsungan hukum-hukum pemerintahan demi mewujudkan keadilan yang diyakinya. Adapun “amanah” didefinisikan sebagai rasa takut seorang pemimpin kepada Allah Swt. dan hilangnya rasa takut terhadap manusia. Dua aspek ini merupakan ukuran kualifikasi seseorang untuk disebut layak memimpin atau menduduki suatu jabatan. Adapun apabila terdapat dua orang, dimana salah satunya memiliki kekuatan (kapabilitas) sedangkan salah satunya lagi dikenal sebagai pribadi yang amanah, maka mesti didahulukan yang paling maslahat untuk pemerintahan atau jabatan saat itu. (lihat Ibnu Taimiyyah, Al-Siyasah Al-Syar’iyah, hal. 19)

Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa menginformasikan kepada kita, pidato pertama Umar bin Khattab ketika terpilih menjadi Khalifah. Setelah mengucapkan pujian kepada Allah Swt. Umar berkata : “Sungguh, aku telah diuji dengan kalian dan kalian juga diuji denganku, karena aku telah ditunjuk untuk menggantikan sahabat-ku (Abu Bakar Ra). Maka, siapapun yang saat ini hadir aku berikan kabar gembira kepada kalian dengan kepemimpinan yang melakat padaku. Dan orang-orang yang jauh dari hadapanku akan aku angkat untuk mereka pejabat-pejabat yang kuat lagi amanah. Jika mereka berlaku adil, maka akan aku tambah kebaikan untuk mereka. Namun, jika mereka berlaku zalim maka akan aku hukum mereka. Semoga Allah Swt. mengampuni kita semua. (lihat Jalalludin Al-Suyuthi, hal. 253)

Dari pidato tersebut dapat dipahami bahwa sejak pertama kali menjadi pemimpin, Umar ingin meyakinkan kepada masyarakat-nya akan keadilan yang hendak ia tegakan. Ia juga menegaskan akan menunjuk orang-orang yang kuat lagi amanah untuk membantu-nya mengurusi persoalan masyarakat. Dengan kata lain, kekuatan dan amanah –sebagaimana dijelaskan diatas memang sudah menjadi tolak ukur seseoraang dalam memilih pejabat publik.

Penyelewengan, Kezaliman dan Kehancuran

Pada pembahasan yang lalu, Imam Al-Mawardi telah mengajukan beberapa usulan agar dalam proses pemilihan pemimpin atau pun pejabat, dapat dilandasi dengan kaca mata yang adil (inshof) dari para pemangku hak pilih-nya. Tentunya, hal itu bertujuan demi terciptanya strukturasi kepemimpinan yang berkualitas. Dilain pihak, nampaknya, term “adil” memang tidak pernah bisa lepas dalam setiap diskursus terkait kepemimpinan (pemerintahan). Selain merupakan amanat agama dan konstitusi, ia juga pemicu (triger) dari tercapainya keberhasilan dan keberlangsungan sebuah pemerintahan. Sebaliknya, kezaliman (antitesis adil) pada saatnya akan mengancam dan menghancurkan suatu pemerintahan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali :

 والسلطان الظالم لا يبقى ملكه ولا يدوم , لأن النبي صلى اللّه يقول : “الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم.

“Sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang zalim tidak akan berlangsung lama. Karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Kekuasaan seorang raja akan tetap melekat meskipun ia kafir, akan tetapi tidak dengan kezaliman.’”. (lihat Abi Hamid Al-Ghazali, At-Tibru al-Masbuk, hal. 44)

Dari pernyataan Imam al-Ghazali diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa faktor paling dominan yang dapat menghancurkan kekuasaan seorang penguasa adalah kezaliman-nya terhadap rakyat yang ia pimpin. Adapun kekafiran seorang pemimpin –menurut al-Ghazali- justru tak menjadi suatu persoalan yang berarti, manaka keadilan didistribusikan merata dan pada porsinya, serta kezaliman dicegah dan dihindari sejauh-jauhnya.

Keadilan yang dimiliki seorang pemimpin akan menjadi modal utama-nya ketika ia menjalankan roda pemerintahan. Termasuk dalam hal ini, ketika ia memilih beberapa orang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu. Obyektifitas-nya dalam memilih tanpa disertai tendensi lain yang bertolak belakang dengan spirit keadilan, seperti adanya kedekatan, kekerabatan (nepotisme) atau suap yang ia terima menunjukan bahwa ia adalah pemimpin yang adil. Namun, apabila didapati ternyata ada tendensi lain yang mempengaruhi proses-nya dalam memilih seorang pejabat, maka hal itu menunjukan ketidak adilan dirinya. Ia telah berkhianat. Bukan hanya kepada rakyat yang telah memilihnya, akan tetapi juga kepada Tuhan pemilik alam semesta. Terkait hal ini, Ibnu Taimiyyah kembali menegaskan :

فيجب على وليّ الأمر ان يولّي على كل عمل من اعمال المسلمين اصلح من يجده لذلك العمل. قال النبي صلى الله عليه وسلم (( من ولي من امر المسلمين شياً ,فولى رجلاً وهو يجد من هو اصلح للمسلمين منه , فقد خان الله ورسوله وخان المؤمنين)) رواه الحاكم.

“Wajib hukumnya seorang pemimpin menunjuk seseorang yang paling kredibel (layak) untuk mengurusi suatu urusan umat Islam. (Karena) Nabi ﷺ bersabda, “Seseorang yang mengurus urusan umat Islam (pemimpin), kemudian ia menunjuk seseorang (untuk suatu jabatan), sementara di saat yang sama ia mendapati seseorang yang lebih layak untuk ditunjuk dari pada orang tersebut, maka sungguh dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan Umat Islam.” (HR. Al-Hakim) (lihat Ibnu Taimiyyah, Al-Syiyasah Al-Syar’iyah, hal. 7)

Bapak fundamentalisme Islam itu, memang tidak main-main dalam memberi warning kepada kita. Ia menukil sebuah riwayat hadits yang mendeskripsikan betapa para pemeganng otoritas yang menyalahgunakan wewenang-nya dalam memilih pejabat telah berlaku khianat; tak hanya terdapat rakyatnya, melainkan juga kepada Tuhan dan Rasul utusan-Nya.

Statement keras tersebut bukan tanpa alasan. Selain dari pada al-qur’an telah mewanti-wanti para pemimpin untuk menunaikan amanah dan menjauhi khianat, juga karena jabatan politik yang mereka duduki sejatinya harus digunakan untuk kemaslahatan masyarakat seluas-luasnya. Bukan kemaslahatan seglintir pihak.

Meski demikian, sebagai masyarakat muslim, dalam memandang fenomena semacam itu kita tetap harus mengedepankan sikap adil (inshof) pula: tidak memperkeruh keadaan dan tetap menjaga kondusifitas. Bila pun ada kritik yang hendak disampaikan, maka seyogyangnya kritik tersebut adalah kritik yang membangun (konstruktif) bukan kritik yang penuh dengan caci-maki. Sebab, apabila kita mendambakan keadilan dalam diri pemimpin kita, idealnya kita memulainya lebih dahulu dalam diri kita.

*) Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi Hukum Syariah Universitas Nahdlatul ‘Ulama Purwokerto

Tulisan sebelumnyaBenarkah Al Quran Melarang Dzikir dengan Suara Keras?
Tulisan berikutnyaIPNU IPPNU Kracak Miliki Pimpinan Baru

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini