Profesor Hukum Unsoed: Siapapun Presidennya, Pasca Pemilu Akan Ruwet

Profesor Hukum Unsoed: Siapapun Presidennya, Pasca Pemilu Akan Ruwet
Profesor Hukum Unsoed: Siapapun Presidennya, Pasca Pemilu Akan Ruwet

“Siapapun yang terpilih jadi presiden, situasi pasca pemilu akan ruwet” kata Hibnu Nugroho, profesor hukum pidana Universitas Soedirman Purwokerto.

Kalimat tersebut membuka diskusi ilmiah dengan tema “Menatap Masa Depan Politik dan Hukum Pasca Pemilu 2024”.

Diskusi ilmiah diadakan pada Sabtu, 20 Januari 2024 oleh PC Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Banyumas) di joglo sekretariat ISNU Banyumas.

Baca juga: Peringati Harlah ke-24, ISNU Cabang Banyumas Gelar Diskusi Ilmiah

Situasi ruwet yang dimaksud oleh pria yang juga Dewan Ahli PC ISNU Banyumas ini adalah compang-camping tata kelola hukum di Indonesia.

Pelanggaran etika hukum semakin lazim terjadi. Paling banyak tentu di tataran elit penyelenggara negara.

Hal tersebut kemudian dicontoh oleh elit di tataran daerah dan menjalar pula di kalangan akar rumput.

Prof. Hibnu menekankan bahwa masyarakat kehilangan kompas moral, tidak mempunyai panutan dalam berbangsa dan bernegara.

Ketiadaan kompas moral diperparah dengan perilaku elit politik yang gemar menabrak-nabrak aturan kampanye.

Bahkan ada salah satu calon peserta pemilu yang menabrak etika hukum untuk bisa mengikuti pertarungan elektoral.

“Jika untuk bertarung saja sudah menabrak hukum, bayangkan bagaimana kalau dia berkuasa?”

Prof. Hibnu mengajak peserta diskusi untuk membayangkan kemungkinan yang terjadi pasca pemilu.

Adakah Capres – Cawapres Yang Berkomitmen Pada Penegakan Hukum?

Sebagai guru besar bidang hukum pidana, Prof. Hibnu mengajak peserta diskusi untuk menerka-nerka keberanian para capres – cawapres dalam menegakkan hukum.

Misal, bagaimana sikap capres-cawapres dalam komitmen memberantas korupsi.

RUU perampasan aset menjadi hal yang sangat mendesak untuk disahkan dan diberlakukan.

Efek jera maksimal harus diberlakukan untuk menekan praktek korupsi yang kian masif di kalangan elit hingga akar rumput.

Meningkatkan pengawasan digital terhadap alur keuangan birokrasi saja tidak cukup, apalagi sekedar meningkatkan gaji pegawai negeri.

Korupsi ini masalah mental, karena banyak pelaku korupsi yang ternyata gajinya sudah cukup besar.

Korupsi juga merupakan dampak dari biaya politik elektoral yang besar.

Politik uang yang lazim dipraktikkan dalam setiap hajatan pemilu merusak mental masyarakat.

Politik uang tidak hanya sekedar bagi-bagi amplop berisi seratus ribu.

Namun termasuk nominal uang hingga milyaran yang terjadi di tataran elit politik dan pengusaha sebagai bandar pemilu.

Pada akhirnya, pesimisme hukum dan kegagalan revolusi mental memerlukan pihak – pihak yang mampu menjaga stabilitas moral masyarakat.

Nahdlatul Ulama (NU), khususnya ISNU, menjadi salah satu organisasi yang diharapkan mampu mengambil posisi tersebut.

Mengingat NU merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia dan sebagian besar masyarakat akar rumput adalah nahdliyin.

Maka agenda – agenda dialog dan praktik perlu untuk dilakukan secara berkelanjutan demi kesehatan moral dan mental masyarakat.

Tulisan sebelumnyaPeringati Harlah ke-24, ISNU Cabang Banyumas Gelar Diskusi Ilmiah
Tulisan berikutnyaProfesor Politik Unsoed: Apalah Arti Demokrasi Tanpa Kesejahteraan

TULIS KOMENTAR

Tuliskan komentar anda disini
Tuliskan nama anda disini