Sofa Marwah, profesor analisis politik Indonesia, menyatakan bahwa tiada arti demokrasi tanpa kesejahteraan.
Hal ini disampaikan dalam diskusi ilmiah yang diadakan oleh PC Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Banyumas di pendopo joglo ISNU Banyumas.
Diskusi ilmiah dihelat untuk mewarnai percakapan publik yang penuh sesak dengan politik elektoral dan aneka pencitraan para caleg dan capres-cawapres.
Diskusi ilmiah yang bertajuk “Menatap Masa Depan Politik dan Hukum Pasca Pemilu 2024” menghadirkan Profesor Sofa Marwah, guru besar analisis politik dari Universitas Jenderal Soedirman.
Prof. Sofa membuka diskusi dengan menampilkan beberapa hasil survei mengenai capres – cawapres yang sedang mengikuti kontestasi elektoral.
Beberapa skenario pemilu juga tak luput dari pembicaraan, tentu saja yang paling memungkinkan adalah pemilu dua putaran.
Baca juga: Peringati Harlah ke-24, ISNU Cabang Banyumas Gelar Diskusi Ilmiah
Mengingat ada tiga pasangan capres-cawapres, akan sangat sulit bagi salah satu pasangan untuk mendapatkan suara di atas limapuluh persen.
Meski ada satu pasangan yang sangat yakin bisa menang satu putaran, namun dua pasangan lain malah sudah berembuk untuk menggabungkan suara di putaran kedua.
Sebagai ahli analisis politik, Sofa Marwah juga memaparkan program dari setiap pasangan capres-cawapres.
Hal ini dilakukan untuk memberikan pendidikan politik kepada para hadirin.
Baca juga: Profesor Hukum Unsoed: Siapapun Presidennya, Pasca Pemilu Akan Ruwet
Memilih pasangan capres cawapres tentu harus berdasarkan program, bukan hanya gimik politik semata.
Proses Politik Melupakan Isu Kesejahteraan
Menurut Sofa Marwah, praktik dan kajian politik Indonesia masih bergulat dalam perbincangan seputar pelaksanaan sistem demokrasi.
Politisi, akademisi, dan civil society terjebak pada demokrasi sebagai tujuan dalam berpolitik.
Padahal demokrasi hanyalah sarana untuk mencapai tujuan penting dalam berpolitik, yaitu kesejahteraan.
Isu kesejahteraan belum menjadi tema sentral dalam perbincangan politik di Indonesia.
Dia hanya menjadi pemanis janji-janji kampanye politisi, namun minim realisasi.
Berbagai program kesejahteraan telah bergulir selama ini dinilai belum optimal.
Setidaknya, aneka bantuan sosial patut diapresiasi sebagai upaya pemerintah mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) di tengah arus neoliberalisme ekonomi yang menyerang bertubi-tubi.