Benarkah Al Quran Melarang Dzikir dengan Suara Keras?

Benarkah Alquran melarang dzikir dengan suara keras

PADA masa awal Islam, Makkah merupakan sentral agama bangsa Arab. Di sana terdapat peribadatan terhadap Kabah dan penyembahan berhala yang disucikan oleh seluruh bangsa Arab. Cita-cita untuk memperbaiki keadaan mereka tentu sangat sulit dan membutuhkan usaha keras karena akan melahirkan reaksi panas. Maka dalam menghadapi kondisi seperti ini, langkah yang paling bijaksana adalah memulai dakwah dengan sembunyi-sembunyi, agar penduduk Makkah tidak kaget karena tiba-tiba menghadapi sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan dan adat yang mereka anut.

Dakwah dengan sembunyi-sembunyi berlangsung selama tiga tahun. Sasaran dakwah pada periode ini adalah orang-orang terdekat. Setelah dakwah secara sembunyi-sembunyi berlangsung selama tiga tahun, turunlah perintah dakwah secara terang-terangan. Sasaran awal dakwah ini adalah kerabat dekat Nabi saw., sampai kemudian beliau menyeru kepada semua orang Quraisy dengan menaiki bukit Shafa.

Namun dakwah Nabi saw. pada tahapan ini tidak semulus yang diharapkan, justru mendapat kecaman dari orang-orang Quraisy terutama Abu Lahab. Gangguan, siksaan, bahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang masuk Islam pada waktu itu sangat gencar dilakukan oleh kaum kafir Quraisy.

Peristiwa yang sangat masyhur, bahkan sampai diabadikan dalam Alquran adalah siksaan yang menimpa keluarga Yasir, di mana ayah dan ibunya dibunuh dengan sadis karena telah memeluk agama Islam dan banyak peristiwa lainnya yang menimpa para sahabat.

Sehingga dengan situasi yang mengecam tersebut, Nabi saw. memerintahkan mereka agar menyembunyikan keislamannya dan tidak menampakkan ritual-ritual keislaman demi menjaga keselamatan mereka. Seperti melarang mengeraskan bacaan ketika mengerjakan salat.

Salah satu ibadah yang diperintahkan untuk melirihkan bacaannya adalah berdzikir, seperti pada QS. al-A’raf : 205 berikut:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ اْلغَافِلِيْنَ.

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A`râf [7]: 205).

Melihat kronologi ayat di atas, maka dapat dipahami bahwa perintah agar tidak mengeraskan suara berlaku pada awal Islam, yaitu masa yang sangat rawan bagi pemeluk Islam menampakkan identitas keislamannya karena akan membahayakan diri. Maka menjadikan ayat di atas sebagai dasar larangan dzikir dengan mengeraskan suara sangat tidak tepat.

Hal ini diperkuat oleh penjelasan Imam as-Suyuti dalam kitab Natijah al-Fikr Fi al-Jahri Bi al-Dzikr halaman 8-9 sebagai berikut.

1. QS. al-A’raf : 205 di atas merupakan surat Makkiyah, artinya ayat tersebut diturunkan pada periode Makkah. Sebagaimana QS. al-Isra : 110 sebagai berikut.

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

“dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”

Ayat di atas turun saat Rasulullah saw. masih sembunyi-sembunyi di Makkah, jika salat bersama para sahabatnya, beliau mengeraskan bacaan Alquran, sehingga jika kaum musyrikin mendengarnya, mereka akan mencaci Alquran serta Zat yang menurunkannya. Lalu Allah Swt. menegurnya agar tidak mengeraskan suara sebagai upaya preventif sebagaimana Allah Swt. juga melarang mencaci berhala agar mereka tidak mencaci Allah Swt.

Konteks QS. al-A’raf : 205 juga sama dengan QS. al-Isra : 110. Seperti yang telah diketahui, bahwa pada periode makkah, umat Islam mengalami berbagai cobaan dan siksaan, maka pantas jika pada waktu itu melarang mengeraskan suara ketika berdzikir karena takut terdengar oleh kafir Quraisy yang akan membahayakan diri mereka. Sebagaimana mereka juga dilarang mengeraskan suara ketika salat.

2. Beberapa pakar tafsir -seperti Abdurrahman bin Zaid bin Aslam guru dari Imam Malik dan Imam Ibnu Jarir- memahami ayat di atas bahwa larangan mengeraskan zikir tersebut berlaku ketika bersamaan dengan pembacaan Alquran. Dalam keadaan ini hendaknya melirihkan dzikir untuk mengagungkan Alquran. Hal ini dikuatkan dengan ayat sebelumnya yang memerintahkan untuk mendengarkan baik-baik apabila dibacakan Alquran sebagai berikut.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.

Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. [QS. al-A’raf : 204]

3. Larangan mengeraskan suara pada ayat di atas berlaku hanya untuk Nabi saw., sebab mengeraskan suara merupakan upaya untuk menjauhkan diri dari ketidakkhusyuan dan was-was saat berzikir, dan itu tidak mungkin terjadi pada Nabi saw. sehingga bagi umatnya tetap diperintahkan untuk mengeraskan suara untuk mencegah hal-hal tersebut.

Adapun orang yang melarang mengeraskan suara saat dzikir dengan dasar ayat sebagai berikut.

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalah kepada Rabbmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [QS. Al-A’raf: 55].

Maka menurut Imam as-Suyuti anggapan tersebut dapat dijawab dari dua sisi sebagai berikut:
a) Penafsiran yang kuat atas ayat tersebut adalah bahwa larangan mengeraskan suara pada ayat di atas berlaku ketika melampaui batas dalam mengeraskan suara atau berlebihan dalam menciptakan doa yang tidak ada asal usul dari Nabi saw. hal ini dikuatkan dengan hadis riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim dari Abdullah bin Mugaffal Ra. bahwa ia mendengar anaknya berkata ketika berdoa:

اللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ اْلقَصْرَ اْلأَبْيَضَ عَنْ يَمِيْنِ اْلـجَنَّةِ

“Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada engkau istana putih dari sisi kanan surga”

Kemudian Abdullah bin Mugaffal berkata: sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. berkata: “akan ada pada umatku orang-orang yang sembrono dalam doa dan berlebihan dalam bersuci.” Kemudian ia membaca ayat di atas.

Ini merupakan tafsir sahabat atas ayat tersebut, tentunya ia lebih mengetahui maksud ayat di atas dari lainnya.

b) Jika benar ayat di atas melarang mengeraskan suara, maka larangan tersebut berlaku untuk doa, bukan zikir, karena lebih utama dalam berdoa dengan suara yang lirih, sebab lebih dekat untuk dikabulkan. Oleh karena itu Allah swt. berfirman ketika menjelaskan doa Nabi Zakaria :

إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

Tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. [QS. Maryam : 3].

Dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim juga disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah saw. dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara saat berdoa. Kemudian Nabi saw. bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ

“Wahai manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdoa pada sesuatu yang tuli lagi ghaib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.”

Sehingga dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa larangan tersebut berlaku pada doa, bukan zikir. Imam Nawawi menegaskan dalam fatwanya, bahwa dalam mazhab Syafii mengeraskan suara saat zikir merupakan hal yang disunahkan selagi tidak ada sesuatu lain yang dilarang oleh syariat. Bahkan lebih utama daripada melirihkannya. Dan ini merupakan pendapat yang zahir dalam mazhab Imam Ahmad serta merupakan salah satu dari dua riwayat Imam Malik.

Adapun pada periode Madinah, maka dijumpai banyak hadis yang menganjurkan untuk mengeraskan suara saat berzikir di antaranya sebagai berikut.
1. Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata kepadaku bahwa Abu Ma’bad -mantan budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas Ra. berkata:

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.

Mengeraskan suara pada dzikir setelah salat wajib telah ada di masa Nabi saw. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa salat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” H.R. Bukhari dan Muslim.

2. Terdapat hadis qudsi dari Ibnu Abbas sebagai berikut.

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِذَا ذَكَرْتَنِي خَالِيًا ذَكَرْتُكَ خَالِيًا وَإِذَا ذَكَرْتَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُكَ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنَ الَّذِيْنَ ذَكَرْتَنِي فِيْهِمْ. رواه البزار بسند صحيح.

Allah berfirman: Wahai anak Adam, jika engkau menyebut-Ku dalam kesunyian, maka Aku menyebutmu dalam kesunyian (tanpa diketahui yang lain). Dan jika engkau menyebut-Ku di khalayak ramai, maka Aku menyebutmu di khalayak ramai yang lebih baik dari pada kelompok yang kau sebut Aku di dalamnya. H.R al-Bazzar dengan sanad yang sahih.

Syaikh Ismail berkata: “Maksud dari zikir di khalayak ramai adalah zikir dengan suara keras.” Penafsiran ini sesuai dengan ahli hadis al-Hafiz Ibnu Hajar, beliau berkata: “Makna hadis Qudsi di atas adalah, jika ia menyebut-Ku dalam dirinya maka Aku menyebutnya dengan pahala yang tidak Aku perlihatkan kepada siapa pun. Dan jika ia menyebut-Ku dengan suara keras, maka Aku menyebutnya dengan pahala yang Aku perlihatkan kepada kelompok malaikat yang paling tinggi.” (Fath al-Bari 13/386).

Disarikan dari :
1. Kitab ar-Rahiq al-Makhtum karya Imam Shafiyurrahman al-Mubarakfuri
2. Kitab Natijah al-Fikr Fi al-Jahri Bi al-Dzikr hlm. 8-9, karya Imam as-Suyuthi.
3. Kitab Fath al-Bari vol. 13 hlm. 386, karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.

Tulisan sebelumnyaHukum Qurban Dengan Hewan Berkaki Terkilir
Tulisan berikutnyaRambu-rambu Islam dalam Memilih Pejabat

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini